30-03-2021
Bagi banyak pihak, ledakan bom akan membuat shock. Terlebih yang dekat-dekat dengan peristiwa. Apalagi ada korban jiwanya. Darah mengalir, potongan tubuh terserak seakan membuat tidak percaya bagaimana ada sesama manusia yang sampai tega-teganya berbuat seperti itu. Tetapi bagi sebagian pihak lain, bom meledak seakan sebuah kesempatan. Seperti halnya bencana hebat, ada pihak yang melihat sebagai kesempatan. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) mengulas hal tersebut. Shock, dalam hal ini dicontohkan badai Katrina yang dahsyat dan memporak-parandakan New Orleans itu telah membuat shock warga. Shock itu kemudian secara kejiwaan digambarkan sebagai hadirnya sebuah ‘kanvas putih bersih’ yang siap ‘dilukis’ oleh siapapun. Kaum neolib paling trampil dalam hal ini: mengambil kesempatan paling depan dan bergegas untuk melukis ‘kanvas putih bersih’ itu, dan hasilnya? Salah satu yang dicontohkan Klein, privatisasi bidang pendidikan secara ugal-ugallah out-come nya. Dari bermacam berita pasca bom Makasar beberapa waktu lalu, kita bisa melihat secara telanjang pihak-pihak mana yang seakan mau bergegas ‘bermain’ shock doctrine a la Naomi Klein itu. Bergegas ‘melukis’ seakan mau memaksimalkan ‘putihnya kanvas’ yang ada di depan mata. Apakah kita bisa melarang kelakuan itu? Tidaklah ..., untuk pihak-pihak dengan karakter seperti itu kita hanya bisa mengumpat dan gerundelan: bangsat!
Tentu dalam banyak peristiwa ‘perang bingkai’ tidaklah terelakkan. Tetapi ketika situasi shock masih dominan? Maka ketika situasi shock masih dominan, fokus pada korban adalah satu-satunya hal etis yang dapat diterima. Bahkan juga termasuk pembawa bom-nya, saat itu ia harus kita anggap sebagai korban juga. Termasuk di sini adalah juga upaya-upaya pencegahan korban baru dalam waktu dekatnya. Di luar hal tersebut: ora mutu. *** (30-03-2021)