09-03-2021
Ada banyak hal bisa dikembangkan jika kita memakai ‘skema’ mitis-ontologis-fungsionil seperti ditulis Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (1988, penj. Dick Hartoko). Jika kita mulai dari tilikan Polybius lebih dari 2000 tahun lalu, manusia berkumpul didorong karena ada ketakutan menghadapi ganasnya alam. Menghadapi alam yang penuh dengan ketidak-pastian. Meski perbandingan kurang tepat, tetapi bisa kita bayangkan bahwa berkumpulnya manusia-manusia itu adalah seperti membangun pulau di tengah samudera. Pulau menjadi pulau karena adanya samudera yang mengelilinginya. Kumpulan manusia itu sedikit banyak memberikan rasa aman, memberikan bayangan kepastian yang lebih jelas di tengah-tengah samudera ketidak-pastian alam.
Tetapi berbeda dengan pulau yang katakanlah hanya berinteraksi dengan samudera untuk menegaskan adanya, kumpulan manusia juga berinteraksi antar-manusianya. Dan interaksi antar-manusia dalam bayang-bayang interaksinya dengan ketidak-pastian di luar kumpulan itu ternyata tanpa disadari semakin memajukan penghayatan akan batas-batas ‘kepastian’, atau katakanlah di sini, horison bersamanya. Apa yang ‘dalam kendali’ itu mengalami perluasan dan semakin mengikis ketidak-pastian yang ‘di luar kendali’. Pada awalnya manusia menciptakan bermacam imajinasi yang dibayangkan mampu mengendalikan ketidak-pastian di luar kumpulan. Dan bahkan karena semakin kompleks kumpulan ternyata ‘ketidak-pastian’ itu juga hadir di tengah-tengah kumpulan, imajinasinya itupun juga ikut serta ‘mengendalikan ketidak-pastian’ dalam kumpulan. Bertahun menjalani evolusi dan sejarah ditapak, manusia semakin ingin menguak apa sih yang menjadi esensi dari hal yang ‘tidak pasti’ itu. Maka dicarilah dengan penuh semangat, adakah ‘hukum-hukum universal’ yang menggerakkan alam semesta? Newton misalnya, menemukan soal hukum gravitasi. Termasuk juga bagaimana ‘tertib tatanan’ hidup bersama itu bisa berjalan, misal soal ‘kepentingan diri’ atau ‘pasar’ sebagai hal krusial menyangga mewujudnya ‘tertib tatanan’ itu. Tentu dari jurusan lain ada kesimpulan yang bisa saja berbeda. Kemajuan tekhnologi semakin mendorong berkembangnya kemampuan mengikis ‘ketidak-pastian’ semesta.
Bagi van Peursen, tahap mitis-ontologis-fungsionil itu bukanlah kemudian tahap yang lain akan menghapus lainnya. Coba bayangkan ‘kehidupan’ setelah kematian misalnya, bahkan tekhnologi yang paling maju-pun belum bisa mengurai dengan memuaskan. Silang pendapat mengenai rencana pendirian Islamic Centre di dekat Ground Zero di AS sono bertahun lalu, diredakan oleh Obama selaku presiden saat itu dengan mengingatkan apa yang menjadi salah satu dasar berdirinya Amerika. Ketidak-pastian itupun kemudian mereda. Atau lihat silang pendapat mengenai off-side, hand-ball dll dalam sepakbola, tekhnologi VAR akhirnya digunakan untuk membantu wasit. Tetapi selain tidak ‘saling meniadakan’, masing-masing tahap ternyata mempunyai ‘bablasannya’ sendiri-sendiri. Kemajuan tekhnologi misalnya, pada titik tertentu tiba-tiba mendorong hidup bersama sampai pada yang kita sebut sekarang sebagai kedaruratan iklim itu. Atau VAR dalam sepakbola yang sering dirasa mengganggu ‘drama’ dalam sebuah permainan.
Maka ketika hukum tidak mampu mengurangi ketidak-pastian hidup bersama, apa yang akan terjadi? Atau kalau kita kembali pada situng KPU saat pilpres 2019 lalu, tekhnologi justru membuat ketidak-pastian menyeruak, apa yang akan terjadi? Pertanyaannya tidaklah kemudian berhenti pada kesimpulan bahwa itu masalah manusia-manusia di belakang hukum, manusia-manusia di belakang tekhnologi itu. Tetapi apa yang menggerakkannya sehingga di satu komunitas hukum bisa ikut secara signifikan ‘mengelola’ ketidak-pastian itu, tetapi di komunitas lain tidak. Sama-sama ada manusia di belakang itu semua. Demikian juga soal penggunaan tekhnologi. Mangunwijaya dalam “Kini Kita Semua Perantau” (1989) menulis hal menarik: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.”[1] Mangunwijaya langsung menukik ke jantung permasalahan, yang bahkan Nietzche sudah memperingatkan, will to power itu bisa-bisa akan meminggirkan will to survive.
Biden dalam menanggapi gagalnya impeachment Donald Trump di tingkat Senat beberapa watu lalu, sangat tepat mengingatkan tentang rapuhnya demokrasi. Tentang beratnya survive-nya demokrasi. Biden sangat sadar bahwa ia sendiri, bahkan jika seluruh anggota Partai Demokrat di belakangnya, tetap berat untuk menjaga survive-nya demokrasi itu. Maka ajakan untuk membela demokrasi ia tujukan pada seluruh warga AS sana. Mungkin dalam bayangan Biden saat itu, ya seperti Myanmar akhir-akhir ini. Pada ujung-akhirnya ya si-demoslah yang akan bergerak bersama menjaga survive-nya demokrasi. Demokrasi yang nantinya dibayangkan juga akan membela dan menjaga survive-nya si-demos. *** (09-03-2021)
[1] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302