15-05-2021
Ada yang mengatakan bahwa salah satu idola Donald Trump adalah Andrew Jackson, presiden AS ke-7. Salah satu yang dicatat tentang Andrew Jackson adalah ia memulai apa yang disebut sebagai spoils system. ‘The winner take all’ di ujung paling ekstremnya. Katakanlah, ‘bumi hangus’. Ambil semuanya dan kemudian dibagi-bagikan pada para pendukung-kroni tanpa melihat lagi kapasitas yang bersangkutan. Ugal-ugalan habis. Maka memang tidak salah-salah amat jika ada yang mengatakan spoils system ini adalah kontranya dari merit system, meritokrasi. Tentu kecenderungan memberikan posisi pada para pendukung juga dilakukan oleh presiden-presiden AS sebelumnya, tetapi pada Andrew Jackson-lah spoils system ini lebih dilekatkan. Karena katakanlah, ‘bumi hangus’-nya itu.
Ketika Trump berkuasa, dari pemberitaan dan bermacam analisis, spoils system ini nampaknya dibangkitkan lagi dari tidur panjangnya. Jika dinamika saat Perang Saudara AS (1861-1865) tidak ‘dihitung’ maka spoils system ini bisa dikatakan ‘mapan’ tanpa diusik selama 32 tahun lamanya, tidak jauh dari rentang waktu jaman old di republik. Setelah Perang Saudara, spoils system kemudian mulai diusik karena inkompetensinya, inefisiensinya, korupsinya, dan banyak lagi sisi negatifnya. Selain itu juga mulai masuk bermacam pembelajaran keberhasilan dari negara-negara lain. Bahkan ada peristiwa pembunuhan presiden dulu di AS sono-pun ditengarai sedikit banyak terdampak dari spoils system yang sudah begitu ugal-ugalannya itu. Bisa dibayangkan bagaimana ketika orang dengan potensi lebih, tekun meniti karir misalnya, tiba-tiba saja tidak hanya tidak dipakai tetapi dibuang tanpa alasan jelas. Semata karena pertimbangan soal kalah-menang dalam pemilihan umum saja yang sebenarnya tidak langsung berurusan dengannya.
Apapun itu, adanya pembedaan antara negara dan pemerintahan mengindikasikan bahwa soal kuasa dalam hidup bersama mestinya ada batas-batasnya. Tidak mudah bicara soal batas dalam ranah kuasa karena hampir bisa dipastikan soal batas ini tidaklah mungkin terhayati dengan sendirinya. Ia perlu ‘dipaksa’, ia perlu ‘pihak lain’ supaya ‘sadar batas’. Bahkan dalam Leviathan –terbit pertama kali 178 tahun sebelum Andrew Jackson jadi presiden AS, Thomas Hobbes menggambarkan bahwa adanya sang-Leviathan itulah yang akan ‘memaksa’ orang-orang yang bersepakat untuk menepati apa-apa yang sudah disepakati. Dalam perkembangan selanjutnya, hasrat dalam kuasa itu kemudian dilawankan juga dengan bermacam hasrat lainnya. Maka bisa dikatakan, dalam ‘spoils system’ itu sebenarnya meritokrasi adalah sebagai ‘kontra-hasrat’-nya. Tetapi spoils system a la Andrew Jackson idolanya Trump itu, meritokrasi ditekan habis demi posisi bagi para pendukung, kroni-kroni yang telah memenangkannya. Hasrat dalam kuasa seakan melenggang sendirian, tanpa ‘kontra-hasrat’ lagi.
Maka apa yang digambarkan Thomas Hobbes terkait manusia dan power-pun akan semakin terbukti. Kata Hobbes dalam Leviathan, manusia itu akan selalu menaruh perhatian lebih akan kuasa karena salah satunya adalah untuk melindungi apa-apa yang sudah diperolehnya. Lihat misalnya, bagaimana pendukung die hard-nya Trump sampai merengsek ke Capitol Hill secara kasar-beringas saat semakin dekat dengan kepastian kekalahan Trump. Nampaknya itu akan sulit terjelaskan jika meninggalkan nuansa spoils system yang dibangunkan dari tidur panjangnya oleh Trump. Dan dalam konteks Trump, pendukung-kroninya yang semakin nampak bisa dibedakan dalam tiga kategori, yang erat dengan urusan god, atau glory, ataupun gold. Atau lihat, meski di tahun 2020 Biden memenangkan pemilihan presiden dan diikuti suksesnya Partai Demokrat, tahun 2022 sudah harus menghadapi pemilihan paruh waktu untuk memilih anggota Kongres, parlemen negara bagian dan beberapa posisi gubernur. Jelas ini akan memberikan panas-dingin juga sebab jika Demokrat gagal mengulang sukses seperti di tahun 2020, bisa-bisa program Biden akan tertatih-tatih di dua tahun keduanya sebagai presiden, dan itu akan membuat kesulitan tersendiri dalam 2024 nantinya. 2024 dimana Trump punya keinginan besar untuk maju lagi.
Apa yang mau disampaikan di sini adalah, spoils system itu ibarat ‘bom waktu’. Bukan hanya soal inkompetensi, inefisiensi, dan korupsinya, tetapi karena segala hasrat yang digendong dalam kuasa itu seakan berjalan sendiri, tanpa ‘kontra-hasrat’-nya, tanpa agere-contra-nya. Ngabalin dengan ujar kasarnya akhir-akhir ini barulah contoh kecil dari gejolak hasrat itu. Termasuk dibalik Tes Wawasan Kebangsaan bagi anggota KPK itu, misalnya. Dan ingat, sampai sekarang negara masih dipandang sebagai ‘pemegang-hak-monopoli-sah’ penggunaan kekerasan. Lha bagaimana jika tidak hanya berhenti soal ngebacot atau ‘tas-tes’ wawasan ini-itu di sana-sini? *** (15-05-2021)