www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-04-2021

‘Partai’ putus urat adalah partai isinya orang-orang yang putus urat takutnya, putus urat malunya, putus urat sungkannya, bahkan banyak pula yang putus urat rasionalnya. Juga putus urat konstitusi, putus urat simpati, bahkan juga putus urat empatinya. Putus urat ideologi, dan bermacam lagi. Dari sekian jumlah populasi pastilah ada yang bawaannya berani bahkan sampai cenderung selalu bandel-nekad, misalnya. Macam-macam bawaannya ketika orang dilahirkan satu-per-satu. Bagi dunia film, yang putus urat takutnya itu banyak yang menjadi stuntman jika syarat lainnya terpenuhi. Atau mendaftar jadi tentara, dan siapa tahu terpilih menjadi tentara khusus. Atau main akrobatik yang menghibur. Atau dilatih jadi petinju, dan jadilah Mike Tyson! Hidup bersama pastilah akan diwarnai dengan bermacam orang yang sudah putus urat, baik menerus di sisi terangnya, atau di sisi gelapnya.

Tetapi dalam suratnya ke John Jay, Edward Rutledge di beberapa bulan setelah kemerdekaan AS seakan ingin mengingatkan sahabatnya itu: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must supress a little of that popular spirit.” Apa yang dapat kita pelajari dari ungkapan Rutledge itu adalah bagaimana-pun juga demokrasi itu mempunyai batas-batasnya. Esensi dari demokrasi adalah soal kesetaraan maka salah satunya potensi gantian siapa yang berkuasa akan selalu dimungkinkan, dan singgungan pada soal patriotisme ini sebenarnya bicara juga soal kesetaraan itu. Semua warga negara adalah sama di depan hukum, paling tidak bisa sebagai indikasinya. Maka dalam demokrasi segala sebagai ‘yang putus urat’ itu harus juga terdampingi dengan baik oleh ‘yang tidak putus urat’. Karena ‘yang putus-putus urat’ itu dalam sisi gelapnya ia mempunyai potensi menganggu konektivitas hidup bersama. Dan ketika konektivitas ini sudah menjadi begitu terganggunya maka potensi penindasanpun akan meningkat pula. Ingat istilah ‘devide et impera’ itu, misalnya. Terlebih lagi bahwa memang konsep kesetaraan itu lebih banyak bobot rasionalnya. Perlu upaya lebih dalam penghayatannya. Demokrasi adalah proses-proses nurture dari spesies yang nature-nya sebenarnya sangatlah tipis sifat-sifat demokratisnya.

Penggunaan istilah ‘partai’ di sini bukanlah menunjuk partai politik resmi seperti yang selama ini dikenal. Istilah ini digunakan karena bisa-bisa ‘kumpulan’ orang-orang ‘putus urat’ itu ada dalam satu komando layaknya sebuah partai politik. Tidak mudah menjadi anggota ‘partai putus urat’ ini karena ia harus membuktikan dulu bahwa ia memang putus urat dalam hal-hal tertentu. Atau kalau mau terus bertahan, ia harus membuktikan bahwa ia cukup putus urat. Maka tak mengherankan jika seorang profesor-pun mau-maunya jungkir-balik sampai-sampai tega-teganya mempertaruhkan reputasinya. Seakan ingin membuktikan bahwa ia cukuplah ‘putus urat’, dalam hal ini putus urat malu, misalnya. Putus urat integritasnya.

Maka gelap-terangnya yang putus-putus urat ini bisa sangat tergantung dari orang-orang sekitarnya. Orang-orang sekitar bisa mengarahkan dan memberikan jalan bagi ledakan energi ke arah yang produktif, ke arah kreativitas, atau menjadi lebih terkendali, atau sebaliknya bahkan justru bermetamorfosis seperti layaknya ‘tentara-tentara bayaran’ saja. Dari pembunuh bayaran nan kejam, sampai pada tugas bayaran untuk melempar ujaran atau bertingkah yang umumnya orang akan malu bicara atau bertingkah seperti itu di muka publik. Malu karena pertimbangan rasionalnya akan mengatakan bahwa itu kurang pantas, misalnya. Atau juga pada sebagian tukang-tukang survei yang sudah ‘putus urat integritas’ keilmuwannya itu. Juga putus urat malu-nya. Jika dalam satu komunitas ‘sisi-gelap’ dari yang sudah putus urat itu selalu berulang dan berulang dalam bermacam bentuknya, apalagi banyak khalayak yang sudah sampai menghayati bahwa itu semua erat bersinggungan dengan ‘suasana kebatinan demokrasi’, maka peringatan Rutledge di atas bisa menjadi relevan. Jangan-jangan di belakangnya, orang-orang di sekitar yang ‘putus urat’ itu terlalu banyak kaum rascals-nya. Dan karena patriotisme bukanlah the rulling passion-nya, jangan-jangan bahkan jika perlu pembelahan-pun akan dilakukannya. Balkanisasi  –at all cost. Jangan-jangan di ‘ruang kerja’ para rascals itu, apa yang disebut sebagai cardinal virtues itu hanya akan ditemukan di tempat sampah.

‘Tentara-tentara’ bayaran itu menjadi layak dibayar meski soal kemampuan dalam ‘memotong bermacam urat’-nya penting, tetapi itu pertama-tama adalah soal loyalitasnya, soal kepatuhan 100%-nya. Soal loyalitas ini, seberapa baiknya orang memandang loyalitas, peringatan CP Snow tetaplah relevan untuk selalu diingat: “When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion. *** (13-04-2021)

'Partai' Putus Urat