14-06-2021
Kita lupa atau ingat bisa terjadi begitu saja. Kadang dalam hidup pribadi atau dalam relasi privat, lebih baik ada hal yang dilupakan. Tetapi dalam kasus-kasus tertentu, kadang ingatan yang sudah begitu dalam terkubur itu, yang seakan sudah dilupakan perlulah ‘dikelola’ dengan tepat demi kualitas hidup yang dijalani. Rekan dari ilmu jiwa pastilah menguasai hal ini. Tetapi bagaimana soal lupa dan ingat ini jika melibatkan kehidupan publik? Di ruang-ruang publik. Kadang-kadang term yang biasanya lebih sering dipakai di ruang privat, misalnya: sudahlah move-on ..., move-on ..., kemudian serta merta dibuat untuk berpetuah di ruang publik, tepatkah? Atau selalu tepatkah?
Dari bermacam komunitas kita bisa belajar banyak soal lupa-ingat di ruang-ruang publik. Francisco Franco naik ke puncak kekuasaan di Spanyol pada tahun 1939 di usia 47 tahun, sejak berakhirnya Perang Saudara di sana, dan sampai meninggal di tahun 1975 ia memerintah Spanyol dengan tangan besinya. Ia mungkin diktator paling lama yang pernah memerintah pada era modern ini. Beberapa tahun sebelum Perang Saudara pecah di Spanyol itu Carl Schmitt menuliskan bahwa “sovereign is he who decides on the exception.” Exception yang dimaksud Schmitt sungguh situasi kegelapan, dan salah satunya bisa muncul dari perang saudara yang memang bisa sungguh ganas. Bahkan setelah perang saudara berakhirpun bayang-bayang exception itu bisa terus membayang, atau paling tidak sangat bisa untuk dieksploitasi sedemikian rupa sebagai katakanlah, permanent exception, sehingga si-sovereign memperoleh ‘legitimasinya’ untuk mempertahankan kedaulatannya. Mempertahankan he who decides on the exception. Mungkin karena ini pula Franco bisa bertahan lebih dari 30 tahun dengan tangan besinya. Tetapi tulisan ini lebih pada pasca Franco. Pasca kematian Franco yang kemudian muncul sebuah kesepakatan: Pact of Forgetting. “In Spain there is only one way to reach democracy, which is to forget the past,” the Communist leader Santiago Carrillo said in 1975.[1]
Apa yang memungkinkan tindakan ‘melupakan masa lalu’ di tahun 1975 itu bisa disepakati? Kesepakatan memang lebih diambil oleh pimpinan-pimpinan politik, dan ini penting karena ini adalah ranah politik. Tetapi ranah politik bagaimanapun tidak pernah steril dari gejolak geopolitik di luarnya. Dan kalau dilihat dari perkembangan perjalanan paradigma neoliberalisme sejak awal tahun 1970-an, memang kaum neolib sedang menguat dengan didorong mulai stagnannya korporasi-korporasi besar di era welfare state. Dalam bentuk lain sebenarnya tidaklah jauh dari langkah yang kemudian diambil Deng Xiao Ping pasca kematian Mao di tahun 1976. Atau kalau mau memakai kata-kata si-Bung, mari kita fokuskan pada keberesan politik dan keberesan rejeki. Pasca Franco, lebih berangkat dari upaya isu keberesan politik, pasca Mao lebih berangkat pada isu keberesan rejeki: entah kucing hitam atau putih pokoknya bisa tangkap tikus, kata Ketua Deng. Dan kita bisa melihat dari perjalanan mereka, atau mengambil pelajaran: masalahnya adalah di ‘kredibilitas pilihan’. Apakah pilihan keberesan politiknya sungguh kredibel sehingga itu bisa menjadi landasan kuat untuk keberesan ekonomi, atau sebaliknya. Tetapi apapun pilihannya, tetaplah bisa dikatakan itu adalah putusan politik. Putusan dalam bayang-bayang relasi kuasa.
Tetapi meski ‘Pact of Forgetting’ itu memperoleh legitimasi yuridisnya di sekitar 2 tahun kemudian, pada dekade awal abad 21 tetaplah muncul tuntutan penyelesaian bermacam pelanggaran kemanusiaan di era Franco itu. Akhirnya memang kemudian ada langkah-langkah soal itu beserta kemudian ada kompensasi bagi korban, dan pada bulan Februari 2021 kemarin patung terakhir Franco-pun diturunkan. Maka meski kemudian nampak bahwa ‘melupakan’ sejarah kelam masa lalu memang bisa dilakukan, tetapi harus disadari bahwa tetaplah itu sementara sifatnya. Dan yang paling penting bukan sementara atau tidaknya, atau lama-tidaknya kesementaraannya, tetapi adalah soal kredibilitas dalam mengarungi ‘kesementaraan’ lupa itu. Kalau kita memakai ‘tiga dunia’-nya Karl Popper, segala apa yang terjadi di masa lalu itu seakan sudah terlempar ke ‘dunia ke-3’. Maka bagaimana ‘dunia ke-2’ dimana ini termasuk juga rasa sakit, rasa geram, rasa sesal, cara penghayatan, dan sekitarnya itu dapat berkembang sedemikian rupa sehingga ketika dipakai untuk menghayati masa lalu yang sudah ngendon lama di ‘dunia ke-3’ itu maka diharapkan ada langkah-langkah yang lebih ‘produktif’ bagi hidup bersama yang ada di ‘dunia ke-1’ itu? Katakanlah, masa lalu yang sudah ter-obyektivasi itu diinternalisasi dengan cara-cara yang lebih memberikan harapan bangunan masa depan lebih baik. Apapun bentuknya itu.
Setiap komunitas mestilah punya sejarah kelamnya sendiri-sendiri, tetapi jelas pula ada beda satu dengan yang lain soal pekat-kelamnya, soal berapa nyawa dan darah manusia ikut menggelapkan sejarah. Semakin kelam sejarah maka jika masa lalu diinginkan untuk tidak terus menghantui, hanya yang sungguh kredibel yang akan mampu mengantarkan komunitas ini ke masa depan yang lebih baik. Kredibel dari asal katanya tak jauh dari credo, “I believe.” *** (14-06-2021)
[1] https://www.nytimes.com/
roomfordebate/2014/01/06/turning-away-from-painful-chapters/forgetting-in-order-to-move-on