08-03-2021
Kuasa yang melekat pada kekuasaan itu, bagaimana kita menghayati adanya? Atau katakanlah warna merah, bagaimana kita menghayati warna merah itu? Kita bisa bicara panjang gelombangnya, dan sifatnya jika dicampur warna ini akan menjadi berwarna lain, misalnya. Tetapi tetap saja kita belum bisa menghayati apa itu warna merah. Jika kita melihat kursi atau pintu itu warnanya merah, maka kita baru bisa menunjuk: itu warna merah. Demikian juga ketika kita bicara soal kekuasaan, soal hal kuasa menggerakkan pasukan, mengangkat menteri, atau bahkan staf khusus, dimana kita bisa menghayati adanya kuasa seperti itu? Dari kitab undang-undangkah? Ketika ada orang ditetapkan dengan kuasa itulah kita baru bisa menghayati adanya kuasa itu.
Atau misalnya ketika ada anggota badan ideologi itu bersikeras bahwa dia sedang bicara sebagai budayawan, dan kemudian bicara ini dan itu dan sama sekali tidak mau dikait-kaitkan dengan jabatannya sebagai salah satu anggota badan ideologi itu, bisakah khalayak diajak serta-merta ‘me-reset’ kesadarannya bahwa ia sebenarnya punya kuasa yang melekat dalam diri sebagai anggota badan ideologi itu dan sekarang ia sedang ‘menanggalkan’ kuasa itu? Menjadi pejabat publik komplit dengan kuasa yang melekat dan dengan bermacam fasilitas dibiayai oleh pajak dari warganya itu memang tidak mudah. Tidak semua orang mau, karena tiba-tiba saja banyak hal tidak bisa lagi dilakukannya dengan semau-maunya lagi karena ia menjadi tidak semudah-selincah dulu untuk masuk dalam bermacam ranah dalam hidup bersama. Dunianya seakan ‘milik publik’ kecuali tentu hal-hal yang bersifat pribadi, misal soal pernikahannya, soal anak-anaknya, keluarganya, atau kehidupan cintanya, atau agama/keyakinannya. Itupun di beberapa komunitas masih saja bisa menjadi ‘berita hangat’.
Bahkan jika hanya bicara saja itu sudah bisa membuat ‘panas-dingin’-nya suasana seperti anggota badan ideologi itu, maka apalagi jika bertindak ugal-ugalan. Seorang pejabat publik yang dibiayai oleh pajak-pajak warganya, ia tidak bisalah leluasa kemudian mengkudeta partai, misalnya. Dalih bahwa itu dilakukan sebagai layaknya seorang warga negara biasa tidaklah bisa diterima akal sehat. Kuasa yang melekat pada jabatannya jelas tidak serta merta menghilang begitu saja hanya karena klaim saat itu bahwa ia sedang tidak sebagai pejabat. Maka tidak mengherankan jika ada pejabat melakukan itu, soal etika kemudian mengemuka. Keadaban publik sebagai bagian dari keadaban alam-pun kemudian mengemuka.
Termasuk di sini jika kita melihat soal hak-prerogatif itu. Siapapun atau apapun yang menjadi ada karena hak-prerogatif itu tidak akan pernah lepas dari siapa pemegang hak-prerogatifnya. Dia berbuat benar, dia berbuat salah, dia ugal-ugalan semau-maunya, yang menunjuk dia melalui hak-prerogatif semestinya ikut-turut bertanggung jawab. Sama sekali tidak bisa terus cuci tangan sebersih-bersihnya, bahkan jika itu dengan alasan 'protokol kesehatan'. Alasan bahwa perbuatan pembantu-pembantunya yang ada karena hak-prerogatif itu bahwa ia tidak tahu-menahu adalah alasan konyol belaka. Sangat konyol. Dan republik semestinyalah bukan tempat bermacam kekonyolan dilahirkan. Apalagi dibiasakan. Hanya pemimpin kelas medioker yang akan nyaman-nyaman saja dengan kekonyolan-kekonyolan itu. Makanya tidak mengherankan juga, kekonyolan yang tersembunyi dalam aksi sok-sok-an itupun dijalaninya dengan ringan-ringan saja. Dari sok bagai raja, sok kaget, sok heran, sok jengkel, sok benci produk luar negri, dan banyaaak lagi. *** (08-03-2021)