29-07-2021
Dalam film-film, tokoh utama sering harus ‘dibantu’ oleh sekitarnya yang ‘kelas’-nya di bawahnya. Macam-macam bentuknya yang kelas-nya ada di bawahnya itu, intinya adalah supaya tokoh utama itu bisa lebih dinikmati oleh pemirsa. Sesuai alur cerita tentunya. Makanya ada peran pembantu. Kombinasi itu bisa hadir secara vulgar terutama di film-film kelas 2,3, atau hadir dengan halusnya dan kemudian mendapatkan Oscar. Atau dalam dunia konsumsi, luxury goods itu tidak hanya soal barangnya dan narasinya, tetapi juga kelangkaannya.
Maka dalam suatu hidup bersama, hadirnya seorang pemimpin kelas medioker bisa-bisa merepotkan. Bahkan menjengkelkan. Bagaimana tidak, karena ke-mediokeran itu maka biaya untuk menjaga sehingga selalu tampak mengkilap bisa-bisa begitu mahalnya. Tidak hanya biaya terkait dengan uang, tetapi terlebih adalah biaya sosialnya. Coba bayangkan, untuk meyakinkan khalayak bahwa si-pemimpin kelas medioker itu, sebut saja sik-Jé misalnya, adalah ‘orang-baik-yang-langka’ maka kemudian diperlukanlah parade ‘orang-orang-brengsek’ di sekitarnya. Silih berganti orang-orang sekitarnya itu berucap semau-maunya, bertingkah sok-sok-an tanpa malu lagi, usul yang asal usul dan jelas usulannya itu sama sekali tidak bermutu dan akan menyakiti khalayak. Tetapi itu harus dilakukan. Masuk ke dalam lingkaran ‘kaum bangsawan’ salah satu syaratnya adalah jika waktunya untuk menjadi konyol demi mengkilapnya sik-Jé, maka tanpa ba-bi-bu harus segera berangkat. Tidak boleh menawar. Tidak boleh ragu. Atau yang tahu persis kebutuhan sik-Jé yang satu ini, bisa-bisa orang akan berlaku konyol-se-konyol-konyol-nya demi bisa masuk ke lingkaran kaum bangsawan itu. Mau menjadi konyol kemudian menjadi salah satu bukti loyalitas. Repot-menjengkelkan memang. Mungkinkah itu? Dalam republik telik sandi mungkin saja. Brengsek memang! *** (29-07-2021)