08-07-2021
Dalam pertandingan sepak bola, kadang ditampilkan di layar televisi wajah-wajah kecewa saat bola membentur tiang gawang. Atau wajah-wajah gembira saat gol terjadi. Atau wajah marah ketika idolanya dilanggar dengan keras. Melonjak kegirangan dengan wajah sumringah ketika sadar dirinya ditampilkan di layar lebar dalam stadion. Wajah tegang saat menunggu pinalti. Wajah kecewa tak percaya yang mestinya 99% gol ternyata meleset. Maka wajah tidak hanya soal ganteng atau cantik, atau menarik dan sekitarnya. Dan jelas juga lebih dari sekedar bibir.
Atau misal kita menggedong yunior, dan tiba-tiba saja senyum sendiri, dan kitapun ikut melonjak kegirangan. Atau sedang menangis karena lapar, kitapun seakan ditarik untuk mendekat dan mengusap wajahnya pelan. Dan ketika menjadi diam kemudian menatap dengan bola mata besarnya, kitapun bisa tak tahan untuk mengulik-uliknya. Bagi Emmanuel Levinas, pertemuan face-to-face, pertemuan tatap muka langsung itu tidak hanya soal ngobrol atau komunikasi saja. Tetapi wajah-wajah itu adalah juga sebuah penampakan dari kehidupan. Kehidupan hadir dari bermacam tarikan wajah tersebut. Dan dengan itu saja kita sebenarnya tidak boleh ‘semau-maunya’ dalam pertemuan face-to-face itu. Bahkan dikatakan oleh Levinas, wajah-wajah yang hadir dalam pertemuan face-to-face itu seakan ‘menuntut-kewajiban’ pula, sebuah pertanggung-jawaban kita terhadapnya. Ada relasi tertentu sehingga kita tidak boleh kemudian sewenang-wenang.
Lalu bagaimana jika ada orang ketika bicara soal mobil Esemka misalnya, begitu berbusa-busa dan di kemudian hari terbukti bahwa itu adalah ngibul belaka? Atau ekspresi wajahnya begitu meyakinkan ketika ditanya soal penguatan KPK. Dikatakan yang ini atau akan itu, tapi di kemudian hari terbukti bahwa kebalikannya-lah kejadiannya. Atau tidak akan utang tetapi kenyataannya kemudian utang ugal-ugalan. Dan terlalu banyak lagi contoh yang dilakukannya saat pertemuan face-to-face dengan orang tertentu atau banyak orang itu: asal njeplak. Wajah-wajah yang dihadapi saat kontak face-to-face itu diperlakukannya dengan seenaknya saja, sekali lagi: asal njeplak. Satu-dua-tiga kali mungkin masih banyak yang bisa menghayati sebagai ‘bagian dari permainan’. Tetapi ketika berulang-dan-berulang dengan tanpa beban tanpa tahu batas lagi? Maka tak mengherankan pula itu kemudian dihayati sebagai sudah ‘mempermainkan permainan’. Tak mengherankan pula jika kemudian ada yang memberikan gelar terhadap jenis semacam ini sebagai King of Lip Service. Tetapi jika mengingat hal-hal di atas, ini bisa-bisa lebih dari sekedar soal bibir saja. Jangan-jangan orang jenis ini memang tidak paham soal etika. Tidak tahu etika.
Dengan segala kegelapan-kemuraman di sana-sini pada abad-20, maka jika kemudian ada yang berharap abad 21 tidak hanya sebagai abad pengetahuan seiring dengan kemajuan teknologi informasi, tetapi juga sekaligus abad etika itu adalah sungguh sebuah kewajaran. Apalagi dengan segala kedaruratan iklim seperti sekarang ini. Dan jika suatu komunitas dipimpin oleh yang tidak paham etika, jangan-jangan komunitas itu nantinya akan berjalan jauh di belakang pergaulan global yang berkembang. Maka King of Lip Service yang tidak paham soal etika itu pada akhirnya memang hanya akan membangun keterbelakangan saja. Rusak-rusakan dalam bermacam segi kehidupan bersama. *** (08-07-2021)