27-04-2021
Dalam ilmu ‘otak-atik-gathuk’, kita hidup di banyak ruang-antara. Bisa di ruang-antara hidup dan mati. Atau lainnya. Macam-macam. Salah satunya adalah dinamika hidup bersama juga ada di ruang antara itu –in-between, apa yang dibayangkan semestinya mewujud (das sollen) dengan apa yang senyatanya ada (das sein). Terhadap apa yang senyatanya ada orang bisa terus dihinggapi kecemasan, bahkan bisa sampai pada yang sungguh berat, phobia. Pada apa yang semestinya mewujud orang bisa jatuh pada bermacam mania, kegilaan. Diantara kecemasan dan mania itu ada harapan. Politik riil ada di ranah harapan ini karena pada dasarnya politik riil itu berurusan dengan apa-apa yang masih bisa dicapai. Orang bilang, terukur. Apa-apa yang mestinya mewujud akan selalu memberikan ‘keusilannya atau bahkan menegur’ terhadap dinamika apa-apa yang masih bisa dicapai ini. Paul Ricoeur misalnya, menandaskan bahwa fungsi utopia adalah ‘menegur’. Sedang apa-apa yang senyatanya ada semestinya menjadi titik berangkat sebuah harapan dibangun.
Menurut Polybius lebih 2000 tahun lalu, manusia berkumpul karena ketakutan terhadap gejolak alam sekitar. Jadi memang dalam hidup bersama, entah sadar atau tidak, ada kecemasan ngendon di situ dan itu mesti harus direspon. Kecemasan hilangnya tradisi tanam padi di Jepang misalnya direspon dengan penerapan tarif tinggi terhadap beras impor. Sebuah keputusan politik yang ‘terukur’. Maka seperti dikatakan Arnold J. Toynbee, dinamika tantangan dan respon memang sangat penting. Tak jauh dari bagaimana tubuh bertahan hidup, sebagian besar adalah karena mekanisme umpan-balik, feedback mechanism. Ketika feedback mechanism ini di beberapa hal terganggu, maka tubuh akan melakukan bermacam upaya kompensasinya. Hanya saja jika itu berlangsung kronis maka ada beberapa hal yang kemudian bisa tertekan perkembangannya, atau lainnya, intinya potensi abnormalitas akan membesar.
Perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi akan mengakibatkan berkembangnya respon dan mungkin juga mekanisme umpan-balik yang berkembang pula. Evolusi terjadi sebagian besarnya adalah seperti itu. Tetapi ada yang dikenal sebagai punctuated equilibrium, katakanlah sebuah ‘patahan-patahan sejarah’. Dalam sejarah evolusi ditemukan bagaimana terjadi ‘lompatan-lompatan’ dalam perjalanannya. Tetapi jika kita lihat lebih dalam ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama ‘lompatan’ itu tidaklah ada di ruang kosong, dan kedua, ‘lompatan’ itu bagaimanapun juga adalah sebuah respon terhadap perubahan, dalam hal ini, perubahan besar dan cepat misalnya. Sebuah ‘lompatan’ melalui penemuan misalnya, ia tidaklah akan hadir begitu saja jika tidak ada ‘suasana kebatinan’ soal ‘temu-menemu’ yang berkembang.
Paling tidak ketika kita bicara soal ‘kecemasan’ yang mendorong manusia untuk kemudian berkumpul itu, di abad-20 kita bisa melihat bagaimana ketika ‘kecemasan’ dieksploitasi demi kepentingan politik. Demi kepentingan kekuasaan. Perang Dingin misalnya, bisa kita lihat juga sebagai bagian (terbesar) dari eksploitasi ‘kecemasan’ ini. Ada tiga ‘rute’ manusia memberikan responnya terhadap ketidak-pastian sekitar yang memprovokasi kecemasan, atau bahkan ketakutan itu, ‘rute’ agama, hukum, dan teknologi.[1] Agama di sini dalam arti luas, baik dalam arti teologi-nya maupun ‘sekuler’-nya: sekitar nation-state. Hukum juga dalam arti luas, bisa hukum dengan pasal-pasalnya atau sampai pada ‘hukum-hukum’ apa yang secara esensial ada. Teknologi juga bisa berarti luas, mulai dari pengembangan sistem sampai dengan pernak-pernik teknologi itu sendiri. Yang paling telanjang sebagai contoh abad-20 adalah bagaimana ‘kecemasan’ itu dieksploitasi oleh Hitler dan terbangunnya respon dengan ‘rute’ agama, yaitu 'agama sekuler' dengan ‘nabi’-nya adalah Hitler sendiri. Atau lihat saat Hitler masih seorang tentara di Perang Dunia I, bagaimana ‘program’ Komisi Creel di AS sono saat Woodrow Wilson jadi presidennya, yang mana program eksploitasi kecemasannya akhirnya mampu merubah rakyat AS sono saat itu, dari antipati terhadap perang menjadi ‘wabah’ kegilaan untuk ikut terjun dalam perang.
Rasa cemas itu sangat wajar ada, dan bahkan bisa menjadi titik tolak bermacam kreatifitas, inovasi, produktifitas ataupun dalam bersiasat. Kecemasan bisa juga mendorong banyak orang untuk ‘berhenti’ sejenak dari modus ‘taken for granted’ yang selama ini dijalani dengan nyaman-nyaman saja itu. Sebenarnya memang tidak banyak ‘hal buruk’ terkait dengan kecemasan ini. Masalahnya jika kecemasan ini ter-eksploitasi atau di-eksploitasi atau justru ‘mengurung’, baik secara individual maupun secara sosial. Dalam ilmu jiwa misalnya, kecemasan di ujung ‘buruk’-nya akan semakin mendekat pada sebuah phobia. Dan phobia di sebagian besar kasus ia akan butuh pertolongan dalam mengatasinya. Dalam hidup bersama phobia bisa-bisa sampai pada satu titik seakan mau tenggelam, dan dalam situasi itu layaknya orang akan tenggelam, apa saja akan diraihnya. Dan pilihan pertama bukanlah teknologi atau hukum yang masih mengandaikan banyak berpikir itu, tetapi bahkan seorang Hitler-pun akan diraihnya. Atau kecemasan akan arus imigran yang dieksploitasi sedemikian rupa itu, perlahan-lahan juga membentuk kondisi ‘megalomania’ dari seorang Trump. Intinya ketika kecemasan (sosial) dieksploitasi maka pada titik tertentu akan membesar pula potensi lahirnya seorang megalomania. “Hail emperor Trump,” demikian ditulis Proud Boys beberapa waktu lalu. Mungkin di mata anggota Proud Boys itu, Trump sudah seperti sang-‘juru selamat’ saja.
Eksploitasi kecemasan dalam politik adalah hal yang tidak mungkin dihindari. Tetapi ketidak-hadirnya keberpikiran semestinya bisa dihindari, supaya tidak jatuh pada semata pendekatan ‘agama’, baik yang teologi-nya dan terlebih pada ‘agama sekuler’-nya itu. Pendekatan mitis, ontologis, dan fungsionil dalam perkembangan kebudayaan tidaklah menghapus tahap satu dengan tahap lainnya. ‘Rute’ agama, baik yang ‘teologis’ maupun yang ‘sekuler’ tidaklah terus menghilang ketika sistem hukum mampu ditegakkan, atau sistem serta bermacam teknologi berkembang dalam mendukung hidup bersama. Kecuali memang maunya bermain-main dengan ‘sihir’ a la Hitler dengan terus-menerus meminggirkan keberpikiran itu. Tentu dengan ‘modifikasi’ di sana sini, tetapi esensinya adalah sama, ranah ‘agama sekuler’ a la hitlerian. *** (27-04-2021)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/690-Ketidak-pastian-1/