17-06-2021
Presidential Threshold (PT) 0% sebenarnya merupakan salah satu langkah awal sebagai ‘pemula’[1] untuk membangun hidup bersama di republik sesuai dengan hal mendasar yang disepakati. Bahkan jika itu tidak usah dikait-kaitkan dengan segala yang terjadi di jaman old, terlebih sejarah hitam-pekatnya. Siapa saja mendapat kesempatan sama untuk menjadi orang nomer 1 di republik, tanpa harus litsas-litsus, atau kalau jaman now, tes wawasan kebangsaan atau sejenisnya. Siapa saja sejauh undang-undang memperbolehkan, misal orang yang sedang terganggu jiwanya mestinya tidak bolehlah ikut kontestasi. Siapa saja, dari yang ada di pojok kanan maupun di pojok kiri, atau di tengah. Maka upaya Rizal Ramli dkk serta pihak-pihak lain yang tiada henti memperjuangkan PT 0% ini sampai kapanpun sangat layak untuk didukung. Selain juga tentu bagaimana membangun wasit, atau KPU yang sungguh-sungguh diisi oleh orang-orang terhormat. Bukan yang tidak bermutu, kelas medioker, dan bahkan sangat tipis aura kehormatannya itu. Sama sekali tidak punya martabat.
Maka dalam konteks republik, PT yang tidak 0% bisa juga dihayati sebagai kegagalan dalam men-suspend masa lalu (bagian yang kelam-hitam-pekat), gagal dalam memberikan ‘tanda kurung’[2] dulu terhadap bagian masa lalu tersebut. Dan juga sebenarnya, gagal mendekati hal mendasar dari hidup bersama. Bagi generasi muda yang di tahun 1998 masih balita, hal seperti ini mestinya menjadi catatan penting sendiri. Bukan karena ia akan dikhawatirkan sebagai ‘yang tidak tahu sejarah’, tetapi adalah karena ia pengemban utama masa depan hidup bersama. Percayalah, dalam dunia digital ini bagian masa lalu termasuk yang hitam-pekat akan sangat mudah diakses dalam bermacam versinya. Dan dengan selalu terpapar silih-bergantinya informasi, atau bahkan kadang saat asyik main game, otak anak-anak kita sebenarnya bisa berkembang lebih lentur, lebih lincah, lebih mudah belajar. Don’t worry, be happy-lah. Maka memberikan ‘tanda kurung’ terhadap bagian masa lalu yang menghitam itu janganlah terus menjadi terlalu kuatir generasi muda akan nir-sejarah.
Dan ini tidaklah ada urusannya dengan ‘berpikir positif, atau ‘berpikir negatif’. Tetapi urusannya adalah mendekatkan diri pada hal-hal mendasar yang sudah disepakati dalam hidup bersama. Hal-hal mendasar yang akan mendasari upaya keberesan politik dan keberesan rejeki. Dan pada saatnya, bukan hanya keberesan masa kini, tetapi juga keberesan masa depan dan masa lalu juga tentunya. Apa yang dilakukan China, sebagai sama-sama ‘orang Timur’ dapat memberikan pelajaran tersendiri. Jelas era Ketua Mao tidak sedikit sejarah hitam-pekat ditorehkan, tetapi yang serba kelam itu ‘ditunda’ dulu, dan kemudian Ketua Deng mengajak untuk sebagai ‘pemula’ mendekat pada salah satu hal mendasar dari hidup bersama, bagaimana bersama-sama mencari jalan untuk menuju ‘keberesan rejeki’. Ketika ‘keberesan rejeki’ menampakkan hasil gigantisnya berpuluh tahun kemudian, bagaimana sekarang rakyat China akan menghayati segala bagian kelam era Mao? Pertanyaan yang menggelitik, yang mungkin saja jawaban akan berbeda jika kita tanyakan lagi di 10-20 tahun mendatang.
Bagian kelam masa lalu itu perlu di-suspend tidak hanya akan memberikan kesempatan mengalami sesuatu sebagai ‘pemula’, tetapi sebenarnya juga untuk mencegah si-sovereign dalam konteks schmittian itu untuk kembali lagi. Bagian hitam-pekatnya masa lalu itu jika dieksploitasi terus menerus maka bisa-bisa suasana kebatinan akan terperangkap dalam situasi ‘permanent exception’. Dan jika itu terjadi maka si-‘he who decides on the exception’ itu akan merasa di atas angin (lagi). *** (17-06-2021)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/760-Lupa-Sebagai-Tindakan-2/
[2] Ibid