29-08-2021
Bahkan tidak hanya ‘bangsa yang belum selesai’ (Max Lane), dan bahkan juga tidak hanya ‘diam-diam diambil alih’ (Noreena Hertz), tetapi diam-diam juga diracun! Bahkan sangat mungkin tidak hanya diam-diam, tetapi di sana-sini berlangsung dengan vulgar-nya. Bahkan Machiavelli-pun sudah memperingatkan bahayanya para penjilat, tetapi bangsa ini justru diyakinkan oleh petingginya bahwa menjilat itu adalah mulia, katanya demi kegemilangan generasi masa depan. Racun yang tidak tanggung-tanggung! “Jika anak diajarkan menjilat ...,” mungkin puisi Dorothy Law Nolte itu mesti ditambahkan.
Di awal-awal Orde Baru ada beberapa tulisan yang tidak jauh dari maksud ‘revolusi mental’ -sekitar 40 tahun kemudian. Salah satunya tulisan atau buku Koentjaraningrat tentang kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan itu. Beberapa hal diangkat Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu itu adalah soal mentalitas suka menerabas, tidak punya tanggung jawab yang kokoh, kurangnya disiplin diri, kurangnya menghargai mutu tinggi, dan kurang percaya diri. Deja vu? Kayaknya. Bagaimana tidak? Jika seakan kita sedang mendengan sebuah lagu, intronyapun mirip-mirip amat. Intro yang mengajak seakan pendekatan ‘kultural’ itu akan dengan sendirinya menyelesaikan semua masalah, padahal dari perjalanan hidup bersama kita, faktor ‘struktural’-lah yang justru mempunyai daya rusak yang bahkan bisa kita hayati sebagai bisa tanpa batas itu. Sekali lagi, deja vu? Kayaknya.
Lihat di jaman now, bagaimana rekrutmen komisaris-komisaris BUMN yang sangat mungkin memang sengaja diekspos itu –sebagai bagian dari ‘pendidikan’ massal, bukankah itu sekali dayung dua-tiga pulau dilampaui? Satu pulau rekrutmen loyalis, dan sekaligus dilampaui pula pulau lain penuh racun itu. Sambil menebar racun, katakanlah jika memakai terminologi Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu: menebar ‘racun’ mentalitas kurang menghargai mutu, mentalitas suka menerabas. Atau lihat bagaimana ‘racun’ tidak kokohnya dalam tanggung jawab, ditebar tiada henti melalui tidak sesuainya antara kata dan tindakan. Lebih dari sekedar ‘lip service’, tetapi sekali lagi: racun bagi hidup bersama. Bahkan beberapa racun-pun ditebar melalui tangan seorang rektor! Kegilaan yang seperti sudah disebut di atas, bisa tanpa batas lagi. Belum lagi jika bicara soal buzzerRp dan surveiRp itu! Rusak-rusakan. Dan, dari mana kebanyakan racun ini mulai ditebar? Kebetulankah itu?
Jika kita kembali pada apa yang sudah disebut oleh Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu, soal mentalitas suka menerabas, tidak punya tanggung jawab yang kokoh, kurangnya disiplin diri, kurangnya menghargai mutu tinggi, dan kurang percaya diri, apa sebenarnya di belakang ini semua? Beberapa tahun sebelum Koentjaraningrat menulis hal tersebut, di tengah puncak Perang Dingin berkembang teori yang dikemukakan oleh David McClelland, Need for Achievement. Yang jika ditelusuri lebih lanjut nampaknya itu soal passions. Atau kalau kita meminjam ungkapan Thatcher sekitar 10 tahun setelah N-ach itu, soal neoliberalisme Thatcher menganggap itu adalah metode (ekonomi) saja, yang lebih penting adalah mengubah hati dan jiwa! Hati dan jiwa yang mempunyai ‘kegandrungan abis-abisan’ (passions) terhadap jalan neolib. Atau jika kita lebarkan sedikit, kegandrungan abis-abisan jika itu terarah pada ‘hal-hal baik’ maka akan bisa berujung pada berkembangnya keutamaan (virtue). Dan itu hanya bisa dicapai dengan ‘pembiasaan’. Latihan, latihan, latihan, dan tiba-tiba saja sudah menjadi ‘kebiasaan’.
Maka pertanyaannya berikutnya adalah, mengapa kuasa dalam praktek justru bisa berkembang menjadi ‘penyebar racun’ dan sekaligus ‘penghancur utama’ keutamaan? Ada apa dengan kuasa? Itulah salah satu kemungkinan besarnya yang akan terjadi ketika kuasa dalam prakteknya sungguh semakin ‘tidak berwajah manusia’. Ketika kuasa justru menempel pada sosok monster di ujungnya, atau menempel pada sosok boneka di ujung lainnya. Konsekuensinya akan tidak jauh berbeda karena sama-sama tidak ‘nempel’ di wajah manusia. Tetapi tetap saja itu baru separuh cerita, karena kuasa-politik bagaimanapun juga letaknya ada di ‘bangunan atas’ yang akan sangat ditentukan oleh gejolak di ‘basis’: relasi-relasi kekuatan produksi. Bagaimana jika relasi-relasi kekuatan produksi itu lekat dengan laku korupsi, ngunthet, nguntal, mark-up, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, mafia ini, mafia itu, perburuan rente?
Jika politik ada di ‘bangunan atas’ dan relasi-relasi kekuatan produksi itu ada di ‘basis’, apa sebenarnya yang ada di ‘tengah-tengah’-nya? Pembagian kekayaan! Atau distribusi kesejahteraan. Politik menggantikan perang dalam pembagian kekayaan di ranah gambar besarnya, dalam distribusi kesejahteraan. Tentu pembagian kekayaan bukanlah satu-satunya alasan perang terjadi, tetapi ada atau apa hal lain yang lebih besar darinya? Esensi dari berkembangnya demokrasi dalam melakukan kritik habis-habisan terhadap monarki adalah juga soal pembagian kekayaan ini. Demikian juga dengan ‘kediktatoran proletariat’ itu. Tentu pergumulan teoritis, kritik-otokritiknya dalam praktek akan sangat kaya nuansanya. Maka kegelisahan demokrasi yang merebak sebenarnya adalah kegelisahan akan pembagian kekayaan itu. Kegelisahan akan distribusi kesejahteraan yang tak kunjung dinikmati si-demos. Saat pembagian kekayaan itu kemudian menjadi urusan si-mono dan kaum 'bangsawan' di sekitarnya.
Kadang ada yang menyalah-artikan ungkapan David Hume (1711-1776) bahwa nalar adalah budak dari passions. Bukannya nalar itu tidak penting dan hanya sekedar ‘budak’ saja: nalar adalah sungguh penting, tetapi ia belumlah cukup. Ia perlu passions, gairah, antusiasme, kegandrungan yang tidak abis-abis, dan bahkan juga hasrat. Pada titik inilah racun hidup bersama mempunyai kesempatan untuk ditebar, terutama dalam ranah kuasa. Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments edisi terakhirnya menyinggung soal ‘sekte agung’ (famous sect). Tidak jelas pula akan disinggungkan dengan apa soal ini, tetapi jika di sana-sini Smith yang juga setuju soal hasrat yang perlu ditempatkan di tempat ‘semestinya’ sesuai semangat pasca Abad Pertengahan itu, menyinggung soal keutamaan yang ‘cukup-sepantasnya’ saja dalam mekanisme pasar, maka soal ‘sekte agung’ ini bisa kita hayati akan lebih terkait dengan olah-kuasa. Dan mungkin dalam bayangan Smith, orang-orang yang terlibat dalam olah-kuasa itu semestinya mempunyai keutamaan ‘tahu-batas’ yang kuat sehingga pasar bisa berkembang ‘sebagaimana-mestinya’. Tetapi jelas pula Smith tidak kemudian berpikiran menghilangkan peran negara. Dari beberapa hal di atas maka hasrat akan uang-lah racun itu, bukan di ranah ‘pasar’ tetapi di ranah ‘negara’. ‘Glorifikasi’ rekrutmen komisaris BUMN itu adalah juga pembiasaan pada publik untuk menerima ‘hasrat akan uang’ sebagai hal biasa-biasa saja dalam olah-kuasa di ranah negara. Itulah sedikit gambaran soal spoils system yang ingin dibangkitkan oleh Trump di penghujung kekuasaannya. Spoils system yang sudah ditidurkan lebih dari satu abad di AS sono karena justru menghadirkan bencana bagi hidup bersama: merebaknya inefisiensi, inkompetensi, dan korupsi. Spoils system dibanyak halnya tidak jauh dari sistem patronase. Dan dalam komunitas dengan power distance tinggi godaan itu akan semakin besar. Tidak hanya godaan dalam ‘akumulasi kekayaan’ tetapi sekaligus juga dalam ‘akumulasi kekuasaan’ a la monarki. Rejim ‘paling kompatibel’ dengan spoils system ini nampaknya memang rejim monarki, dimana spoils system ini seakan memberikan jalan untuk rekrutmen kaum ‘bangsawan’-nya. Deja vu lagi dengan jalur A, B, G di jaman old?
Tetapi banyak juga komunitas dengan power distance tinggi mampu berkembang dengan kesejahteraan tinggi tidak hanya bagi segelintir saja tetapi kebanyakan warganya mampu menikmati pula. Banyak contoh yang bisa dikemukakan. Salah satu yang bisa dipelajari dari komunitas-komunitas tersebut adalah ketika kehormatan menjadi tidak mudah tergusur oleh hasrat akan uang, misalnya. Dan bagaimana jika racun menjadi ‘tidak terhormat’-pun ternyata masih bisa pethakilan-cengèngèsan di depan publik? Bahkan menjadi konselor anti-korupsi bagi mantan koruptor! Tanpa beban lagi untuk menjadi sosok tanpa kehormatan! Charles de Gaulle dalam mengajak warganya bangkit pasca porak-poranda Perang Dunia II sering berkata pada warganya: “Tanpa kehormatan bukanlah Perancis!” Dan berhasil tuh Perancis keluar dari kehancuran akibat Perang Dunia II itu ... Demikian juga Jepang. *** (29-08-2021)