www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-06-2021

Neoliberalisme adalah angan akan sebuah kebebasan, terlebih kebebasan individu. Maka neoliberalisme akan sangat benci pada ekonomi terencana, atau juga katakanlah, ekonomi terpusat. Imajinasi akan survival of the fittest begitu dalam merasuki angan tersebut. Bagi mereka, welfare state ala pasca Perang Dunia II itu adalah paradigma yang mengkhianati fitrah manusia, mengkhianati kebebasan individu manusia. Yang sangat terganggu dengan paradigma welfare state ini adalah yang merasa lebih fit, dan terutama golongan the fittest-nya. Tak berlebihan ketika dalam masa menuju kematangannya, Thatcher yang melihat langsung bagaimana ‘generasi bunga’ itu ‘beraksi’, dan Thatcher-pun kemudian melihat dengan geram si-welfare state itu sebagai biang keladinya. Sebagai ‘penghasil si-malas tidak berguna’, sebab semestinya bertarung dalam perebutan siapa paling fit di rimba survival of the fittest itu. Kebebasan itu semestinya untuk bertarung, bukan untuk bermalas-malasan menikmati pajak-pajak yang diambil dari keringat yang mengucur dalam pertarungan untuk menjadi the fittest itu. Bahwa hampir 50 tahun kemudian di pertemuan G7 baru-baru ini disepakati untuk menaikkan pajak dari the fittest itu, bukan itu fokus tulisan ini. Tetapi adalah bagaimana Thatcher menghayati dinamika di atas, terlebih sebagai yang pegang kuasa riil.

What's irritated me about the whole direction of politics in the last 30 years is that it's always been towards the collectivist society. People have forgotten about the personal society. And they say: do I count, do I matter? To which the short answer is, yes. And therefore, it isn't that I set out on economic policies; it's that I set out really to change the approach, and changing the economics is the means of changing that approach. If you change the approach you really are after the heart and soul of the nation. Economics are the method; the object is to change the heart and soul,” demikian Thatcher dalam sebuah interview 31 Mei 1981, 40 tahun lalu. Thatcher tentu tidak sendirian dalam olah pemikirannya. Di belakangnya berdiri kokoh para pemikir yang tergabung dalam Mont Pelerin Society. Segera setelah Perang Dunia II berakhir, para pemikir aliran yang sekarang dikenal sebagai neoliberalisme itu, di tahun 1947 berkumpul di Mont Pelerin, sebuah resor di Swiss. Mereka yang bertemu saat itu antara lain Friedrich Hayek, Ludwig von Mises, Milton Friedman, dan juga Karl Popper. Mungkin dari Karl Popper ini, yang di tahun 1967-an mengajukan teori tentang ‘tiga dunia’, Thatcher menandaskan pentingnya heart and soul itu.

Heart and soul yang akan digunakan untuk menghayati pemikiran-pemikiran Hayek dkk sehingga akan berdampak kongkret ketika ‘kembali’ ke ‘dunia ke-1’. Sebenarnya tidaklah ‘hal baru’ apa yang ditandaskan oleh Thatcher itu. Kalau boleh kita menyandingkan, bukankah Thatcher seakan sedang sebagai ‘juru bicara’-nya ‘partai pelopor’ itu? Atau, bukankah ia sedang juga sebagai seorang ‘intelektual organik’-nya Gramsci itu? Tetapi apapun itu kita bisa juga mengatakan, Thatcher sedang bicara soal kompatibel tidaknya hati dan jiwa warganya dengan angan-angan yang sedang dibangun oleh partainya itu. Atau di sekitar ketika Thatcher sedang merangkak ke puncak kekuasaan di partainya itu, Koentjaraningrat di republik mempersoalkan kebudayaan dan mentalitas yang sesuai, yang kompatibel dengan angan pembangunan.

Maka jika kita memakai Marx, hal-hal di atas bisa dilihat juga sebagai upaya serius memaksimalkan ‘dunia atas’ untuk dapat mempengaruhi ‘dunia bawah’, basis. Serius karena jelas itu akan membutuhkan upaya lebih. Dan itulah sebenarnya kalau boleh kita sebut sebagai politik riil, politik terkait dengan apa-apa yang masih bisa diraih. Dan apa-apa yang bisa diraih itu tempatnya ada di ‘dunia bawah’. Bagaimana politik riil mempengaruhi relasi-relasi kekuatan produksi yang ada di ‘dunia bawah’ misalnya, atau katakanlah mungkin di ‘dunia ke-1’-nya Karl Popper itu. Maka politik-pun akan memerlukan orang-orang ‘kuat’ dalam arti pertama-tama soal integritasnya (tidak mudah ‘terpecah’), kemudian juga daya pikir-imajinasinya, layaknya sebuah ‘iron’ jika kita mengacu pada julukan Thatcher, Iron Lady. Apa yang dihadapi sungguh merupakan kekuatan yang dahsyat, kekuatan yang berasal dari gejolak dunia-bawah, basis-nya Marx itu. Jika kualitas ‘biasa-biasa’ saja maka pastilah ia akan dimakan mentah-mentah oleh bermacam gejolak hasrat yang ada di ‘dunia bawah’ itu.

Itupun masih dibantu dengan kesepakatan bersama bagaimana politik supaya tidak mudah ‘dimakan mentah-mentah’ oleh gejolak basis itu. Misalnya dengan pembatasan-pembatasan ketat soal dana pihak ketiga partai politik dari luar, atau partai politik dibiayai oleh negara. Intinya adalah, jika gejolak kekuatan yang ada di basis ini luput dari pertimbangan –baik dari sisi bagaimana harus ‘dikandangi’ ataupun lemahnya aktor politiknya, maka dipastikan akan semakin ugal-ugalan dan bahkan akan menjadi penentu satu-satunya bagaimana politik berperilaku. Dan bagaimana jika basis, ‘dunia bawah’ itu bukanlah relasi-relasi dalam nuansa neoliberalisme, atau sosialisme, atau kapitalisme, tetapi lebih pada relasi-relasi kapitalisme kroni itu, crony capitalism? Yang bisa-bisa selalu ada dalam bayang-bayang dekatnya kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, kolusi, nepotisme, korupsi, maling, ngunthet, ngutil, ngemplang, nggaglak, nguntal, nilep, mark-up, data ganda, data fiktif itu? Maka soal heart and soul-pun akan dibangun supaya ‘kompatibel’ dengan kapitalisme kroni itu. Dan jika politik pada akhirnya adalah membangun sebuah rejim, rejim seperti apakah yang akan ‘kompatibel’ dengan kapitalisme kroni itu? Yang paling kompatibel adalah rejim monarki, dimana kroniismenya itulah yang akan membangun ‘jaringan kaum bangsawan’-nya sebagai pendukung utama si-mono. Deja vu?

Bagaimana Thatcher membangun heart and soul supaya katakanlah warganya mau dan mampu menghayati jalan neoliberalisme secara benar? Apakah dengan membuat Badan Pembinaan Ideologi Neoliberalisme? Dan kemudian cuap sana cuap sini, mbacot ini mbacot itu, di sini njeplak di sana njeplak dimana-mana asal njeplak, dan yang tidak sesuai dengan pikiran BPIN itu kemudian di-stigma sebagai yang serba radikal? Nampaknya kok tidak. Soal heart and soul itu berkembang tidak dalam ranah knowing that, tetapi lebih pada knowing how, dan jika kita memakai istilah dalam pendidikan, itu lebih berjalan sebagai kurikulum tersembunyi, hidden curriculum. Contoh soal: "Kurikulum tersembunyi apa dalam laku ugal-ugalan pengangkatan komisaris BUMN itu?" *** (07-06-2021)

Hati dan Jiwa