07-07-2021
Dalam soal menegara, di manapun bicara kebocoran anggaran negara adalah masalah amat serius. Di negara manapun. Mau diihat dari sisi manapun memang itu adalah masalah serius, dan tidak sepantasnya menjadi bahan olok-olok, dalam konteks apapun juga. Dengan menahan mual, terpaksalah hal ini diangkat lagi untuk melihat apakah itu hanya sekedar olok-olok saja atau ada hal lainnya. Olok-olok kebocoran anggaran negara itu muncul dalam kampanye pilpres 2019 lalu ketika salah satu calon menanggapi isu kebocoran anggaran negara yang diangkat oleh lawan dalam pemilihan itu dengan olok-olok: ‘bocooor ... bocooor ... bocooor ...’ berkali-kali, dan massa peserta kampanye-pun menyambut dengan teriakan serupa” ‘bocooor ... bocooor ... bocooor ...’. ‘Khas’ manusia massa pada waktu tertentunya. Lihat muka si-calon saat teriak olok-olok ‘bocor-bocor’ itu, anda sebagai warga-negara pembayar pajak dalam bermacam bentuknya, mulai merasa mual?
Tetapi itu baru satu peristiwa meski kita bisa mulai dapat gambaran mengapa itu dimunculkan sebagai bahan olok-olok. Dalam bermacam peristiwa atau kesempatan berbeda kitapun bisa juga menjumpai hal olok-olok ini dalam konteks menegara, berulang dan berulang. Macam-macam bentuk dan penampakannya. Dari yang verbal maupun melalui bahasa tubuh. Tetapi intinya mirip, tak jauh dari olok-olok atau sekitar glècènan saja. Termasuk juga ketika di awal-awal wabah di bagian pertama tahun 2020, bagaimana kompilasi pernyataan-pernyataan melalui bermacam jejak digital menunjukkan, dan bahkan tik-tok-an goyang ubur-ubur itu secara vulgar hadir sebagai olok-olok di ranah negara. Belum lagi bermacam ulah-keparat para buzzerRp itu. Bahkan bencana-pun jadi tempat selfa-selfi dan gegayaan aksi depan kamera yang sudah tak tahu malu tak tahu diri itu. Apa yang dapat kita lihat lebih jauh dari terus berulang-ulangnya olok-olok di ranah negara ini?
Sesuatu yang berulang dan berulang maka patut kita lihat juga itu sebagai proses ‘habitualisasi’. Tetapi apakah hanya sekedar soal pembiasaan kebiasaan? Mungkin tidak jauh berbeda, apakah ini juga soal ‘deep frames’ jika memakai istilah George Lakoff? Atau kalau kita ingat pandangan Thatcher terkait ‘ekonomi sebagai metode’ itu, dimana menurut Thatcher yang penting adalah ‘mengubah hati dan jiwa’ sehingga ‘metode ekonomi’ neoliberalisme yang dicanangkannya itu bisa berjalan dengan baik. “Berani Jujur Hebat!” demikian slogan dari KPK, tetapi mengapa kemudian ‘slogan tandingan’ “Berani Jujur Pecat!” muncul dan mendapat sambutan luas? Bagi Lakoff, slogan-slogan di atas, atau kata-kata tertentu yang muncul, gambar-gambar tertentu, bisa jadi itu adalah sebuah pembingkaian, framing, dan sebenarnya lebih pada surfcace frames saja. ‘Slogan tandingan’: “Berani Jujur Pecat” tidak akan mendapat sambutan sedemikian luas jika tidak berkembang pula adanya ‘deep frames’, yang mulai terbangun perlahan terkait segala kisruh dalam tubuh KPK itu. Atau lihat bagaimana yang mulia tuanku Fadjroel Rachman sebagai staf khusus bidang komunikasi presiden itu menggelar webinar tentang ibukota baru di tengah-tengah warga sungguh sedang gundah dan ketakutan menghadapi wabah yang semakin menggila ini. Kalau ‘deep frames’ soal ‘rejim semau-maunya sendiri’ tidak merebak di kalangan banyak khalayak, mungkin ‘olok-olok’ itu akan tetap digelar oleh yang mulia tuanku FR itu. Bangsat-lah. Reaksi khalayak atas webinar itu adalah sebuah surface frames ‘kontra’ yang muncul adanya deep frames berupa kemuakan atas ugal-ugalan, semau-maunya sendiri dari si-rejim.[1] Menurut Lakoff, deep frames adalah tempat digantungkannya surface frames.
Lalu apa yang ingin dibangun deep frames-nya di kalangan khalayak dengan berulang-ulangnya olok-olok itu? Kalau boleh mengajukan satu kata: mediokerisasi! Supaya menghayati menegara secara medioker, secara ‘ndèk-ndèk-an’ saja. Ala kadarnya saja. Layaknya seorang hamba sedang berdiri di depan yang mulia tuanku itu. Rejim bukannya tidak pernah serius dengan jauh dari olok-olok, pernah, dan bahkan tidak pernah satu kalipun glècènan: di depan para oligark-mafia! Maka, itulah versi lain dari one-country-two-systems. Pada khalayak-warga negara pada umumnya: sistem glècènan, pada para oligark-mafia: sistemnya serius habis. Bukti paling akhir, ya apa yang dibuat oleh yang mulia tuanku FR staf khusus presiden baru-baru ini, webinar soal ibukota baru di tengah wabah yang sedang menggila. Atau lihat bagaimana olok-olok melalui rute hak prerogatif itu, milih beberapa menteri semau-maunya tanpa melihat kompetensi dan rekam jejak pada bidangnya. Ala kadarnya.
Apa yang kau lakukan terus-menerus akan juga mempengaruhi adanya kamu, demikian banyak orang mengatakan. Itu akan membangun sebuah karakter, katanya. Bahkan juga soal makan, you are what you eat. Atau juga rumor, ketika kita asyik menyebar rumor dan ditangkap kebanyakan orang sebagai hal benar, bisa-bisa jika kemudian kembali ke kita, kita sendiri menjadi percaya bahwa itu adalah benar. Maka, bahkan virus-pun kemudian di-olok-olok, dengan percaya diri pula. Lupa bahwa virus tidak mengenal olok-olok. Mungkinkah bermacam dinamika pergeseran geopolitik di luar juga di-olok-olok? Potensi pecahnya perang besar di kawasan Pasifik juga di-olok-olok? Tanpa sadar rejim olok-olok ini telah mempertaruhkan bangunan kemerdekaan yang telah mengorbankan penderitaan, darah, dan nyawa para pendahulu. Juga mimpi-mimpinya.
Dan apakah hanya kemudian berhenti pada masalah bermacam sumber daya ada di tangan para oligark-mafia ketika semakin nampak bahwa olok-olok itu berlangsung tanpa henti dan menjadi begitu dalamnya? Maka jangan-jangan ini sudah lebih dari itu, yaitu masalah: kedaulatan. Karena ketika terlalu banyak olok-olok, sense of emergency-pun ikut menguap. *** (07-07-2021)
[1] Lihat juga, https://www.pergerakankebang
saan.com/777-Tak-Terjelaskan-Tanpa-Hal-Curang/