16-06-2021
Maka jangan hanya soal korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa atau extra-ordinary crime itu, tetapi segala yang terkait dengan penyelenggaraan prosedur-prosedur demokrasi-pun harus juga ada dalam bayang-bayang kejahatan luar biasa ini. Paradigma zero tolerance misalnya, itupun harus melekat pada diri para penyelenggara pemilihan. Sungguh sangat-sangat memprihatinkan ketika ada anggota KPU yang tertangkap OTT itu. Sungguh sangat-sangat menjengkelkan ketika tuntutan audit independen sistem IT KPU ditolak oleh para anggota KPU yang terhormat itu. Juga sungguh sangat-sangat menggelisahkan ketika soal validasi data pemilih dirasakan banyak pihak begitu carut-marutnya. Ditambah lagi dengan banyaknya kematian dari para petugas pemilihan di lapangan, dan minimnya evaluasi dari para anggota KPU yang terhormat itu terkait dengan hal tersebut.
Peringatan Alvin Toffler soal kuatnya pengaruh birokrasi dalam penyelenggaraan atau pengelolaan ketata-negaraan kiranya perlu diperhatikan. Dalam konteks penyelenggaraan pemilihan, jelas KPU akan bekerja bersama dengan unsur dari birokrasi ini, paling tidak dengan kesekretariatannya. Godaan dalam beribu-bentuknya bisa berasal dari orang-orang tertentu dalam jajaran birokrasi ini, selain tentu jelas juga bantuan pentingnya dalam memperlancar tugas keseharian. ‘Orang baik-baik’-pun bisa-bisa kejeblos dalam ‘jaring-logika-gelap’ sebagian birokrat nakal. Belum lagi godaan dari para kontestan yang pastilah akan selalu ada. Mereka akan selalu mencari celah sekecil apapun. Belum dari para ‘bandar’. Maka memang menjadi penyelenggara pemilihan di ranah demokrasi ini akan menghadapi tantangan sangat berat, baik dari sisi politis, sosial, maupun teknis. Jelas tidak main-main dan tidak boleh main-main. Dan karena akan selalu dalam bayang-bayang kejahatan luar biasa maka penyelenggara pemilihan semestinya diisi oleh orang-orang ‘yang luar biasa’ juga. Yang serba medioker, yang biasa-biasa saja pasti akan dimakan bulat-bulat oleh bermacam kepentingan yang selalu beredar di kanan-kirinya itu. Dan salah satu yang berpotensi melahirkan pengkhianat sejati dari Reformasi, ya dari jajaran KPU ini.
Mengandalkan semata kualitas diri dari para anggota KPU dalam mengawal salah satu prosedur utama dalam demokrasi adalah pertaruhan besar. Terlebih jika kita menghayati adanya ‘masa transisi’ itu. Maka sangat perlu ‘pengawasan melekat’ tidak hanya dari para kontestan pemilihan, tetapi bahkan terutama dari masyarakat sipil. Salah satu kekuatan masyarakat sipil dalam menghadapi kekuatan negara salah satunya adalah sangsi-sosial-nya. Dan ketika sangsi-sosial itu memperoleh salah satu momentum pentingnya dalam memberikan ‘hukuman’ atau ‘apresiasi’ pada peristiwa pemilihan, itu bisa-bisa sangat mudah dibajak oleh KPU jika ia dalam praktek berperilaku mbèlgèdès-ugal-ugalan. Berperilaku sungguh tanpa kehormatan sama sekali. Karena ini ranah politik yang lekat dengan ranah kuasa, maka bagi siapa saja yang ikut dalam ‘pengawasan’ ini haruslah mempersiapkan diri dalam segala halnya. Jangan hanya misalnya tiba-tiba saja beredar foto dengan seseorang kemudian menjadi balik kanan, mundur teratur. Super konyol itu. *** (16-06-2021)