02-02-2021
“All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts,” demikian Carl Schmitt dalam Political Theology. Dari pendapat Schmitt ini kita bisa mengembangkan imajinasi bahwa memang bermacam konsep teologi akan terus membayangi praktek dari negara modern. Atau bisa dikatakan, jika praktek negara modern itu gagal maka bisa-bisa bermacam konsep atau ‘skema’ teologi itu akan segera saja menawarkan alternatifnya. Kalau ‘sesama manusia’-nya gagal melakukan check-balances dalam membangun hidup bersama, maka dasar dari konsep modern negara itu-pun bisa-bisa akan ‘diambil-alih’ lagi oleh Yang Maha Kuasa. Dimana Yang Maha Kuasa dalam perkembangannya kemudian itu bisa berarti Tuhan, atau yang menghayatinya sebagai ‘titisan’-Nya –sang raja, sang kaisar, atau yang didekat-dekatkan sebagai utusanNya, atau bahkan sang diktator yang merasa diri sebagai Yang Maha Kuasa itu. Atau bahkan sebuah partai politik tunggal nan omnipotent. Bagi Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, apa yang disebut sebagai tahap mitis, ontologis, dan fungsional itu bisa semuanya ada dalam satu gerak diri atau komunitas. Maka tinggal bagaimana bagian-bagian mana yang akan ‘dieksploitasi’.
Maka ‘yang sekuler’ dalam judul adalah sebuah spektrum, sebuah kecenderungan. Apakah seperti China misalnya, yang kemudian ada di ujung paling sekuler? Dalam ilmu otak-atik-gathuk, bandingkan dengan detail bangunan pemerintahan di sono, di RRC, dengan bangunan hirarki di Gereja Katolik. Bagi saya –penulis, yang Katolik ini, memang lebih bisa menghayati bahwa itu bisa saja dikatakan mirip-mirip-lah. Atau lihat Korea Utara yang presidennya, pemimpinnya, diibaratkan oleh salah satu wanita dari kalangan atas Korut sebagai Yesus-nya Korut –demikian dalam salah tayangan film dokumenter TV DW. Apakah itu berarti Carl Schmitt benar? Tetap tidak mudah menjawabnya.
Esensi ‘lapangan’ dari check and balances itu adalah soal hasrat –hasrat vs hasrat. Yang dalam praktek, alat utamanya adalah rasio. Rasio yang dipunyai oleh manusia dengan segala keterbatasannya, dan sekaligus potensinya yang seakan ‘tak terbatas’ itu. Maka check and balances itu bisa dikatakan adalah juga soal ‘batas’. Dengan ‘batas’ itulah maka rasio akan lebih mendapat tempatnya. Ceteris paribus adalah salah satu contoh bagaimana ‘batas’ akan lebih memungkinkan rasio dikembangkan untuk satu hal tertentu. Politik riil-pun adalah juga soal ‘batas’, ia berurusan dengan yang masih mungkin dicapai. Impeachment Donald Trump adalah juga soal ‘batas’, yang menurut logika check and balances mereka, ada yang menilai Trump sudah melewati batas. Coba kita bayangkan jika check and balances itu tidak berjalan dengan semestinya, bisa-bisa oleh pengikut-pengikutnya Trump akan dibaptis sebagai sang ‘juru-selamat’. Santo Trump!
Jika soal check and balances itu lekat dengan hasrat maka dengan bantuan Alegori Kereta Perang-nya Platon mungkin kita bisa membayangkan, itu dominannya adalah soal hasrat akan kebanggaan dan hasrat akan nafsu-nafsu, terutama nafsu akan uang. Katakanlah, si kuda putih dan kuda hitam dalam alegori itu. Atau kebanggaan yang banyak terefleksi pada kekuasaan, dan juga soal keserakahan akan uang itu dulunya dikendalikan dalam skema Yang Maha Kuasa. Orang kaya itu jika mau masuk surga laksana masuk lubang jarum, demikian kira-kira salah satu ayat. Tertib tatanan dihayati dalam skema dinamika itu. Maka penghayatan akan konsep negara modern, check and balances ‘antar-manusia’ itu semestinyalah juga lekat dalam soal check and balances ‘kuasa’ dan soal ‘uang’. Tidak hanya soal bagaimana hadirnya bermacam lembaga untuk saling melakukan perimbangan kekuasaan, tetapi juga bagaimana hidup bersama memberikan ‘perimbangan’ pula bagi warganya dalam menghidupi diri. Tali-temali antar hal inilah sebenarnya yang merupakan ‘isi’ dari check and balances itu. Will to power yang meninggalkan jauh will to survive kebanyakan warganya, power itupun akan berdiri dengan rapuhnya. Dan seperti ditunjukkan oleh Laski, fasisme bisa menjadi alternatif dalam memperkuat power yang rapuh itu. Sang führer yang kemudian mengangkat dirinya seakan sebagai Tuhan. Dan dengan rute-skema tertentu, dengan ‘algoritma’ tertentu, banyak pemujanya yang jatuh pada kemabukan –madness.
Jika check and balances ‘antar-manusia’ itu sangat lekat dengan rasio, maka musuh utama dari konsep negara modern sebenarnya adalah ‘ketidak-berpikiran’. Abad 20 memberikan banyak pelajaran berharga soal ini. Bahkan yang baru-baru ini terjadi di AS yang berujung pada proses impeachment Donald Trump juga memberikan pelajaran sangat berharga. Pelajaran salah satunya bagaimana ketidak-berpikiran itu bisa melanda siapa saja. Lihat, bahkan si-senior-cerdik-pandai pengacara Trump itu di atas panggung berseru, trial by combat! Meski kemudian diklarifikasi bahwa itu hanya mengutip film seri Game Of Thrones, tetap saja itu menghentak banyak pihak. Sebuah ‘ketidak-berpikiran’ yang kemudian menjadi ‘banal’ seperti ditunjukkan oleh Stanley Milgram dalam eksperimen sekitar 60 tahun lalu. Dan itu sekali lagi, bisa melanda siapa saja.
‘Ketidak-berpikiran’ sebenarnya merupakan modus biasa-biasa saja. Modus taken for granted misalnya, sangat memudahkan kita menjalani hidup ini. Tetapi di setiap ranah, mestinya ada ‘pertarungan’ sendiri dan melahirkan orang-orang dengan ‘capital’ lebih tinggi. Ranah kesehatan misalnya, ‘capital’ lebih tinggi akan lebih dekat pada tenaga medis. Dan dalam bertindak terkait dengan masalah kesehatan misalnya, tenaga medis jelas tidak akan mengambil modus taken for granted, bahkan yang sudah menjalani profesi itu berpuluh tahun. Tetapi dalam ranah politik mungkin saja ia akan banyak mengambil modus taken for granted, isu apa yang sedang berkembang bisa-bisa sebagian besar akan ditelannya mentah-mentah. ‘Sense of urgency’-nya memang beda. Maka adalah penting bagi yang peduli besar di ranah politik untuk juga memakai kemampuan rasionya secara optimal, sama dan tidak jauh beda dengan ranah-ranah lainnya. Apalagi ini terkait dengan power yang dipunyai di tingkat negara dimana ia sampai sekarang masih diyakini sebagai pemegang monopoli penggunaan kekerasan. Pemain utama dalam check and balances selain lembaga-lembaga negara yang sudah disepakati bersama, adalah partai politik.
Maka jika dirasa-rasa ada ‘pembinaan’ berlebihan pada partai-partai politik itu, ujung akhir yang perlu diperhatikan adalah soal check and balances. Tentu soal ambisi seseorang perlu diperhatikan, tetapi gambar besarnya adalah pengkerdilan check and balances ini, dan cerita selanjutnya dapat diduga, adalah kembali ke skema konsep teologi dengan Tuhannya bisa sang kaisar, raja, atau siapa mau disebut. Jika itu terjadi, maka check and balances kemudian akan lebih ada di pundak masyarakat sipil, baik dengan pers bebasnya, dengan media-media sosialnya, atau komunitas-komunitas suka-relanya, masyarakat akademiknya, dan banyak lagi. Kalau yang terakhir-terakhir ini juga di-obok-obok? *** (02-02-2021)