11-08-2021
Ambil satu halaman koran nasional misalnya, letakkan di meja dan dilihat sambil berdiri, tidak dengan duduk. Jadi agak berjarak. Bayangkan isi berita ditutup, atau ditutup sungguhan dengan kertas-kertas, dan yang nampak hanya judul-judulnya. Dari judul-judul yang ada di depan kita itu kita bayangkan ke-saling-hubungannya. Bisa satu sama lain tidak berhubungan, tetapi bisa saja dua-tiga judul itu baik langsung atau tidak, sebenarnya berhubungan. Dan dari situlah salah satu-nya koran tersebut tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga membingkai pembaca dengan bingkai tertentu. Sesuai dengan ‘kebijakan’ koran tersebut tentunya. Melanggar hukum? Tidaklah. Melanggar etika jurnalis? Nampaknya juga tidak. Pembaca saja yang memang harus cermat.
Dalam tampilan digital pembingkaian atau apalah mau disebut yang seperti di atas akan sulit dilakukan. Maka pada kekuatan judul dan sekaligus isi beritalah kemudian lebih banyak diletakkan jika memang maunya ada pembingkaian khusus, apapun kepentingan di belakangnya. Bahkan jika bingkai yang dipakai itu lebih pada upaya alih isu, misalnya. Ada dua berita baru-baru ini yang nampaknya bisa kita perhatikan lebih. Satu adalah masuknya (lagi) TKA dari China di tengah-tengah PPKM. Perlu ditekankan, tidak ada nuansa rasisme di sini. Ini lebih pada masalah konsistensi kebijakan karena setelah banyak dikritik pemerintah kemudian terberitakan akan menutup pintu bagi TKA-TKA itu selama PPKM. Jejak digital bertebaran banyak. Tapi berdasar berita juga kita bisa lihat omongan atau kebijakan itu ternyata dilanggar sendiri. Entah karena pertimbangan apa. Berita kedua -sesudahnya, adalah dicabutnya angka kematian COVID-19 dari proses evaluasi penanganan wabah. Tentu pencabutan ini akan memberikan kontroversi yang dalam, bayangkan nyawa anak-anak negeri diperlakukan se-enak-enak-nya sendiri. Jadi, siapa yang sedang berkhianat terhadap republik? NKRI Harga Mati! Kita Pancasila! Pro-rakyat-pro-rakyat. Merdekaaaaaaaaaa .... ....! *** (11-08-2021)