11-05-2021
Mari berandai-andai Alegori Kereta Perang-nya Platon memang bisa digunakan untuk membantu imajinasi. Platon memberikan penggambaran dalam Alegori Kereta Perang, sais katakanlah: kekuatan pengetahuan, kuda putih: keberanian, dan kuda hitam: menggambarkan segala nafsu, terutama nafsu akan uang. Atau kalau memakai pembedaan Alvin Toffler, ada kekuatan kekerasan yang dominan di revolusi pertanian, ada kekuatan uang: dominan di revolusi industri, dan kekuatan pengetahuan semestinya dominan di revolusi informasi. Kata ‘dominan’ dipakai di sini karena memang sebenarnya ketiga kekuatan itu ada secara bersamaan, hanya saja menurut Toffler bermacam revolusi seperti di atas telah menggeser kekuatan (power shift) mana yang kemudian menjadi dominan. Tetapi Toffler tidak secara eksplisit menyinggung soal adanya sayap di kanan-kiri kereta seperti digambarkan Platon. Sayap di kanan-kiri kereta itu menggambarkan eros, atau bisa saja kita hayati sebagai elan vital.
Mari berandai-andai dengan pendapat Platon tentang hal adil. Bagi Platon, katakanlah jika kita memakai Alegori Kereta Perang-nya di atas, adil berarti jika masing-masing ‘komponen’ kereta perang itu menjalankan sesuai dengan fungsi-tanggung-jawabnya. Perdebatan bisa panjang soal keadilan ini, tetapi mungkin kita bisa berangkat dari yang lebih ‘peka’, dari yang lebih mudah terhayati, lebih mudah ‘dirasa-rasa’: ketidak-adilan. Maka bisa kita bayangkan jika masing-masing ‘komponen’ itu tidak melaksanakan tugas-kewajibannya, bisa dikatakan potensi berkembangnya ketidak-adilan akan membesar pula. Ketidak-adilan tiba-tiba saja dirasakan ‘bertubi-tubi’ menghampiri ketika ‘sais’ tidak memaksimalkan pengetahuannya, ketika ia tidak bertindak ‘prudence’ misalnya. Atau lihat misalnya ketika yang pegang senjata –si-kuda putih, justru terjebak dalam ‘persaingan’ institusi. Menyibukkan diri untuk menetapkan siapa yang lebih superior. Atau juga ketika si-kuda hitam itu menjadi ugal-ugalan dalam berhutang. Polah-polah tingkah di atas, ujungnya bagi khalayak sebagian besarnya akan terhayati sebagai merebaknya rasa ketidak-adilan. Apalagi jika ‘kesadaran kritis’ semakin berkembang seperti dikatakan oleh Paulo Freire itu. Dan seperti sudah digambarkan oleh Uskup Dom Helder Camara sekitar 50 tahun lalu, ketidak-adilan akan memicu berkembangnya spiral kekerasan.
Pertanyaannya adalah, apa yang mampu ‘menjaga’ sehingga ‘komponen-komponen’ di atas bisa tetap dalam relnya? Mampu dan mau melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing? Katakanlah misalnya, kesejahteraan, numerasi, bonus, tunjangan sudah diberikan, cukupkah? Gambaran dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon ini sebenarnya berangkat dari penggambaran tentang ‘jiwa’ manusia. Selain lekat dengan segala nafsu (kuda hitam, atau tergambarkan perut ke bawah), manusia juga mempunyai ‘dimensi’ kebanggaan (kuda putih, atau juga tergambarkan di dada) dan rasio (sais, kepala). Tetapi yang namanya kuda hitam, ia penuh gejolak, penuh tenaga, sayangnya ia berkarakter maunya meluncur ke bawah saja. Maka tidak cukuplah hanya mengandalkan soal kebanggaan-keberanian atau rasio untuk ‘menahan’ meluncurnya hidup ‘ke bawah’, tetapi juga perlu bantuan sayap di kanan-kiri kereta, eros atau dalam hal ini elan vital. Daya hidup, energi hidup yang selalu terarah ‘ke atas’ dan tidak hanya menahan meluncurnya hidup ke bawah, tetapi juga akan mendorong pula potensi kreatif manusia.
Jika Arnold J. Toynbe benar dengan mengatakan bahwa peradaban berkembang tidak lepas dari tantangan dan respon, dan itu akan selalu melibatkan si-minoritas kreatif, bagaimanapun juga itu tidaklah lepas dari elan vital ini. Elan vital yang digendong oleh si-minoritas kreatif ini tidak hanya mendorong berkembangnya kreatifitas dalam membangun respon, tetapi juga sangat efektif sebagai ‘pesan-tersembunyi’ bagi khalayak. Dan inilah juga yang akan ditiru oleh khalayak. Tetapi bagaimana elan vital ini akan tersampaikan kepada khalayak sebagai katakanlah, bagian dari ‘model’? Melalui bahasa! Entah itu bahasa verbal atau bahasa tubuh. Tentu akal-budi sebagian besarnya akan mampu membedakan dan bahkan menghayati apa itu metafora, apa itu pantomin, apa itu lukisan abstrak dan sekitarnya, tetapi sebagian besarnya bahasa itu ada karena faktor ‘kepercayaan’, entah itu karena kesepakatan atau lainnnya, seperti ‘tradisi’ misalnya. Artinya ketika kita bilang meja maka ada bentuk meja yang memang sudah disepakati. Maka si-minoritas kreatif akan selalu ‘terjaga’ kata-kata, bahasanya, dalam arti ia memang bisa dipercaya, trust. Atau bagi khalayak, ia adalah juga ‘perawat-utama’ modal sosial dari yang ‘dipimpin’-nya. Lihat misalnya ketika seorang bintang iklan tiba-tiba saja tersandung skandal, bisa-bisa langsung putus kontrak. Demikian juga misalnya, jika pemimpin terlalu banyak ngibul-nya –entah ngibul melalui bahasa verbal maupun bahasa tubuh. Tidak hanya merusak tatanan, tetapi sadar atau tidak, besarnya potensi untuk sebuah kemajuan bersama akan semakin mungkret. Memang ada kemajuan, tetapi sangat jauh dari potensi yang sebenarnya digendong oleh komunitas itu. *** (11-05-2021)