26-05-2021
Ketika Nixon menjadi Wakil Presiden AS, Nikita S. Khrushchev sedang pada masa akhir kekuasaannya. Salah satu ungkapan Khruschev yang diingat Nixon adalah: “If the people believe there’s an imaginary river out there, you don’t tell them there’s no river there. You build an imaginary bridge over the imaginary river.” Bagaimana jika tidak hanya soal ‘tidak adanya sungai’ tetapi itu dilakukan berulangkali untuk bermacam hal pula. ‘Dunia atas’ yang dieksploitasi sedemikian rupa sehingga benarlah, memang kemudian menjadi benar-benra terputus dengan ‘dunia bawah’, basis, relasi kekuatan-kekuatan produksi itu. Kemana-mana yang ditenteng oleh pemimpin seperti itu adalah ‘camera obscura’. Tetapi apakah yang dikatakan Krushchev soal ‘build an imaginary bridge over the imaginary river’ adalah, kalau istilah jaman now: prank?
Tidaklah, bukan lelucon atau prank itu. Bisa saja untuk waktu yang lama ‘jembatan imajiner’ yang dibangun oleh Krushchev itu bisa bertahan lama. Sangat lama. Lihat misalnya ‘jembatan imajiner’ bernama ‘lepas landas’ itu, yang saking lama menunggunya dan justru mengaburkan banyaknya ‘penumpang gelap’-nya kemudian dipelesetkan oleh sebagian pihak sebagai: lha ndas mu ... Apalagi jika media massa ada dalam kendali total, dan waktu itu belumlah ada jaringan internet. Tetapi bagaimana jika bermacam ‘ ...imajiner’ itu berulang-dan-berulang, seperti disebut di atas, dan sayangnya lagi: mudah sekali konangan, ketahuan, ngibul-nya, apakah kemudian itu akan terhayati sebagai prank, leluconan saja? Mudah dan cepat konangan di era internet ini? Kita sering merasa muak dengan laku banyak pihak yang muncul di dunia maya, dan segera saja ada laku menjilat itu bisa lekat dirasakan. Menjilat demi dapat remah-remah, atau kalau beruntung bongkahan kecil dari kekuasaan. Terlalu banyak penjilat. Dan tidak salah penilaian itu, tidak salah pula jika komplit dengan segala kemuakannya. Tetapi di era demokrasi, jangan pernah lupa bahwa yang berkuasa itu adalah si-demos, rakyat -mestinya. Jadi bukankah kurang tepat bermacam ngibul dari si-terpilih katakanlah, itu kemudian ‘dibaptis’ sekedar prank saja? Lelucon saja? Tidak-lah. Itu adalah laku menjilat juga! Intinya, mau ‘menyenang-nyenangkan’ rakyat saja, dan bukankah ‘maunya-menyenang-nyenangkan-saja’ itu adalah salah satu bagian utama dari sebuah laku penjilatan?
Jika kita tidak mau republik menjadi bahan tertawaan maka janganlah laku membangun ‘imaginary bridge’ itu dihayati sebagai prank atau lelucon ketika ketahuan ngibul-nya. Itu adalah juga laku seorang penjilat. Penjilat-super, yang dijilat rakyat, si-demos. Tentu sebagai sindiran boleh-boleh saja, tetapi mengapa harus disindir-sindir lagi jika soal ndableg-nya, bebal-nya sudah terbukti valid? Dan dalam banyak hal kitapun bisa bertanya-tanya, apakah merebaknya wabah penjilatan ini sebenarnya merupakan sebuah wabah yang menyerang tubuh republik dengan port-de-entry-nya ada di mulut si penjilat-super itu? Tidak ada negara-bangsa menjadi besar dan kuat jika terlalu banyak disesaki oleh penjilat-penjilatnya. Apalagi jika dikelola oleh si-penjilat, se-super apapun jilatannya itu. *** (26-05-2021)