01-03-2021
CSR dan CSN adalah ‘duo-maut’ di satu republik, crazy-super-rich dan crazy-super-ngibul. Bayangkan di jaman milenial ini ada seorang kepala pemerintahan dengan segala kekuasaannya, saat ia duduk di kursi kekuasaannya kemudian dilantunkanlah puja-puji dengan syair bahwa ia adalah utusan langit, yang dipilih langsung oleh Yang Maha Kuasa. Mungkin si-pelantun akan dimaklumi bahwa ia sedang ngibul berat, karena sedang mabuk berat. Tetapi bagaimana jika itu terjadi di jaman feodal doeloe? Ketika untuk hidup masih mengandalkan pertanian dan perburuan? Ketika hasil panen dan hasil buruan sangat tergantung dari ‘kemurahan-keramahan’ alam? Ketidak-pastian semesta yang akan memprovokasinya untuk minta bantuan kekuatan di atas semesta? Dan dari catatan sejarah kita bisa melihat bahwa para crazy-super-rich saat itu adalah kaum bangsawannya, tentu dengan raja-kaisarnya.
Tetapi ketika bermacam teknologi mulai berkembang, bermacam pengetahuan mulai melebar tidak hanya dikalangan aristokrat dan para ‘legitimator’-nya saja, maka ketidak-pastian itu mulai dirasa-rasa bisa untuk dikelola. Jadi tidak hanya mengandalkan kekuatan maha-besar di atas semesta. Ternyata semesta bisa dikenali dengan hukum-hukumnya sendiri, misalnya. Karena bisa dikenali hukum-hukumnya maka semakin bisa diprediksi dan dengan begitu tidaklah sangat menakutkan lagi. Pada awalnya hal-hal tersebut memang berkembang di kalangan kaum aristokrat saja sehingga mereka semakin berani meminta hak-hak lebih pada sang raja. Tetapi pada akhirnya juga melebar pada khalayak kebanyakan. Terlebih ketika bagaimana cara menghidupi diri semakin beragam dan tidak hanya tergantung pada pertanian dan perburuan. Revolusi industri mempercepat proses tersebut.
Tidak semua crazy-super-rich melalui jalan kegelapan, bahkan banyak yang meniti jalan keras dan terjal, dan tentu: kreatif. Tetapi lepas dari itu, uang-kekayaan adalah salah satu bentuk power juga, dan bahkan dengan meraksasanya kesejahteraan di tangan CSR kemudian dikenal istilah New Leviathan. Politik sebagai salah satu jalan utama dalam ‘pembagian kekayaan’ itupun kemudian semakin tidak pernah lepas dari perhatian sang Leviathan Baru ini. Kekayaan boleh ‘terbagi’ tetapi paling tidak jangan mengurangi ‘jatah’ mereka, bahkan jika bisa bagaimana itu dilipat-gandakan melalui jalan politik, melalui keputusan-kebijakan politik. Lalu bagaimana dengan sisanya, the rest itu? Sejak jaman Romawi nampaknya resep tidak jauh berubah: roti dan sirkus. Khalayak kebanyakan cukup dibagikan roti secukupnya dan tontonan-hiburan secukupnya, bahkan kalau perlu: minuman keras, sehingga tidak mengganggu ‘hak-hak istimewa’ kaum bangsawan.
Dalam masyarakat konsumen seperti sekarang ini, tali-temali menjadi semakin ruwet. Lihat bagaimana ‘kediktatoran barang murah’ itu bisa membuat selundupan merebak di sana-sini, himbauan untuk cinta produk sendiri bisa menjadi terengah-engah, murah karena aksi dumping-pun tidak akan dipedulikan konsumen. Demikian juga dengan barang mewah misalnya, dari sisi produsen ia tidak peduli uang untuk membeli itu berasal dari gaji, tabungan, utang, ngerampok, maling, korupsi, dst. Atau tak peduli jika produksinya bisa merusak khalayak setempat. Bahkan dalam politik-elektoralpun pengaruh masyarakat konsumen juga sangat terasa. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, korporasi (besar-raksasa) atau kekuatan uang itu sebagai pelaku utama kekuatan Leviathan Baru itu tidaklah bisa diharapkan ‘maksud baik’-nya dalam pembagian kekayaan terhadap khalayak banyak. Logika yang diyakini oleh kaum neolib ter-ujung kanan, dengan maksud baik ia ikut terlibat juga dalam ‘membagi kekayaan’, yaitu dengan menciptakan lapangan kerja. Makanya mereka akan habis-habisan minta fasilitas keringanan pajak dari negara, biar, katanya, usaha terus maju, lapangan kerja bertambah.
Alasan di atas tidaklah sepenuhnya salah, tetapi juga tidak selalu berakhir happy ending bagi semua pihak. Makanya perlu penyeimbang untuk tidak tergantung pada ‘maksud baik’ saja, dan penyeimbang itu sebenarnya adalah partai politik. Dalam situasi tertentu-terpaksa, people power. Apa yang akan diperbuat oleh Partai Republik dan Partai Demokrat di AS sana sedikit banyak menggambarkan dinamika di atas, misal soal pajak untuk korporasi. Republik akan melonggarkan tekanan pajak untuk golongan 1% teratas misalnya, dengan alasan di atas. Tetapi Demokrat kebalikannya, dan pajak dari si-kaya itu kemudian digunakan untuk membiayai program-program peningkatan kapasitas bagi warga yang kurang beruntung dalam persaingan pasar. Atau lihat bagaimana Jack Ma sempat menghilang beberapa bulan setelah mengkritik kebijakan pemerintah RRC sana. Bukan soal menghilangnya yang mungkin saja menimbulkan banyak spekulasi, tetapi yang mau disampaikan disini adalah, partai memang harus efektif dalam menghadapi si-Leviathan Baru ini sehingga ‘pembagian kekayaan’ tidak berlangsung ugal-ugalan dengan lebih tersedot ‘ke atas’.
Dalam Empire (2000) Antonio Negri dan Michael Hardt menyinggung soal struktur-bangunan mixed constitution, dimana sebenarnya lebih dari 2000 tahun lalu sudah disinggung oleh Polybius. Mixed constitution ini bukanlah kemudian dicampur seperti halnya adonan roti, tetapi lebih tepat sebagai perumahan dengan bermacam klaster-nya. Maka bayangkan dalam satu perumahan ada klaster monarki di tempat tertinggi, kemudian ada klaster aristokrat/oligarki, dan selanjutnya klaster demokrasi. Dalam ‘struktur’ itu maka kita bisa lihat bahwa partai politik (maunya) akan dimasukkan dan menjadi salah satu bagian dalam klaster aristokrat/oligarki. Dan yang namanya monarki sebenarnya bukanlah murni ‘mono’ sebagai suatu kemungkinan, tetapi sangat bisa mewujud sebagai ‘duo’, dua kekuatan yang bisa bergantian dalam ketegangan siapa yang ada di puncak. Ada dua ‘model’ paling tidak bisa kita kenal sampai sekarang, dan jika memakai struktur ‘hirarki Gereja Katolik’ (jangan-jangan struktur hirarki ini juga terinspirasi Polybius? ‘Modifikasi’-nya di ranah surgawi.), model RRC dan Vietnam misalnya, lebih dekat dengan struktur ‘hirarki Gereja Katolik’ itu, dengan warga negara di luar Partai Komunis Cina –si-demos, adalah, katakanlah: ‘umat’. Sedang anggota partai adalah yang dikenal di Gereja Katolik itu sebagai hirarki itu. Lihat setiap pemilihan sekjen partai-pun layaknya seperti sedang menunggu asap putih membumbung. Sedang model kedua, umat berhak ikut menentukan siapa yang akan jadi ‘paus’-nya. Mirip dalam Gereja Protestan? Saya –penulis, tidak tahu karena saya Katolik.
Kembali pada konteks pembagian kekayaan, distribution of wealth, siapa saja pasti ingin di puncak sebagai ‘penentu utama’ dalam pembagian kekayaan itu. Bahkan mungkin tidak hanya soal pembagian kekuasaan, tetapi bisa lebih karena will to power saja. Demos-kratos adalah angan si-demos untuk bisa mengakses ‘puncak kekuasaan’ sehingga dapat ikut menikmati kesejahteraan sebesar-besarnya melalui penetapan bagaimana pembagian kekayaan itu mesti dilakukan. Bagi kaum radikal-neolib, dia akan mengatakan: tidak, bukan puncak kekuasaan yang akan membagi kekayaan tetapi mekanisme pasar yang self-regulating-lah yang akan melakukan itu semua. Makanya maunya mereka: ultra-minimal state itu. Benarkah semua akan ber-self-regulating market? Lihat misalnya kerasnya lobi soal pembatasan kepemilikan senjata di AS sono, berapa milyar dollar uang yang dipertaruhkan? Atau lihat penolakan tokoh-tokoh Papua soal investasi pabrik minuman keras di Papua yang mestinya dengan adanya permintaan maka akan menguntungkan jika dibangun pabriknya di sana.
Dari beberapa hal di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu soal komitmen dan akses. Tokoh-tokoh Papua yang menolak pabrik miras tidak sedang bicara soal self-regulating market dengan bahan bakar utamanya self-interest itu, tetapi mereka bicara soal komitmen. Sedang soal akses, yaitu akses ke puncak kekuasaan. Puncak kekuasaan yang diinginkan bisa membantu dalam distribution of wealth. Tetapi soal akses sebaiknya jangan berhenti pada yang serba ‘materialis’ saja. Lihat misalnya, si-A mau ke titik B, ternyata ada dua akses, jalan langsung dan jalan agak melingkar, jelas lebih jauh tentunya. Sayangnya di jalan langsung itu di tengah-tengahnya ada pohon angkernya, kata orang-orang. Maka bisa saja banyak orang yang mau ke titik B itu lebih memilih jalan melingkar meski lebih jauh, terlebih jika malam hari.
Soal akses ada masalah besar, katakanlah ada “Perumahan Republik City”, klaster monarki misalnya, adalah dunia dengan how the world works-nya sendiri. Demikian juga aristokrasi/oligarkinya, dan demokrasinya. Selain itu, masing-masing terutama yang mempunyai privilege tersendiri akan berusaha untuk tidak direcoki lainnya sehingga privilege itu akan tidak berkurang. Maka konflik misalnya, harus juga dibayangkan akan berbeda rasa, ini konflik di tingkat monarki-kah, atau aristokrasi/oligarki, atau di tingkat demokrasi? Ketika ada yang sebelumnya mengatakan bahwa jika si-J terpilih maka republik akan hancur dan ternyata malah kemudian maju jadi wakilnya, kita bisa membayangkan bahwa konflik itu ada di tingkat monarki. Babat-babat-an soal OTT, korupsi, kudeta partai, adalah konflik di tingkat aristokrasi/oligarki. Di tingkat bawah, konflik ya soal radikal-radikul itu misalnya. Atau lainnya.
Dalam alam situasi saat Polybius hidup, monarki akan direpresentasikan oleh Konsul, aristokrasi/oligarki oleh Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, lainnya demokrasi. Semestinya rakyat ada direpresentasikan pada Dewan Perwakilan Rakyat itu melalui demokrasi, tetapi dalam praktek Konsul akan mengendalikan Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan memang akhirnya yang terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu akan lebih sering menjadi sebagai bagian aristokrasi/oligarki daripada rakyat yang diwakilinya. Bagaimana dengan 2000 tahun kemudian, apakah rasa-rasanya model ini seperti tidak asing? Jika yang ada di aristokrasi/oligarki itu sudah dijinakkan oleh ‘Konsul’, bagaimana dengan si-demos yang jumlahnya berjibun itu? Jika partai politik yang semestinya berakar dalam demos itu sudah dijinakkan –ditarik habis-habisan ke aristokrasi/oligarki dengan sekaligus dipotong habis akarnya, entah dengan dibeli, sandera kasus, infiltrasi, lebih diisi oleh yang nir-komitmen, atau dikudeta karena ketuanya terlalu sering turun ke bawah untuk merawat akar partai, maka tinggal satu ancaman: people power. Untuk itulah Negri dan Hardt menulis juga soal peran polisi. Tetapi bagaimana jika yang banyak itu -si-demos, di era digital-sosial-media ini mengambil bentuk ‘multitude’ seperti yang digambarkan Negri dan Hardt? Tak heran pula jika kemudian ada ‘polisi siber-digital’ itu.
Selain peran polisi seperti disinggung Negri dan Hardt, jika memakai contoh ‘pohon angker’ di atas, maka akan dipasangkanlah pohon-super-angker-tapi-berwajah-super-lugu itu sehingga akses ke people power akan di-‘selewengkan’ pada hal remeh-temeh saja. Atau harus menempuh jalan lingkar yang semakin melelahkan. Itulah fungsi utama dari si-CSN. *** (01-03-2021)