09-06-2021
Bayangkan kita hidup dalam sebuah kerajaan, ketika sang raja lewat, kitapun akan memberikan hormat. Membungkuk, atau apalah, minimal menghentikan kegiatan saat itu. Tidak akan ada yang berani beraksi pecicilan saat itu, apalagi melemparkan hinaan. Kata Polybius manusia berkumpul dan kemudian hidup bersama karena ketakutan. Ketakutan menghadapi segala gejolak dan ketidak-pastian semesta. Dalam hidup bersama itu perlahan berkembang pula sebuah ‘dunia’ bersama dalam jangkauan horison yang terbangun. Dari chaos-nya semesta menjadi kosmos, paling tidak dalam dunia hidup bersama itu. Termasuk juga bagaimana apa yang sering disebut sebagai ‘axis mundi’ itu berkembang. Penghubung antara dunia bawah bumi dengan langit yang akan membantu ‘tertibnya’ kosmos. Rejim monarki tidak hanya soal bagaimana masyarakat agraris melahirkan angan tertib kosmosnya tetapi juga termasuk bagaimana si-mono itu dirawat kewibawaannya. Meski ada yang gerundelan tetapi bahwa sang raja perlu dirawat demi tertibnya kosmos ada menyebar kongkret dalam suasana kebatinan hidup bersama. Demikian juga lingkaran dekat sang raja, kaum bangsawannya, para aristokratnya. Maka bisa dikatakan pada setiap rejim akan ada suasana kebatinan bersama siapa yang mesti dirawat kewibawaannya demi tertib hidup bersama.
Bagaimana dengan rejim demokrasi? Maka dengan mudah pula kita bisa membayangkan si-demos, rakyatlah semestinya yang dijaga kewibawaannya. Rakyat si-pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyat yang bahkan sering dikatakan sebagai vox populi vox dei itu. Tak jauh pada penghayatan monarki dimana si-mono itupun sering terhayati sebagai utusan dari langit. Bagaimana kita menjaga kewibawaan rakyat? Mungkinkah itu? Mengapa tidak, lihat bagaimana terberitakan misalnya Ketua Olimpiade Jepang itu mengundurkan diri karena dalam raapat ia menggunakan candaan bernuansa lekat dengan bias gender itu. Atau yang mundur beberapa waktu sebelumnya karena ucapan yang melukai rakyat. Atau mundur karena melanggar lampu lalu lintas. Macam-macam. Tetapi bukankah si-terpilih itu adalah juga pilihan rakyat, dan untuk itu perlulah juga dijaga kewibawaannya? Sebelum sampai di sana maka perlu diperjelas lagi bahwa adanya si-terpilih itu tidaklah dapat terjelaskan tanpa adanya rakyat. Termasuk juga sebenarnya dalam konteks bahasan ini, kewibawaannya. Kewibawaannya tidak lepas dari kewibawaan rakyat. Apakah itu berarti bahwa ia akan dijaga kewibawaannya hanya jika ia menghormati kewibawaan rakyatnya? Tidak juga. Bukan soal ‘hanya jika’ tetapi adalah soal apa yang masih dalam kendali dan tidak. Dalam soal apa-apa yang masih dalam kendali ini dan dalam konteks rejim demokrasi berserta bahasan soal kewibawaan, merawat kewibawaan rakyat-lah yang ada dalam kendalinya. Di luar itu adalah di luar kendalinya. Apakah rakyat akan memberikan respek-nya ketika ia berhasil merawat kewibawaan rakyatnya? Tentu ia bisa berharap banyak, tetapi tetaplah itu di luar kendalinya. Demikian juga ketika muncul kritik pedas atau bahkan hinaan akan dirinya, itu di luar kendalinya. Ketika boneka besar Trump itu ditendang, dipukul, atau untuk selfi bersama, santai-santai saja tuh si Trump. Tetapi bagaimana jika negara melalui aparatnya gagal menghormati rakyatnya seperti dalam kasus merebaknya BLM itu? Maka banyak polisi ketika menghadapi demonstrasi-pun memilih mengambil sikap berlutut. Minta maaf. *** (09-06-2021)