21-07-2021
Kepada rektor yang satu ini kita sebagai warga negara republik pantas menghaturkan ucapan terimakasih setinggi-tingginya. Mengapa? Karena adanya ia sebagai rektor UI itu dengan segala perilakunya, telah membantu menguak banyak hal. Telah membantu khalayak kebanyakan lebih yakin (lagi) apa yang sebenarnya terjadi di republik. Mari kita mulai dari ‘problematik white supremacy’ yang sudah disinggung dalam tulisan terdahulu.
Apakah hal ‘supremasi kulit putih’ yang berkembang di Eropa sana di abad 17-18 itu kemudian menyebabkan berkembangnya secara massif perbudakan, terutama kulit hitam dari Afrika, pada abad-abad itu? Ataukah ketika perbudakan dari orang-orang kulit berwarna itulah yang kemudian ‘memprovokasi’ berkembangnya hal ‘supremasi kulit putih’ itu? Itulah yang dimaksud ideologi kadang terperosok dalam ‘kotak camera obscura’. Dalam contoh di atas, ketika kemudian diyakini bahwa ideologi ‘supremasi kulit putih’ itulah yang menyebabkan merebaknya perbudakan. Bagi Marx, relasi-relasi kekuatan produksilah yang primer, ia akan sangat menentukan apa-apa yang berkembang di ‘bangunan atas’, termasuk hal ideologi. Dan di abad 17-18, perbudakan adalah pilar utama dari denyut relasi produksi pada masa itu.[1]
Dari problematika ‘supremasi kulit putih’ terhadap kulit berwarna itu kemudian kita bisa meliarkan imajinasi, bagaimana dengan ‘supremasi X’ terhadap di luar X di ranah hukum? Di ranah ‘negara berdasarkan hukum’ itu? Mengapa hidup bersama seakan terbelah menjadi dua, satu begitu superior-nya atas hukum, dan sisanya: harus taat hukum! Satu kelompok serasa sebagai golongan ‘supremasi kulit putih’ dan sisanya layaknya golongan budak yang harus taat pada majikannya melalui hukum-hukumnya? Jika mengikuti ‘saran’ Marx maka kita musti melihat fakta-fakta obyektif yang terjadi di basis untuk bisa menghayati secara tepat mengapa ‘supremasi X’ terhadap di luar X di ranah ‘negara berdasar hukum’ itu bisa merajalela seperti tercontohkan dari bermacam hal yang timbul di sekitar rektor UI itu? Mungkinkah itu karena berkembangnya sebuah relasi-relasi kekuatan produksi dominan yang lebih didasarkan pada mempermainkan hukum? Mengkangkangi hukum? Dan karena di basis sudah begitu biasanya mempermainkan hukum dalam relasi-relasi kekuatan produksinya, maka ‘bangunan atas’-nya pun kemudian serasa beyond the law itu. Tanpa beban.
Maka kita-pun sangat wajar jika menjadi kuatir, terutama pada konsekuensi lanjutannya. Berkaca pada apa yang terjadi di era perbudakan itu: pendisiplinan total. Yang ujung-ter-akhir-nya adalah melecutnya cambuk, dan bahkan tiang gantung! Sebelum sampai ujung terakhir maka akan diberitahukan pada yang di luar mereka –jaman old old old: para budak, hukuman akan jauh lebih berat dibanding dengan ketika teman-teman mereka, lingkaran dalam ‘supremasi kulit putih’ yang melanggar. Terlalu banyak contoh soal hal ini di jaman now, lihat mengapa ungkapan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas tetap bertahan kepopulerannya terus-menerus. Atau hukum ‘yang pilih-pilih’. Atau diskon hukuman gila-gila-an terhadap ‘rekan-rekan sepermainan’ mereka. Menurut Marx, sekali lagi, ini tak akan terjelaskan jika gejolak di basis tidak ditelusuri dengan cermat.
Maka sekali lagi, terimakasih rektor UI. Terimakasih. Te-ri-ma-ka-sih! Tabik. Tabik. Bravo. Bravo. Hebat! Ayo tepuk tangaaan: plok .... plok ..... plok .... plok .... plok .... Tepuk kakiii: plek ... plek ... plek ... plek ... Keplok sing banter, cuk! Jangan tanggung-tanggung! Nèk mèlu kenthir ojo nanggung, cuk! *** (21-07-2021)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/783-Dari-Ideologi-ke-Fakta-Alternatif/