04-08-2021
Semua bisa menjadi penipu, karena menipu bisa menjadi bagian dari siasat mempertahankan hidup. Lihat misalnya dalam dunia binatang, sangat lekat dengan tipu-tipu ini. Ketika akhirnya seseorang menjadi penipu, ia tidak ada urusannya dengan suku atau ras, atau agamanya, atau status sosialnya, atau yang lainnya. Ketika seseorang menipu, beribu sebab di belakangnya. Ilmu pengetahuan memang bisa membuat ‘skala’ berat-ringannya sebuah penipuan. Bahkan sampai ada istilah ‘penipu patologis’ itu, tetapi bagaimanapun sampai sekarang belum ada alat yang 100% bisa menetapkan apakah seseorang itu sedang menipu atau tidak.
Republik tidak akan runtuh hanya karena beberapa di antara warganya adalah seorang penipu, secanggih apapun itu. Bahkan jika yang ditipu adalah penguasa. Tetapi republik akan retak dan mempunyai potensi besar untuk runtuh jika dipimpin oleh seorang penipu. Terutama jika yang ditipu adalah khalayak kebanyakan. Si-pembayar pajak. Demikian juga soal Pancasila, misalnya. NKRI tidaklah akan runtuh jika banyak warganya belumlah hapal atau paham Pancasila, tetapi akan mempunyai potensi besar untuk runtuh jika pengelola negara tidak paham soal Pancasila itu. Dalam peringatan kemerdekaan republik, sebenarnya cukuplah warga negara mengibarkan bendera saat 17 Agustus saja, atau jika mau ditambah 1-3 hari sebelum dan sesudahnya. Tidak usah 1 bulan penuh di bulan Agustus. Tetapi akan malanglah warga negara itu ketika jajaran pemimpin republik tidak setiap hari ‘mengibarkan bendera di dada’-nya, dan yang muncul sehari-harinya justru hanyalah jargon-jargon kosong belaka.
Maka sebenarnya para pembayar pajak ini, warga negara, sangat rela triliunan rupiah digunakan dalam penyelenggaraan pemilihan. Dengan itu maka si-pembayar pajak bisa menilai program-program yang ditawarkan selama proses pemilihan. Berdasarkan janji-janji kampanye itu, menurut guru-guru voter education, si-pembayar pajak akan menjatuhkan pilihannya. Tentu ada hal lain selain janji kampanye si-pembayar pajak akan menjatuhkan pilihannya. Tetapi hanya pada janji kampanye-lah terutama yang bisa ‘dituntut’ di kemudian hari. Maka di belakang kerelaan triliunan rupiah untuk membiayai sebuah pemilihan dari si-pembayar pajak itu, ada keinginan yang tampil nantinya (salah-satunya) bukanlah seorang penipu. Penipu ketika janji A saat kampanye tetapi yang dilakukan setelah terpilih justru kontra A, dan malah B, C, yang dikerjakan. Jika itu yang terjadi, potensi untuk terjadinya musibah bagi republik akan sangat membesar. Janji pada khalayak yang kongkret di depan mata saja dengan mudah-tanpa-beban ingkar, bagaimana dengan janji pada cita-cita proklamasi yang perlu imajinasi itu? Untunglah masih ada pasal-pasal untuk koreksi ‘salah pilih’ itu, sebelum musibah berujung pada kehancuran republik. Dan itu dijamin dalam konstitusi. *** (04-08-2021)