14-03-2021
“Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan,”[i] demikian Mangunwijaya dalam “Kini Kita Semua Perantau” (1989). Kutipan yang kembali mengusik ketika seliweran berita kudeta partai menyeruak ke permukaan. Tidak hanya soal isak-tangis-sedu-sedan-ingus-delèwèran-dengan-punggung-ditepuk-tepuk-halus-oleh-para-sahabatnya –bahkan dengan penuh percaya diri pula terisaknya itu, kemudian tampil di depan, tetapi juga soal keterlibatan pejabat-pemerintah-aktif-hasil-hak-prerogatif dalam carut marut itu. Tidak hanya tidak tahu etika, tetapi juga bahkan tidak tahu malu. Dan si-pemegang hak prerogatif yang ‘memproduksi’ pejabat semacam ini-pun berhari-hari diam saja, seolah itu bukan urusannya. Maka, republik macam apa yang kami miliki ini?
Republik selinthutan-kah? Plinthat-plinthut sok bermain ‘shock-doctrine’ a la Naomi Klein itu? Ketika shock semakin memuncak akibat pandemi, maka dengan selinthutan-plendas-pledus omnibus-law diketok palu. Tak jauh beda dengan saat dikeluarkannya bermacam peraturan turunannya, yang secara esensial semakin menguak apa sejatinya omnibus-law itu. Jika memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon, itu adalah ketika si-kuda hitam yang memimpin. Platon sudah ‘memperingatkan’ dengan menyebut beberapa sifat si-kuda hitam, yaitu semau-maunya sendiri dan cenderung inginnya meluncur ke bawah saja. Padahal menurut Platon, kereta semestinya di arahkan ke atas pada ‘kebaikan para dewa-dewa’.
Alegori Kereta Perang-nya Platon ini bisa kita gunakan untuk membantu ‘peta masalah’, lepas dari apakah kita nyaman atau tidak dengan pemikiran-pemikiran Platon. Kereta perang adalah seperti yang digunakan untuk balapan di film Ben Hur, dengan roda di kanan-kiri, sais berdiri, dan kereta ditarik oleh dua ekor kuda. Dalam Alegori, dua ekor kuda adalah kuda putih dan kuda hitam. Kuda putih menggambarkan ‘kebanggaan’, sedang kuda hitam menggambarkan nafsu ‘perut ke bawah’, terutama nafsu tentang uang. Sais menggambarkan rasio, dan ada tambahan: sayap di kanan-kiri kereta, menggambarkan eros, atau katakanlah: elan vital, energi hidup.
Dengan penggambaran kuda berjingkrak, tergambarkanlah letupan energi dalam kedua kuda itu, dan untuk itulah meski cenderung semau-maunya dan maunya meluncur ke bawah saja, kuda hitam tetap merupakan faktor penting untuk menggapai tujuan: mendekat pada ‘kebaikan para dewa-dewa’ itu. Kuda putih meski juga punya letupan energi dahsyat, ia cenderung ‘manut’ pada si-sais. Maka memang tidak mudah bagi si-sais untuk mengarahkan kereta ke atas untuk semakin mendekat pada ‘kebaikan para dewa-dewa’ itu. Dia tidak hanya akan mengandalkan kekuatan rasio si-sais, tetapi juga sangat perlu ‘bantuan’ dari si-kuda putih. Bahkan juga sayap-sayap di kanan-kiri kereta itu. Melalui pemikiran Marx kita bisa menjadi lebih paham bagaimana dahsyat-nya kekuatan si-kuda hitam itu.
Bahkan ketika ‘logika Alegori Kereta Perang’ itu maunya ‘dikoreksi’ dengan ‘logika hasrat vs hasrat’, dari pengalamam bermacam komunitas dan rentang waktu yang pernah dilalui, ‘pengendalian’ kekuatan uang sebagai yang dominan dalam diri si-kuda hitam itu masihlah belum cukup menyingkirkan ‘logika Alegori Kereta Perang’-nya Platon. Lihat misalnya, paradigma ‘creative destruction’ di AS sono itu menjadi terusik ketika pimpinan tertingginya berkualitas seperti Donald Trump yang begitu ugal-ugalannya itu. Atau paling tidak dari kekayaan kosa-kata, istilah negarawan itu sendiri sampai sekarang tetaplah bertahan. ‘Logika Alegori Kereta Perang’ sebenarnya justru semakin mendapat tempat strategis ketika si-kuda hitam semakin menampakkan diri sebagai sosok Leviathan. Ketika si-kuda hitam berubah menjadi Leviathan, ‘koalisi’ antara sais dan kuda putih dengan didorong oleh sayap-sayap di kanan-kiri kereta bahkan kemudian menjadi mutlak diperlukan jika memang kereta masih mau diarahkan ke atas pada ‘kebaikan para dewa-dewa’. Atau kalau toh kita memakai logika hasrat vs hasrat, hal di atas sebenarnya bisa juga dilihat sebagai (koalisi) hasrat vs hasrat juga.
“All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts,” demikian Carl Schmitt dalam Political Theology sekitar satu abad lalu. Mungkin inilah yang mendasari adanya pemisahan antara ‘kepala negara’ dan ‘kepala pemerintahan’. Kepala pemerintahan dimana ‘yang profan’ –will to power, itu bisa begitu ugal-ugalannya. Dan kepala negara yang menjaga will to survive tetap terjaga sehingga ‘keselamatan dunia’ bisa semakin mendekat bagi semua orang, sesuai dengan janji awal mengapa berkumpul sebagai satu nation-state. Jika kepala negara dan kepala pemerintahan di tangan satu orang, selain soal kualifikasi maka adanya ‘hakim-hakim agung’ yang sungguh berwibawa akan memberikan ‘check and balances’-nya dalam imajinasi hidup bersama. Berwibawa karena pertama-tama ia dipercaya akan mampu menjaga jarak dengan ‘yang profan’, dinamika will to power itu. Atau usulan Rizal Ramli soal partai politik dibiayai oleh negara, adalah usul yang sangat patut didukung. Meski adanya negara hanya bisa dihayati melalui pemerintahannya, tetapi kita bisalah membayangkan bahwa ini adalah soal bagaimana negara yang ‘omnipotent’ layaknya Tuhan itu ingin dunia ‘profan’ dapat berkembang dengan baik dan berkualitas dalam mengelola dinamika will to power-nya.
Ketika ada silang pendapat pendirian Islamic Centre di sekitar ground zero beberapa tahun lalu, Obama selaku presiden saat itu mengingatkan pada warga AS tentang semangat awal pendirian hidup bernegara sebagai satu nation-state. Jika mengikuti naluri will to power, misal soal elektabilitas misalnya, ditengah-tengah masih adanya kemarahan soal peristiwa runtuhnya WTC, membela pendirian Islamic Centre itu sungguh pertaruhan yang tidak kecil. Tetapi Obama sebagai kepala negara akhirnya memilih untuk mengingatkan warganya untuk ‘kembali ke jalan yang benar’. Tidak selinthutan. Mungkin jika ‘keterbelahan’ saat itu dibiarkan dan terus membesar-melebar, bisa saja akan muncul kegundahan, Amerika macam apa yang kami miliki ini? Pertanyaan yang sangat mungkin muncul ketika pendukung die hard-nya Donald Trump merengsek ke gedung Capitol Hill beberapa waktu lalu. Trump sedikit banyak bisa dikatakan lupa bahwa selain ia kepala pemerintahan, ia adalah juga kepala negara.
“Rusia macam apa yang kami miliki?” demikian Alexi Pushov, seorang komentator televisi Rusia seperti dikutip Washington Post (30/8/1998) ketika menggambarkan kondisi Rusia era Yeltsin dengan segala kegundahannya. Bagi kebanyakan warga Rusia, Yeltsin sudah dipandang sebagai simbol stagnasi dan frustasi ketimbang kemajuan.[ii] Yeltsin yang pada awalnya ‘digadang-gadang’ sebagai simbol kebebasan pasca era USSR itu ternyata justru lebih sebagai untuk menghibur rakyat Rusia saja, dan sebaliknya malah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kaum oligark untuk merampas-merampok kekayaan alam Rusia. Si-kuda hitam yang sedang merangkak menjadi Leviathan Baru. Gaya berjoget di panggung yang ‘menggemaskan’ itu, atau kadang bahkan nampak sedikit mabuk di depan publik, dan macam-macam lagi, ternyata menemui batasnya, yaitu apa-apa yang sebenarnya kongkret dirasakan khalayak: frustasi. Dan akhirnya rakyat Rusia-pun bergerak, mendesak, ujungnya Yeltsin-pun tidak merampungkan jabatan di periode keduanya sebelum kerusakan yang lebih parah lagi. *** (14-03-2021)
[i] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302
[ii] Simon Saragih, Bangkitnya Rusia, Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 39