17-03-2021
Kata ‘agenda’ adalah serapan dari bahasa asing, yang maknanya adalah ‘things to be done’. Di sekitar tahun 1650-an di daratan Eropa sono sering dipakai dalam ranah teologi sebagai lawan dari ‘credenda’: things to be believed, matters of faith. Maka kemudian agenda bermakna ‘matter of practice’.[1] Atau coba kita balik, dari penampakan-penampakan ‘things to be done’ itu apakah kita bisa meraba suatu agenda?
Machiavelli dalam Sang Penguasa sudah menandaskan bahwa soal merebut kekuasaan itu bisa berbeda dengan saat menjalankan kekuasaan. Atau: merebut hegemonia itu bisa berbeda saat ketika memegang arche.[2] ‘Gap antara’ tersebut dalam sejarah bisa dilihat bahwa tidaklah cukup untuk mengandalkan ‘orang baik’ saja. Oposisi dalam bermacam bentuknya, dan terutama adalah partai oposisi sangat diperlukan supaya arche yang sudah di tangan tersebut tidak kemudian ugal-ugalan begitu berjarak dengan saat hegemonia direbut. ‘Polarisasi’ atau ‘keterbelahan’ itu adalah sebuah ‘keharusan’ supaya hasrat tidak mewujud dalam kegilaannya. Masalahnya adalah bukan pada ‘polarisasi’ atau ‘keterbelahannya’, tetapi adalah bagaimana itu ‘dikelola’ sehingga tidak merusak ‘suasana kebatinan’ hidup bersama.
Maka kemudian kita mempunyai bermacam ranah dalam hidup bersama. Dimana masing-masing ranah akan mempunyai ‘aturan main’ yang khas, dengan ‘struktur capital’ sendiri-sendiri. Tentu tidak bisa dihindari pula dalam bermacam ranah tersebut akan ada dinamika relasi-kuasa sendiri-sendiri. Tetapi bagaimana-pun, ranah negara-lah relasi-relasi kuasa harus dipandang sebagai yang ‘lebih berat’ sifatnya. Mengapa? Karena dalam relasi-kuasa di ranah negara itulah ada dimensi ‘monopoli-penggunaan-kekerasan’-nya. Lemah atau dilemahkannya oposisi dalam bermacam bentuknya di ranah politik negara pada dasarnya adalah menguatnya potensi penyalah-gunaan ‘monopoli-penggunaan-kekerasan’. Atau bisa dikatakan, rejim dengan minim oposisi akan berkeyakinan bahwa stabilisasi rejim pertama-tama akan diletakkan pada ‘hak istimewa’ negara: penggunaan kekerasan.
Bahkan setingkat presiden AS-pun, dalam hal ini Donald Trump bisa tergoda untuk menggunakan ‘hak istimewa’ itu. Lihat bagaimana ia melakukan ‘sesi foto’ dengan Kepala Staf Gabungan Mark Milley meski kemudian Milley menyatakan penyesalannya. “Seharusnya saya tidak di sana (foto bareng dengan Trump). Kehadiran saya bisa menciptakan kesan militer terlibat dalam politik dalam negeri,” demikian penegasan Milley. Mark Milley saat itu tidak hanya menunjukkan bagaimana integritas dan komitmen masih ada dalam diri, tetapi secara tidak langsung bisa dilihat juga bagaimana kuatnya oposisi melakukan kritiknya.
Ngototnya Trump dalam mengingkari kekalahannya mungkin tidak sekedar soal menang-kalah, tetapi erat dengan agenda-agenda yang sudah dipersiapkan, terutama agenda dari para pendukung kanan jauh-nya. Dan lihat, setelah Biden dilantik jadi presiden maka memang banyak agenda Trump di sana-sini tidak hanya dibatalkan, tetapi justru ditetapkan kebijakan yang sebaliknya. Tidak semua memang, tetapi jelas banyak agenda-agenda yang dipengaruhi oleh para pendukung Trump dari sayap radikalnya yang banyak dikoreksi. *** (17-03-2021)
[1] https://www.etymonline.com/word
/agenda
[2] https://www.pergerakankebangsaan.
com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/