03-06-2021
Dari 3G ke 4G, dari 4G ke 5G
Pada awalnya adalah jiwa (soul), atau tepatnya tripartit jiwa. Psikis atau kejiwaan manusia terdiri dari tiga komponen, menurut Platon: hal terkait dengan logika, keberanian-harga diri, dan nafsu. Bagian kepala, dada, dan di bawah pusar.
Ketika jiwa dalam praktek menjadi hasrat, selanjutnya adalah motif, atau tepatnya gelegak hasrat. Dalam berbagai perang dan penjajahan-imperialisme, dari Perang Peloponnesia sampai era kolonialisme. Itulah koalisi 3G, ketika tripartit hasrat bersatu dalam koalisi motif: God-Glory-Gold.
Bagi Alvin Toffler, bagian kepala-dada-bawah pusar-nya Platon itu mungkin berarti juga kekuatan pengetahuan, kekerasan, dan uang. Pada awalnya, jaman dulu –era revolusi pertanian, ujung tombaknya adalah kekuatan kekerasan (violence). Dalam perkembangan sejarah manusia –masuk era revolusi industri, terjadi pergeseran ujung tombak power, dari kekerasan ke uang (wealth). Dan dalam Power Shift (1990), Toffler berpendapat bahwa abad 21 –era revolusi informasi, pergeseran terjadi ke pengetahuan (knowledge). Toffler tidak bicara pergantian, tetapi pergeseran (shift) ‘ujung tombak’. Jadi ketiga sumber trisula kekuatan tetap masih ada, dan bayangkan jika ketiganya tidak hanya sekedar ada, tetapi dengan sadar berkoalisi. Sebuah kereta perang dengan nama ‘Exploitation de l’homme par l’homme Ekspres’ ditarik dua kuda liar: violence/glory dan wealth/gold, dengan sais knowledge dan atau bahkan oleh yang merasa dekat dengan God. Dahsyat, bro.
3G jaman now –juga jaman old sebetulnya, dapat membidani lahirnya G ke-empat: [G]overnment. Dengan kekuatan yang dimiliki dalam koalisi, pemerintahan boneka dilahirkan.
Pemerintahan boneka pada awalnya adalah benar-benar boneka. Tetapi di beberapa kasus, pemerintahan boneka kadang berkembang dan tidak mau menjadi sekedar boneka saja. Maka dari 3G ke 4G nuansa koalisi tetap terbawa, meski G ke-empatnya dalam posisi inferior. Pemerintahan yang dipilih oleh rakyat itu akhirnya (tetap) memilih memihak-berkoalisi dengan kekuatan 3G, dan tidak pada rakyat yang memilihnya. Dalam hal ini, bukan lagi silent takeover[i], tetapi sejak awal memang sudah di-takeover. Dan sama sekali tidak ada epik Raden Wijaya di sini. Maka untuk meminimalkan resiko G ke-empatnya berkembang semakin sok, semakin kuat dan me-Raden Wijaya: dipilihlah sosok yang kalau perlu dekat dengan ‘fitur’ plonga-plongo, tetapi punya potensi untuk populer. Memang membodohi abis, tetapi toh tujuan 3G adalah penguasaan, sama sekali bukan untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, apalagi “melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah-nya’[ii].
G ke-lima adalah respon awal dari rakyat biasa terhadap bercokol-kuat dan mbélgèdès-nya koalisi 4G.
G ke-lima adalah segala misuh, sumpah serapah yang keluar dari rakyat biasa, dan dimulai dengan huruf pertamanya: G. Giancuk, gangsat, gajingan, dan seterusnya. Dan jelas tanpa nuansa koalisi sedikitpun, non-kooperatif. Sana mau ke sana, sini mau ke sini, kata si Bung[iii]. *** (Mar 2018)[iv]
[i] Hertz, Noreena, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, 2003
[ii] Selengkapnya lihat: Pembukaan UUD 1945, alinea 4
[iii] Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka,1933
[iv] Lihat, https://www.pergerakanke
bangsaan.com/004-Dari-3G-ke-4G-Dari-4G-ke-5G/