04-05-2021
Kata Noam Chomsky, “selama publik terus dibatasi, dialihkan perhatiannya, dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama, keadaan tidak akan berubah.”[1] Pendapat Chomsky tersebut sebagai contoh atau analisa bagaimana kekuasaan Ronald Reagan dapat bertahan sampai dua periode, sekitar 10-15 tahun sebelum internet merebak. Sebelum modus komunikasi mass-to-mass via internet merebak. Saat ketika modus man-to-mass sedang dalam puncak-puncaknya, terutama kekuatan televisi.
Zapatista, kelompok pembela hak-hak suku asli di Mexico sana termasuk yang pertama-tama menggunakan internet sebagai salah satu basis perjuangan, sekitar 3 tahun sebelum reformasi 1998. Sedang reformasi 1998 meski ‘meletusnya’ peran internet masih sangat minim, tetapi bagaimanapun juga jaringan internet ini sangat membantu dalam menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi saat itu pada dunia luar. Manuel Castells dalam The Power of Identity (1997) juga menyinggung soal kiprah Zapatista melalui jaringan internet ini, selain sebagai media perjuangan itu juga semakin meneguhkan identitas diri. Maka semestinya yang dikatakan oleh Noam Chomsky itu akan semakin nampak kebenarannya: dengan meluasnya jaringan mass-to-mass yang ‘digendong’ oleh internet itu maka ‘untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama’ akan semakin lebar potensinya.
Masalahnya modus mass-to-mass -demikian juga sebenarnya modus-modus sebelumnya, man-to-mass (surat kabar, radio, televisi) dan man-to-man (tatap-muka, face-to-face), tidak hanya memperlebar potensi ‘untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama’ tetapi juga sebaliknya, ‘untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang tidak sama’. Tidak hanya ‘tidak-sama’ tetapi bahkan berlawanan, atau menjengkelkan, atau membuat panas hati. Dan dalam modus komunikasi mass-to-mass via internet seperti sekarang ini, baik yang ‘sama’ maupun ‘tidak-sama’ itu semua bisa berjalan dengan cepatnya. Belum lagi kita bicara soal mis-informasi, dis-informasi, dan sekitarnya. Terlebih dalam modus mass-to-mass ini rutenya adalah ‘melihat’. Yang menurut Walter J. Ong, oralitas dengan ‘rute’ mendengar itu akan cenderung mempersatukan, sedang ‘rute’ melihat cenderung ‘memecah-belah’. Terlebih lagi seperti disinyalir oleh Manuel Castells, di ‘masyarakat jaringan’ serba cepat ini, dalam mengarungi makna orang cenderung akan berada di sekitar masalah identitas. Sebuah kecenderungan ‘shortcut’ yang membesar dalam networking-society seperti sekarang ini: identitas.
Masalah identitas ini akan selalu kita temui dari masa ke masa, karena bagaimanapun juga selain bisa terefleksikan pada kebutuhan aktualisasi diri, identitas juga bisa erat dengan kebutuhan dasar menurut Abraham Maslow: rasa aman. “Human are tribal. We need to belong to groups,” demikian Amy Chua dalam Political Tribes (2019, hlm. 1). Dan identitas bisa menjadi ‘pihak ketiga’ (third man argument) yang merawat ‘persahabatan-tribalistis’ itu. Masalahnya adalah seperti dilanjutkan oleh Amy Chua: “But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” ‘Instinct to exclude’ dalam teori segitiga-hasratnya Rene Girard mungkin bisa dihayati sebagai ‘kambing hitam’ yang hadir untuk menahan ‘rivalitas’ internal.
Jika kita menengok sekitar 100 tahun lalu, mau-maunya Hitler melancarkan ‘program’ pemurnian ras tidaklah jatuh begitu saja dari langit. Kekalahan di Perang Dunia I jelas merupakan satu faktor penting. Karena dengan kekalahan itu sebagian wilayah yang berbatasan dengan Perancis kemudian ada dalam pengawasan Perancis selama 15 tahun sesuai dengan perjanjian pasca PD I, dimana kekalahan ada di pihak Jerman. Tetapi untuk pengawasannya Perancis merasa perlu menambah personel dari luar Perancis dan didatangkanlah tenaga-tenaga dari jajahan Perancis waktu itu, terutama dari Afrika dan sebagian dari Vietnam. Tenaga-tenaga yang kemudian dilatih menjadi serdadu dan ditempatkan di bagian Jerman yang sementara di bawah pengawasan Perancis itu. Dan dari situlah bermacam cerita ‘horor’ mengenai serdadu kulit hitam –yang tentu hampir semua tidak benar, mulai beredar di masyarakat Jerman saat itu, baik dari mulut-ke-mulut maupun melalui media cetak. Bahkan juga melalui film. Stereotype ‘serba-gelap-barbar’ mulai merebak terhadap yang kulit hitam pada khususnya, dan kulit berwarna pada umumnya. Dan memang kemudian ada kelahiran juga dari bapak kulit hitam atau dari kulit berwarna sebagai akibat dari dikerahkannya tenaga-tenaga serdadu dari jajahan Perancis itu. Ketika Hitler naik ke kekuasaan, anak-anak ‘campuran’ yang sudah beranjak dewasa itu banyak yang kemudian dipaksa untuk disterilkan. Kegilaan dengan segala atas nama ‘pemurnian ras’ itu. Selain itu tidak sedikit pula muncul ilmu ‘otak-atik-gathuk’ yang diabdikan sebagai pembenaran langkah ‘pemurnian ras’-nya Hitler itu. Sebuah ‘kejahatan logika’ –meminjam istilah Albert Camus, yang nyaris sempurna. Betul-betul sebuah eksploitasi-tiada-henti dari ‘an instinct to exclude’, meminjam pendapat Amy Chua di atas. Mungkin benar yang ditulis oleh Sara Gorman Phd, MPH (spesialis kesehatan masyarakat) dan Jack M, Gorman, MD (psikiater): Frighten Them and They Will Believe It.[2] *** (04-05-2021)
[1] Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, PINUS Book Publisher, 2006, cet. 2, hlm. 34. Lihat juga: https://www.pergerakankebang
saan.com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/
[2] https://www.psychologytoday.
com/us/blog/denying-the-grave/202001/frighten-them-and-they-will-believe-it