17-05-2021
Revolusi borjuis adalah revolusi menentang –katakanlah, rigidnya ‘spoils system’ di era feodalisme. Bagi Marx, revolusi borjuis itu mempunyai cacat mendasar, begitu revolusi berhasil rakyat kebanyakan kemudian ditinggal begitu saja. Maka Marx mengayunkan ke bandul ekstrem lainnya: revolusi kaum proletar. Gantian kaum borjuis-nya kemudian ditinggal. Dari beberapa sumber, spoils system ini sering dilekatkan pada Andrew Jackson, presiden AS ke-7 (Joe Biden presiden ke-46). Jika mengingat latar belakang Andrew Jackson yang mantan tentara itu, memang bisa dikatakan wajar jika ‘ide’ itu lebih mudah diserap. Perang-perang tempo doeloe memberikan semacam hak untuk menjarah –segalanya, bagi si-pemenang. Dan hasil-hasil jarahan itu kemudian dibagi-bagi. Spoils system layaknya seperti itu, pemenang pemilihan seakan mempunyai hak untuk ‘menjarah’ segala halnya. Ugal-ugalan habis. “To the victor belong the spoils [benefits, goods] of the enemy.”
Maka pada awalnya adalah kuasa. Dengan segala hasrat yang digendongnya. Benar juga Mangunwijaya, kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana ia mengelola kekuasaan. Spoils system adalah dunianya gerombolan hyena, dan sebenarnya makin jauh dari dunia yang semakin beradab. Tentu ketika memenangi sebuah pemilihan akan ada pula ‘bagi-bagi’ kekuasaan, dan sebaiknya itu dilakukan sebelum pemilihan dan terbuka untuk bisa diketahui oleh pemilih. Tidaklah mungkin tanpa itu. Spoils system adalah ‘bagi-bagi’ kekuasaan di ujung paling ekstremnya. ‘Bagi-bagi’ kekuasaan serasa di dunia hyena, penuh dengan nafsu berangasan. Maka memang kritik utama dalam spoils system ini adalah inkompetensi, inefisiensi, dan korupsi. Itupun karena nuansa ‘bagi-bagi’-nya lebih karena soal gold. Lha bagaimana jika soal god dan glory ikut terlibat intens dalam spoils system ini? Bisa lebih rusak-rusakan. Bahkan pada satu titik, kedaulatan-pun bisa-bisa akan digadaikan juga.
Mengelola kekuasaan itu sebenarnya adalah juga mengelola ‘sisi animalitas’ manusia. Jika mau melihat sisi animalitas manusia secara telanjang pada tahun-tahun akhir ini, lihat misalnya para buzzer-buzzer bayaran itu. Mereka-mereka itu kelasnya adalah kelas binatang –level khéwan, tidak lebih dari itu. Dan itu barulah kelas binatang piaraan yang kecil-kecil saja. Meski sangat mengganggu karena berisiknya itu lho. Dalam mengelola kuasa, sisi animalitas manusia dalam perjalanannya itu semakin ‘dikandangi’. Bermacam ‘percobaan’ dalam mengandangi sisi animalitas manusia itu dapat kita lihat dalam perjalanan sejarah. Mulai dari memohon pada kekuatan alam gaib, sampai pada yang gaib itu dititiskan pada satu sosok manusia, katakanlah sang-raja. Atau orang baik. Dan ternyata itu masih banyak gagal juga. Bermacam ‘kandang’ juga akhirnya jebol juga. Maka dicobalah hasrat yang ada dalam kuasa itu dikelola dengan ditabrakkan dengan hasrat lainnya. Lahirlah kemudian bermacam lembaga atau apalah namanya, yang bergerak dalam ranah check and balances itu. Jika memakai term-nya Arnold J. Toynbee, segala upaya mengelola mengelola kuasa itu pada dasarnya adalah mencegah si-minoritas kreatif tidak berubah menjadi si-minoritas dominan. Menurut Toynbee, berubahnya si-minoritas kreatif menjadi si-minoritas dominan itu adalah salah satu sebab penting dari mundurnya peradaban.
Dan spoils system a la Andrew Jackson idolanya Donald Trump itu, sebenarnya bisa dihayati sebagai pintu masuk –port de entry, bagi berkembangnya si-minoritas dominan. Nuansa berangasan-ugal-ugalan bisa saja terus mewabah. Tidak percaya? Lihat tuh si-Ngabalin, misalnya. Apakah harus menunggu datangnya Perang Saudara seperti di AS sono -160 tahun lalu, untuk mengusik ‘sistem’ yang mbèlgèdès ini? Hancur-hancuran dulu untuk membangun suatu yang ‘baru’? *** (17-05-2021)