24-05-2021
Judul tulisan diambil dari buku Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, terbit pertamakali tahun 1974. Besok di tahun 2024 buku itu merayakan ulangtahun ke 50-nya. Dalam rentang waktu 50 tahun banyaklah hal bisa terjadi. Lihat misalnya, apa yang bisa diperbuat oleh negara-negara yang hancur akibat Perang Dunia II itu, katakanlah yang kalah dalam perang, Jerman dan Jepang, misalnya. Atau China, katakanlah sejak Deng Xiao Ping semakin kuat dalam posisi politiknya itu. Meski banyak catatan perlu ditambahkan, tentu banyak kemajuan yang telah dicapai oleh republik selama kurun waktu 50 tahun itu. Masalahnya adalah selama 50 tahun itu seakan kita terkurung dalam ‘dikotomi’ antara ‘politik sebagai panglima’ dan ‘ekonomi (bisa dibaca: pembangunan) sebagai panglima’. Padahal menurut Mangunwijaya, kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari bagaimana soal kuasa itu dikelola. Ketika ‘politik sebagai panglima’ dinyinyirin terus, sadar-atau-tidak, kita bisa terjerembab untuk abai soal ‘kualitas’ hidup bersama ini. Lihat misalnya pendapat Toynbee yang mengatakan bahwa salah satu sebab penting mundurnya peradaban adalah karena berubahnya si-minoritas kreatif menjadi si-minoritas dominan itu. Dan bagaimanapun itu adalah juga soal kelola kuasa itu.
Di buku terbitan 1974 itu, Koentjaraningrat menulis soal kelemahan mentalitas dalam pembangunan, seperti (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Apakah kemudian akan dikatakan sebagai hal naif jika politik dikaitkan dengan lima hal di atas? Tetapi bukankah bagaimana ekonomi dikelola itu misalnya, sangat lekat dengan keputusan-keputusan politik? Atau, mungkinkah pemakaian narasi ‘panglima’ dalam ‘politik sebagai panglima’, atau ‘ekonomi sebagai panglima’ itulah yang memberikan nuansa ‘dikotomis’ itu? Terjerembab dalam situasi atau penghayatan ‘saling memotong’ satu sama lain. Dan ketika dulu dinarasikan sebagai ‘ekonomi sebagai panglima’ maka itu kemudian terhayati dengan serta merta masalah politik ‘dipotong’ dulu.
Dari sebelum Perang Dunia I dan II, dan terlebih setelah Perang Dunia II sampai dengan mencuatnya keprihatinan soal kedaruratan iklim tahun-tahun terakhir ini, semakin nampak bahwa bagaimanapun juga masalah ekonomi itu tidak akan lepas dari bermacam keputusan politik. Bahkan paradigma laissez-faire-pun perlu keputusan politik. Lihat misalnya bagaimana paradigma kaum neoliberal itu mengalami percepatannya ketika Thatcher dan Reagan naik ke puncak kekuasaannya. Atau yang akhir-akhir ini, beda pendekatan antara Trump dan Biden itu. Maka tidak berlebihan jika (paling tidak) ke-5 yang dipersoalkan oleh Koentjaraningrat hampir 50 tahun itu dapat kita persoalkan lagi di ranah (pembangunan) politik.
Jika ke-5 hal di atas kita lihat lebih jauh lagi, kita bisa menghayati bahwa sebenarnya Koentjaraningrat itu sedang bicara soal meritokrasi. Tidak mengherankan pula di tahun-tahun itu nampaknya teknokrasi semakin menguat. Kalau kita bayangkan soal ‘siklus rejim’, nampaknya itu tidak jauh pula dari siklus setelah tirani. Para teknokrat, apapun kita menilai mereka itu, jelas akan risih dengan mentalitas seperti digambarkan oleh Koentjaraningrat tersebut. Maka memang ada gap cukup lebar antara imajinasi dari kaum teknokrat itu dengan ‘kondisi sosial’-nya, apapun yang melatar-belakangi berkembangnya kondisi sosial tersebut. Tetapi sebelum gap itu menjadi semakin tipis, dari beberapa bacaan kita bisa melihat bagaimana soal pengelolaan hasil hutan ternyata bisa ‘merusak suasana’, yaitu mulai merebaknya aktifitas pemburuan rente itu. Maka imajinasi berkembangnya teknokrasi (aristokrasi: aristo=terpilih, best citizens)-pun perlahan semakin meredup dan bergeser pada berkembangnya rejim oligarki. Sebagai akibatnya, meritokrasi-pun menjadi tersendat-sendat dalam perkembangannya. Ditambah lagi dengan nuansa Perang Dingin yang begitu merasuk begitu dalamnya. Ugal-ugalanpun menjadi semakin tipis kontrolnya.
Di satu pihak, politik jika penggunaan kekerasan ditunda dulu maka ia akan lekat dengan opini publik. Bahkan monarki-pun tidak bisa meloloskan diri dari opini publik, hanya saja publik di sini adalah kaum bangsawannya. Di luar itu hanyalah hamba atau bahkan budak, yang sekeras apapun beropini tetap akan tidak dianggap. Kalau pakai istilah jaman now mungkin responnya cuma: pala loe peyang! Demokrasi membuka batas tersebut. Jika apa-apa yang ditulis oleh Koentjaraningrat tersebut pada dasarnya adalah bicara soal meritokrasi, maka jika itu kita hayati dalam (pembangunan) politik semestinyalah opini publik juga akan banyak bicara soal merit, prestasi. Bicara mengenai prestasi yang dicapai dalam upaya mewujudkan apa-apa yang menjadi harapan warga negara. Dalam era Reformasi ini, harapan warga negara tersebut pada awalnya adalah diberantasnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang kalau kita lihat lebih jauh lagi, sebenarnya tidak jauh dari harapan Koentjaraningrat hampir 30 tahun sebelum Reformasi itu.
Maka jika kita masih sepakat dengan semangat Reformasi itu, pada soal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme itulah semestinya soal opini publik akan lebih berkutat. Pada soal itulah siapapun sebagai pengelola negara pertama-tama akan dinilai berhasil atau tidaknya. Memang masih banyaklah urusan negara, tetapi sekali lagi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme itu adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi untuk bisa dikatakan berhasil. Tidak yang lain. Tidak pula soal radikal-radikul atau sejenisnya, tetapi soal: korupsi! *** (24-05-2021)
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet-12, hl. 45