21-05-2021
Pada awal-awal Reformasi salah satu yang meramaikan ruang publik adalah diskusi soal demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Mungkin ada kekawatiran demokrasi era Reformasi nanti itu -sadar atau tidak, bisa kembali pada demokrasi a la jaman old. Bermacam prosedur demokrasi dinampakkan sudah dijalani selama jaman old itu, era sebelum reformasi 1998. Tetapi apakah secara substantif memang demokrasi sungguh berkembang saat itu?
Kalau memakai metafora Freud maka hal yang disadari (conscious) itu hanyalah yang nampak saja dari sebuah (puncak) gunung es. Di bawah puncak gunung es itu ada bagian yang lebih besar: preconscious dan unconscious. Dalam banyak hal, bicara soal prosedur dan substansi kurang lebihnya sering tidak jauh dari metafora gunung es itu. Bagaimana-pun demokrasi memerlukan prosedur-prosedur tertentu, dan itulah yang secara langsung akan dihayati oleh kebanyakan orang. Tetapi bagaimana jika hal substantif dari demokrasi itu perlahan menjadi terkubur dalam-dalam dan tidak pernah ‘muncul ke permukaan’ di ruang publik, misalnya? Jika meminjam van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, maka ia bisa-bisa akan jatuh dalam operasionalisme belaka. Demokrasi prosedural yang kemudian menjadi sangat rentan untuk diselewengkan.
Hal-hal substantif dalam konteks pembicaraan di atas dapat dikatakan sebagai bagian penting dari sebuah horison. Penghayatan akan demokrasi substantif misalnya, akan memberikan sebuah horison dimana bermacam prosedur demokrasi itu akan dioperasionalkan. Horison sendiri akan selalu dinamis dan mempunyai potensi untuk meluas, membesar. Meluasnya sebuah horison pada dasarnya adalah sebuah kemajuan juga. Atau bahkan bisa dikatakan, kemajuan (progress) pada dasarnya adalah meluasnya horison. Tentang perubahan iklim global misalnya, penghayatan semakin meluas sehingga pada satu titik penghayatan itu menjadi: kedaruratan iklim. Ketika pada satu penghayatan akan satu hal semakin meluas dan pada satu titik katakanlah dalam hal ini sampai pada penghayatan kedaruratan iklim itu, prosedur-prosedur untuk melakukan sesuatu-pun akan ‘menyesuaikan’ diri. Mau tidak mau. Ketika kesadaran akan perbudakan semakin meluas dan pada satu titik seakan sudah menjadi ‘kesadaran universal’ –katakanlah sudah menjadi ‘semangat jaman’, maka praktek perbudakan-pun akan selalu dikutuk. Bagi yang tetap melakukan perbudakan ia akan terisolasi dalam pergaulan di bermacam tingkatannya. Demikian juga sebenarnya bagaimana sebuah kedaulatan ‘dioperasionalkan’ dengan bermacam prosedur-prosedur-nya. Dukungan terhadap bangsa Palestina yang merebak di banyak bagian planet ini sebenarnya juga bisa diindikasikan bahwa soal genocide, war crimes, ethnic cleansing dan crimes against humanity itu semakin menjadi sebuah ‘kesadaran universal’. Menjadi salah satu ‘semangat jaman’. Tidak jauh dari kedaruratan iklim itu. *** (21-05-2021)