13-08-2021
"Kok, sekarang seperti dimunculkan kembali kesukuan, masalah agama. Why? Tolong dijawab! Saya juga katanya profesor tapi sampai pusing pikiran saya ini," kata Mega, Kamis (12/8).[1]
Siapa yang memunculkan? Banyak jejak digital akan membantu menjawab pertanyaan ini. Tetapi kadang masalahnya bukan pada siapa atau apa, karena hal munculnya kesukuan dan agama dalam konteks konflik sebenarnya bisa muncul kapan saja, bahkan dengan asal sumber tidak jelas sekalipun. Seakan itu bukan sesuatu yang ada dalam kendali kita. Lihat sejarah Ku Klux Klan di AS sono yang dimulai segera setelah Perang Saudara itu berakhir, kadang mati tetapi bisa timbul lagi. Tetapi yang membuat KKK itu semakin tidak laku adalah upaya tiada henti dari kulit hitam atau siapa saja yang jadi sasaran KKK untuk memperjuangkan kesetaraannya. Dan juga kelompok yang jauh lebih besar dari KKK itu, dan se-ide soal kesetaraan itu. Dan tentu juga ada unsur ‘dewi fortuna’-nya, misal pecahnya Perang Dunia itu. Tetapi habis Perang Dunia-pun KKK itu muncul lagi bagai kurap yang mbandel.
Maka bisa dikatakan, katakanlah dalam kasus KKK itu, dia semakin tergusur bukan karena ‘dibunuh’ tetapi terutama karena ‘kalah dalam kompetisi’. ‘Kompetisi’ yang paling ‘mahal’ memang perang, seperti yang terjadi pada ‘cikal-bakal’ KKK itu, Perang Saudara di AS sono antara utara yang mau menghapus perbudakan dan selatan yang mau mempertahankan perbudakan. Maka sebelum perang adalah jalan politik. Jalan perjuangan politik. Dan masalah kesukuan dan agama di sini ‘kompetisi’-nya sebaiknya di-‘selesai’-kan dengan jalan politik. Melalui kompetisi politik dengan menunjukkan bahwa pilihan politik si A misalnya memang akan memberikan hal lebih baik dari pilihan politik si-B. Ketika pilihan politik yang ditapak adalah ‘mengatasi’ perbedaan suku dan agama misalnya, maka tunjukkan bahwa itu adalah pilihan politik yang lebih baik dibandingkan dengan yang berangkat dari, katakanlah suku atau agama itu. Maka adalah benar ketika Sartono Kartodirdjo di sekitar pergantian abad menegaskan bahwa nasionalisme itu pertama-tama adalah soal prestasi. Dan ‘prestasi politik’ di era Reformasi ini adalah soal pengembangan demokrasi dan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme. Jelas bukan ‘prestasi’ dalam menyebar bermacam jargon kosong doang. Atau menjadi jagoan dalam sok-sok-an belaka. Sok-nasionalis gini, sok-nasionalis gitu, sok-paling-Pancasila, sok-paling-NKRI, misalnya.
Ada jawaban singkat dari permasalahan yang dilempar Megawati di atas, dan jawabannya hanya satu kata saja: ngaca. Itu saja. *** (13-08-2021)
[1] https://www.cnnindonesia.com
/nasional/20210812193510-32-679725/megawati-komentari-isu-kesukuan-saya-profesor-sampai-pusing?utm_source=twitter&utm_
medium=oa&utm_content=
cnnindonesia&utm_campaign
=cmssocmed