18-05-2021
Kata ‘tes’ bukanlah asli bahasa Indonesia, ia merupakan serapan dari bahasa asing: test. Apakah itu masalah besar? Tidaklah, dan tidak mungkinlah kita menutup diri dari bermacam pengaruh luar. Kata tes sendiri akhir-akhir ini lebih mencuat karena hadir bersama ‘wawasan kebangsaan’. Tetapi kata Max Lane suatu bangsa tidak akan pernah selesai, unfinished nation. Lalu bagaimana wawasan terbangun dari suatu hal yang belum selesai? Mungkin kita bisa terbuka dengan bermacam kemungkinan ke depan, tetapi paling tidak kita bisa bersepakat soal titik berangkatnya, dan dalam konteks ini adalah Pembukaan UUD 1945. Tetapi apakah kemudian semua warga negara harus hapal kata-demi-kata yang ada di Pembukaan UUD 1945 itu? Tidaklah, jika mau hapal kata-demi-kata tentu lebih baik. Dalam praktek, soal wawasan kebangsaan ini warga negara tidaklah perlu diadakan tas-tes yang njlimet, harus hapal ini hapal itu, itu namanya kurang kerjaan saja. Bagi warga negara kebanyakan, menjadi warga yang taat hukum sebenarnya bisa dikatakan ia sudah mempunyai wawasan kebangsaan yang mencukupi. Karena bagaimanapun juga semestinya bermacam hukum, perundangan, peraturan itu pastilah akan seiring dengan semangat yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Tentulah tidak usah dikatakan di sini, yang namanya civic education -dalam bermacam bentuknya, itu tetaplah perlu.
Sebagian besar khalayak memang akan seperti itu, hampir seluruh waktunya tidaklah akan ditaruh untuk otak-atik soal ‘skala’ wawasan kebangsaannya. Ia akan sibuk belajar, mencari nafkah, hore-hore nonton bola, tinju, ngobrol di warung kopi, dan bermacam lagi. Atau menikmati konser musik, nonton drama Korea, atau lainnya lagi. Tetapi bagaimanapun juga mereka bukannya terus bisa dikatakan abai soal masalah kebangsaan ini. Pada titik tertentu, pada peristiwa tertentu, romantisme kebangsaan ini bisa-bisa saja muncul seperti air bah saja. Lalu apa hubungannya dengan segala tes wawasan kebangsaan itu? Hubungannya adalah kita harus hati-hati untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu, terutama soal segala hal terkait dengan P4 itu. Tes wawasan kebangsaan jika tidak hati-hati ia bisa saja kemudian berkembang menjadi semacam penataran-penataran P4 di jaman old, bahkan juga bisa berkembang menjadi semacam lit-sus, tidak jauh dari jaman old. Jaman old yang seakan berjalan dan tidak bisa dijelaskan tanpa situasi permanent state of exception (Carl Schmitt) itu. Dan potensi untuk diulang dengan modifikasi ‘tema’ exception, komplit dengan ‘kambing hitam’-nya tetaplah sangat-sangat besar. Resep pakem dari ‘sono’-nya nampaknya.
Jika mengingat apa yang ditulis oleh Arnold J. Toynbee dalam A Study of History di tahun-tahun sebelum jaman old mulai itu, pembelajaran akan semakin lengkap kiranya. Menurut Toynbee, peradaban berkembang terutama karena adanya tantangan dan respon. Dalam membangun respon itu hadirlah si-minoritas kreatif. Lalu bagaimana si-mayoritas, atau khalayak di luar si-minoritas kreatif itu? Modus utamanya adalah meniru. Soal tiru-meniru ini juga ditekankan oleh Rene Girard dalam Teori Segitiga Hasrat-nya. Katakanlah khalayak (S), bagaimana ia kemudian bisa berhasarat pada obyek (O) tertentu itu. Bisa saja O itu adalah soal kebangsaan, misalnya. Mekanisme meniru, mimesis pada model (M)-lah sebagian besar rutenya, tidak jauh-jauh amat dari logika iklan dengan bermacam model gagah-cantik yang akrab dengan dunia kita itu. Maka mau disebut sebagai si-minoritas kreatif ataupun model, keduanya akan melibatkan soal tiru-meniru oleh khalayak.
Tidaklah meleset amat jika dikatakan dalam pemilihan sebenarnya khalayak juga memilih si-minoritas kreatif ini. Diharapkan dengan segala power di tangan, si-minoritas kreatif ini di 5 tahun ke depan bisa jadi model juga dalam menghadapi bermacam tantangan yang berkembang. Maka janji-janji kampanye itu adalah penting, bukan sekedar asal njeplak saja. Si-terpilih sedikit-banyak akan ditiru juga oleh khalayak, termasuk di sini misalnya soal dinamika kebangsaannya. Melalui perilaku dan juga tentu kebijakan-kebijakannya. Tetapi bagaimana ketika khalayak kemudian justru yang dikejar-kejar untuk ber-wawasan kebangsaan, untuk paham dan menghayati ‘ideologi’ negara secara ‘murni dan konsekuen’? Seperti jaman old itu? Kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa ‘yang murni dan konsekuen’ itu sebenarnya adalah sebuah tirai asap ketika si-minoritas kreatif in-concreto sudah berubah menjadi si-minoritas dominan. Dengan segala konsekuensinya. Dengan segala jarahannya. Deja vu? *** (18-05-2021)