16-02-2021
Dalam The Idea of Justice, Amartya Sen mengambil kekerasan yang dialami Catherine (Kitty) Genovese (terjadi di daerah Queens, New York, tahun 1964) sebagai bahan perenungan. Kekerasan terhadap Genovese itu juga diketahui atau didengar oleh tetangga-tetangga apartemennya. Ada tiga problem diajukan oleh Sen, problem pertama dan merupakan isu utama, yaitu hak untuk tidak dianiaya/disakiti dari Genovese yang dilanggar (oleh penyerangnya). Problem kedua adalah kewajiban untuk tidak menyerang/menyakiti (perfect obligation) dan itu dilanggar oleh penyerang, dan ketiga, semestinya tetangga-tetangga itu berbuat sesuatu untuk menolong Genovese (imperfect obligation), tetapi tidak dilakukan.[1]
Jauh sebelumnya, Immanuel Kant (1724-1804) juga membedakan antara perfect obligation/duty dan imperfect obligation/duty ini. Imperfect obligation dibedakan menjadi dua, (duty) soal self improvement dan kewajiban menolong yang lain. Kewajiban menolong yang lain itu bisa dibayangkan bahwa jika itu tidak ada maka manusia-pun akan tidak akan ada pula. Kita lahir dan akan kemudian mati jika tidak ditolong oleh orang lain, demikian kira-kira titik berangkatnya. Judul ‘Tukang Lapor dan Kegilaannya’ diangkat karena itu juga menyimpan problematikanya sendiri.
Jika tetangga-tetangga Genovese itu kemudian lapor ke polisi maka mungkin saja nyawa Genovese akan terselamatkan. Dan tidak akan ada yang melebeli para tetangga itu sebagai si-tukang lapor dalam konotasi negatifnya. Karena apa? Karena jelas ada peristiwa dimana perfect obligation itu dilanggar dengan sewenang-wenangnya. Yaitu kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain. ‘Kegilaan’ dari ‘tukang lapor’ adalah ketika justru lopar-lapor-nya merupakan satu bentuk pelanggaran satu-dua-atau lebih dari perfect obligation. Satu bentuk kekerasan terhadap adanya bermacam hak yang melekat dari setiap warga negaranya. Misalnya, hak (kebebasan) bicara atau hak berekspresi.
Semakin kuat-luas imajinasi seseorang semestinya ia akan lebih mampu membayangkan adanya bermacam hak tersebut. Atau paling tidak akan lebih mudah diajak untuk bisa menghayati adanya bermacam hak tersebut. Tetapi eksperimen Stanley Milgram di sekitar tahun 1960-an bisa menunjukkan hal lain. Sebuah eksperimen yang sangat mungkin diinspirasi oleh laporan Hannah Arendt tentang persidangan Adolf Eichmann di Jerusalem terkait dengan kejahatan holocaust-nya semasa Perang Dunia II. Laporan yang intinya adalah soal banality of evil yang kontroversial itu. Kita ulangi lagi soal eksperiman Milgram ini (yang sudah ada dalam beberapa tulisan sebelumnya). Subyek penelitian adalah si-‘guru’. Guru akan memberikan pertanyaan-pertanyaan pada si-murid (diperankan oleh aktor). Si murid dihubungkan dengan kabel-kabel listrik (pura-pura). Jika murid salah menjawab, guru akan menyetrum melalui tombol di depan, jika salah lagi: disetrum lagi, dan bahkan dengan voltase sengatan semakin tinggi. Tentu tidak ada aliran listriknya, tapi si-guru tidak tahu soal itu. Ketika ‘disetrum’ murid yang aktor itu akan pura-pura kesakitan. Tak jauh dari si-guru ada pengamat, yang akan memberikan penegasan jika si-guru menjadi ragu-ragu untuk ‘menyetrum’ si murid yang salah dalam menjawab.
Ternyata dalam eksperimen itu, si-‘guru’ sebagai subyek penelitian (berganti-ganti) sebagian besar mau saja menyetrum sampai maksimal, bahkan ketika si-‘murid’ (aktor) sudah mengiba-iba untuk dihentikan. Dan latar-belakang ‘guru-guru’ itu bermacam-macam, dari pekerja biasa, kaum terpelajar lulusan universitas, bahkan ada pendetanya. Macam-macam. Apa yang bisa kita pelajari dari eksperimen ini? Pertama adalah terkait dengan ‘guru-guru’ itu, yang masuk ruang eksperimen bukanlah tanpa ‘konsep’ sama sekali. ‘Konsep’-nya adalah untuk menolong pengembangan sistem pendidikan, sesuai dengan iklan yang disebar. Dari iklan yang disebar untuk rekrutmen, ada fee tersendiri jika mau ikut dalam eksperimen tersebut, tentunya sebagai si-‘guru’. Mungkin sebagian tidak urusan soal eksperimennya, yang penting dapat fee. Tidak boleh dilupakan pula adalah hadirnya pengamat di dekat si-‘guru’, dan pengamat itu bisa juga kita hayati sebagai sebuah otoritas.
Dalam konteks tulisan ini, eksperimen Milgram di atas bisa dilihat juga bagaimana ketika perfect obligation dan imperfect obligation itu bisa sampai pada satu titik dilematis. Dalam contoh Amartya Sen di atas, dalam kasus Genovese pelaksanaan imperfect obligation (oleh tetangga Genovese) justru sebenarnya ‘terdukung’ dengan adanya pelanggaran terhadap perfect obligation yang dilakukan oleh orang lain (terhadap Genovese). Tetapi dalam eksperimen Milgram, baik problem perfect obligation (tidak menyakiti orang lain) hadir bersamaan dengan imperfect obligation (menolong pengembangan sistem pendidikan) dalam diri satu orang, si-‘guru’. Banyak yang berpendapat bahwa semestinyalah perfect obligation itu lebih prioritas. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ketika antara perfect obligation dan imperfect obligation ada dalam satu ketegangan, maka mana menjadi prioritas masih tergantung juga dengan situasinya. Misalnya ketika Nazi berkuasa, dan si A menyembunyikan beberapa orang Yahudi. Saat ada razia, perfect obligation akan bilang: jangan bohong, akankah ia akan terus terang pada SS bahwa ada orang Yahudi di rumahnya?
Tetapi apapun itu, mana yang lebih prioritas, situasi apa yang melingkupi, hal timbang-menimbang pastilah akan ikut terlibat. Inilah mungkin yang begitu terpengaruh dengan hadirnya sebuah otoritas seperti dalam eksperimen Milgram di atas, otoritas yang menampakan kekuatannya dalam diri si-‘pengamat’. Tentu ada yang bertahan dan lolos dari ‘terkaman’ otoritas (si-‘pengamat’ yang akan memperingatkan jika si-‘guru’ ragu-ragu untuk memberikan ‘sengatan’) dengan tidak meneruskan percobaan, apalagi sampai memberikan ‘sengatan’ tertinggi –melalui sebuah timbang-menimbang yang awalnya nampak pada sebuah keraguan, dan kemudian memutuskan untuk berhenti. Tetapi ternyata juga,sayangnya, lebih banyak yang ‘menyerah’ begitu saja terhadap ‘terkaman’ otoritas tersebut.
Meski lolos di tingkat Senat, impeachment Donald Trump yang kedua-kalinya itu memberikan pelajaran bagaimana bermacam peran dari sebuah otoritas. Peran yang bisa saja kemudian memprovokasi sebuah ‘kegilaan’ -madness. Diam-diam, ternyata Hitler-pun belum sepenuhnya menjadi masa lalu. Di banyak tempat. *** (16-02-2021)
[1] Amartya Sen, The Idea of Justice, hlm. 374-375