06-04-2021
Kompetensi menjadi kata magis bertahun di pendidikan kita, termasuk dalam pendidikan dasar. Asal kata kompetensi tidak jauh amat dari asal kata kompetisi, dan memang ‘paradigma kompetensi’ dalam pendidikan kita ini diarahkan untuk mempersiapkan anak sehingga nantinya mampu masuk dalam dunia yang penuh kompetisi. Tidak salah-salah amat memang, masalahnya adalah kemampuan untuk berkompetisi itu selain mengasah bermacam ketrampilan ia akan lebih ber-’daya-ledak’ jika didukung oleh potensi yang ada. Pendidikan dasar sebenarnya lebih berurusan dengan potensi ini. Bagaimana pendidikan setingkat SD-SMP mampu menguak bermacam potensi yang ada dalam keunikan masing-masing anaklah semestinya diletakkan. Akan sangat mengganggu pengembangan potensi jika pada anak-anak setingkat SD-SMP itu dituntut untuk mempunyai kompetensi di semua mata pelajaran!
Demikian juga dalam hidup bersama, siapa yang akan mengelola negara misalnya, ia juga dituntut adanya kompetensi tertentu. Partai politik atau kelompok-kelompok sukarela yang berkembang adalah tempat untuk ‘menemukan’ potensi dan sekaligus mengembangkan potensi sehingga dalam kompetisi memperebutkan siapa yang paling kompeten dalam ‘mengurus’ negara nantinya dapat muncul orang-orang yang memang sungguh kompeten. Yang terbaik dari yang terbaik. Kompeten atau terbaik dalam hal apa? Daoed Joesoef di tahun 2007 mengutip kata-kata pelopor jurnalisme modern Emile de Girardin (1806-1886) menuliskan; “Bukankah hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat lebih dahulu ke depan. Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee.”[1] Ungkapan di atas lebih jauh bisa dilihat sebagai yang lekat dengan truth of correctness, dimana dalam hal ini akan dimulai dengan sebuah pernyataan atau sebuah proposisi tertentu. Yang ini kemudian akan diverifikasi apakah klaim tersebut benar atau tidak. Jika ada pernyataan bahwa atap itu bocor maka saat hujan turun akan terverifikasi apakah betul atap itu bocor atau tidak. Politik akan banyak berayun dalam truth of correctness ini.
Ada yang lebih ‘mendasar’ dibanding truth of correctness ini, yaitu truth of disclosure. Lebih sederhana, misal kita agak terkejut melihat ban sepeda motor kita kempis di parkiran. Kempisnya ban itu berdasarkan pengalaman kita terdahulu tidaklah perlu konfirmasi lebih lanjut lagi. Ban yang sudah kempis itu sudah dengan sendirinya ‘menampakkan’ atau ‘mengungkapkan’ dirinya pada kita. Truth of disclosure ini bisa juga sebagai bagian konfirmasi atau diskonfirmasi dari truth of correctness. Jika politik banyak berayun dalam truth of correctnes, maka soal ‘kompetensi’ akan tidak jauh-jauh dari hal tersebut, dan itu terkait dengan tiga (level) struktur yang terlibat dalam proposisi-proposisi.
Level pertama terkait dengan soal syntax dan content dari proposisi. Syntax merupakan logika tata bahasa dari sebuah proposisi, yang hadir misalnya melalui kata-kata seperti dan, dengan, adalah, dan lain-lainnya. Yang mana kata-kata tersebut baru berarti jika dilekatkan pada kata lainnya. Bisa dikatakan di sini bahwa syntax merupakan ‘jaringan penghubung’ dari suatu pemahaman. Sedang content tidak perlu dilekatkan dengan kata lain, ia mengekspresikan sesuatu atau aspek-aspek dari apa-apa yang sedang dibicarakan. Kombinasi antara syntax dan content ini kemudian akan membangun proposisi-proposisi yang bermakna.
Maka kemudian kita masuk pada level kedua, yaitu soal konsistensi proposisi. Dua proposisi yang masing-masing bermakna tetapi satu dengan yang lain berlawanan maka konsistensi pernyataan tidak tercapai. “An inconsistent statement, although meaningful, cannot be a candidate for the truth of correctness,” demikian tegas Sokolowski dalam Introduction to Phenomenology (2000, hlm. 170) Level ketiga adalah soal koherensi. Dalam kasus-kasus tertentu, kadang soal konsistensi dan koherensi ini bisa ‘ditabrak’: sesuatu harus dilakukan misal dalam situasi darurat atau lainnya, tetapi bagaimanapun juga –menurut Sokolowski, the inconsistencies and incoherences simply reveal the incompetence of the agent. (hlm. 174) *** (06-04-2021)
[1] Daoed Joesoef, Pikiran dan Gagasan -10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama, Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, hlm. 268