05-07-2021
Bagaimana kita akan menjelaskan, sudah tahu besok akan ada ujian koq malah dugem sampai malam? Tidak belajar?! Mungkin jauh sebelumnya dia sudah belajar, dan memang otaknya lebih encer dibanding lainnya. Prestasi selama ini membuktikan. Atau dia tidak peduli lagi mau lulus atau tidak? Santai habis. Atau sudah berusaha memahami mata-kuliah tapi nggak paham-paham, akhirnya pasrah saja. Atau kemungkinan lain, ia sudah mengantongi bocoran soal dan sudah tahu jawaban dari soal-soal ujian besok. Curang habis. Toh ujian semester dulu-dulu ia curang dengan mendapat bocoran lebih dahulu-pun tidak ada yang tahu. Tehnik curangnya sudah super canggih. Atau bermacam kerpèkan sudah dipersiapkan di kertas kecil-kecil. Bahkan di HP.
Bagi makhluk hidup, mempertahankan hidup adalah bagian tak terpisahkan dari adanya. Meski pada akhirnya toh kematian pasti akan menjemputnya, entah kapan. Tetapi dari sekian makhluk hidup, hanya manusialah yang menjadikan kematian tidak hanya sebagai hal tak terelakkan, tetapi sebagai ‘horison’ dalam mawas diri. Sebagai ‘batas horison’ yang sudah tidak mungkin dimajukan lagi dimana ia dengan itu ‘terpaksa’ akan melihat diri dengan, katakanlah, ‘menunda’ dulu segala yang ia yakini selama ini. Kalau toh ia kemudian menemukan jawaban dalam bermacam ajaran atau lainnya, ia punya kebebasan penuh untuk taken for granted ataupun tidak. Karena bagaimanapun juga kematian itu haruslah dihadapinya sendiri dan tidak mungkin untuk diwakilkan pada siapapun. Jika kematian kemudian menjadi ‘batas horison’ dari sebuah kehidupan maka sebenarnya itu juga menguak bahwa ada bermacam kemungkinan dalam kehidupannya. Esensi dari adanya sebuah horison adalah hadirnya posibilitas. Kemungkinan-kemungkinan yang terus membayang untuk bermacam keputusan. Keputusan bebas saya terhadap bermacam kemungkinan itu. Horison adalah room for progress bagi siapa saja yang hidup di dalamnya.
Esensi dari demokrasi salah satunya adalah dimungkinkannya pergantian kekuasaan tanpa harus melalui jalan perang. Kematian sebuah rejim untuk digantikan oleh rejim lainnya adalah hal yang semestinya dimungkinkan. Adanya ‘horison kematian rejim’ inilah salah satu yang diharapkan akan memunculkan juga dorongan untuk melihat bermacam kemungkinan itu tidak dengan semau-maunya. Bagi 'kapitalis sejati', horison 'creative destruction' pastilah akan terus membayang lekat, misalnya. Maka ketika penampakan dari bermacam hal justru menampakkan perilaku semau-maunya, timbulnya pertanyaan soal ada atau tidaknya ‘horison kematian rejim’ sangat wajar jika kemudian muncul. Lalu demokrasi seperti apakah yang kemudian mengingkari potensi kematian sebuah rejim? Itulah kemungkinan yang terjadi di jaman old: demokrasi se-olah-olah. Kecurangan yang masif, sistematis, dan terstruktur-lah yang kemudian mendorong ada pihak yang dengan penuh kepercayaan diri mengingkari kemungkinan kematian rejim itu. Baik kecurangan dalam input, proses, maupun out-putnya. Bicara soal demokrasi yang otentik sebenarnya bicara soal kemungkinan matinya sebuah rejim melalui jalan damai, bukan perang atau chaos.
Dalam demokrasi otentik, si-terpilih akan selalu dalam bayang-bayang ‘mati rejim’ karena selalu dimungkinkan dicabutnya ‘nyawa’ oleh si-pemilih. Entah melalui prosedur biasa dengan mekanisme pemilihan atau di tengah jalan dalam bermacam bentuknya. Dan dari situlah akan dimungkinkan munculnya ‘pemimpin yang otentik’, yang paling tidak berangkat dari paham betul darimana ia berasal: dari adanya ‘kesepakatan’ dengan warganya. Maka akan meminta-maaf-lah ia jika merasa telah berbuat salah atau merasa kurang dalam berusaha, baik langsung atau tidak, menempatkan rakyat pemilih dalam situasi yang mengancam jiwa seperti saat pandemi ini, misalnya. Atau bahkan banyak yang meninggal. Atau mengundurkan diri ketika polah-tingkahnya jelas melukai ‘kesepakatannya’ dengan para pemilihnya.
Apakah kemudian bisa kita katakan pula bahwa kita dapat melihat ‘sesuatu’ pada sebuah rejim dari bagaimana ia bersikap terhadap kematian-kematian kongkret warganya? Sangat jelas, bahkan sebelum ajal menjemput seperti kemiskinan kronis, kelaparan, dan lain-lain yang langsung atau tidak semakin mendekatkan pada kematian itu. Apa yang dilakukan ketika ratusan warganya tenggelam bersama kapalnya di danau? Atau ratusan petugas pemilihan meregang nyawa? Atau yang ditembak dengan sewenang-wenang? Atau tenaga-tenaga kesehatan yang meregang nyawa ketika berjibaku menghadapi wabah ini? Atau warga yang meninggal di rumah, atau di depan pintu masuk RS, atau juga di dalam RS itu? ‘Sesuatu’ bisa kita lihat dari penampakan-penampakan seperti di atas adalah bisa-bisa ia adalah rejim yang sangat percaya diri bahwa ‘kematian rejim’ itu tidak berlaku pada dirinya. Dan dalam demokrasi, kecurangan massif, sistematis, dan terstruktur-lah dalam input-proses-dan outputnya akan memberikan keyakinan seperti itu. Potensi mati di tengah jalan-pun akan diingkari juga karena merasa menguasai kekuatan uang dan terutama, kekuatan kekerasan. Pelajaran dari Suriah selama 21 tahun terakhir di bawah Bashar al Assad dengan segala ‘demokrasi se-olah-olah’-nya itu mestinya memberikan pelajaran bagi semua saja. Rusak-rusakan. *** (05-07-2021)