www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-03-2021

Sekali lewat, belumlah menarik perhatian. Dua-tiga-kali lewat maka akan ada yang mungkin bertanya-tanya, A-B-C kok sepertinya ada kemiripan. Dan ketika ditelisik lebih jauh lagi, dilihat dari atas-kanan-bawah, terbayangkanlah bahwa itu tidak hanya mirip, tetapi sama. Karena masih ragu dengan bayangannya sendiri, ia mengajak orang lain untuk melihat hal-hal yang menurutnya mirip-mirip itu. Bahkan kemudian disimpulkan: sama. Orang lain itupun ternyata juga menilai bahwa hal-hal tersebut tidaklah hanya mirip, tetapi memang sama. Untuk meyakinkan maka mereka berdua memutuskan untuk mendekat dan melengkapi diri dengan bermacam alat ukur.

Maka memang sering keberulangan itu akan memunculkan bermacam penghayatan. Ada yang cuek-cuek saja, tetapi ada yang kemudian penasaran. Keberulangan berbohong dalam politik misalnya, bagi sebagian orang itu adalah masalah ‘teknis berpolitik’ saja. Mana ada politik steril dari kebohongan? Tetapi keberulangan berbohong dalam politik bagi sebagian orang akan membuat ia merasa perlu untuk kemudian membuat ‘garis batas’-nya. Pada titik tertentu hal itu –berbohong dalam politik dalam hal ini, akan bukan lagi soal ‘teknis berpolitik’ saja, tetapi akan merubah secara mendasar apa esensi dari politik itu sendiri. Berbohong dalam hal ini bisa juga dihayati sebagai sebuah inkonsistensi. Toleransi terhadap inkonsistensi itu tentu ada batas-batasnya sendiri, bagi kebanyakan orang. Bagai seorang sedang memasak, menambahkan garam tidak bolehlah terus ugal-ugalan. Ketika garam terlalu banyak dimasukkan, masakan bisa berasa tidak karu-karuan lagi.

Ketika ada yang kukuh berpegang pada ‘teknis berbohong’ dalam politik sebagai ‘garda depannya’, maka ia sebenarnya sedang berpolitik layaknya dalam gua, jika meminjam Alegori Gua dari Platon. Publik maunya ‘dirantai’ untuk tetap menghadap tembok, dan tidak hanya ‘menikmati’ tetapi bahkan diminta untuk menganggap bayangan-bayangan yang tersaji di depannya itu sebagai realitas. Maka ‘pusat gravitasi’-nya adalah tali-temali antara ilusi dan belief, percaya sajalah bahkan jika itu adalah sebuah ilusi belaka. Bagi siapa saja yang tergerak untuk melepaskan dari dari ‘rantai’ dan mau keluar gua, segera saja akan ‘didisiplinkan’. Termasuk juga ketika ada yang berhasil keluar gua dan mau masuk lagi untuk ‘mengabarkan’ realitas lain di luar gua, ini juga akan ‘didisiplinkan’. Sedikit banyak apa yang diungkap oleh dua ekonom senior ketika ia di-‘serang-balik’ oleh para buzzerRp secara membabi-buta, dan itu barulah salah satu bentuk ‘pendisiplinan’.

Karena jeratan ilusi dan belief itu maka sering muncul hal-hal kurang pas ketika berurusan dengan hal publik yang kongkret. Bayang-bayang bahwa ini lebih masalah ‘perasaan’, terlebih ‘perasaan privat’ sering muncul ketika semestinya ‘penghayatan publik’-lah yang muncul ke depan. ‘Orang baik’ sering terhayati dalam ‘ukuran-ukuran’ lebih ke privat dari pada soal kebijakan-kebijakan publiknya. Bahkan ketika kritik diajukan, sering juga terhayati sebagai yang melukai perasaan. Atau bahkan ketika wacana perpanjangan periode kepemimpinan, kritik terhadap hal tersebut dibalas dengan tidak jauh-jauh amat dari perasaan: cemburu politik. Maka ‘keterbelahan’ yang sebenarnya biasa dalam ranah politik kemudian bisa dirasakan begitu mengusiknya karena lebih terhayati sebagai yang mengancam belief, mengusik perasaan, yang itu diperbesar melalui kemajuan tekhnologi komunikasi sehingga bisa menjangkau bahkan sampai di ruang-ruang makan keluarga. Dan ‘keterbelahan’ bukan terhayati lagi pada konsekuensi-konsekuesi publiknya melalui perbedaan-perbedaan keputusan publik.

Religion is the opium of the people,” demikian Karl Marx seakan sedang memukul palu keras-keras ketika audience tenggelam dalam keributannya sendiri. Marx nampaknya tidak sedang menyingkirkan adanya agama –entah bagi sebagian pengikut-pengikutnya, tetapi lebih sebagai ajakan ‘untuk keluar gua’, dan melihat realitas, menurut Marx, yang ada dalam relasi-relasi produksi. *** (22-03-2021)

Keberulangan

gallery/plato cave