13-01-2021
Di awal-awal reformasi, voter education –pendidikan pemilih, menjadi hal semakin sering di dengar. Tidak sedikit dana dari bermacam penjuru siap digelontorkan. Tidak hanya dana, bermacam penyelenggara dengan kredibilitasnya masing-masingpun semakin banyak tampil di depan. Reformasi kemudian tidak digambarkan dalam angan saja, tetapi bagaimana soal menyiapkan juga pendukung utamanya, rakyat kebanyakan. Para penggiat pendidikan pemilih saat itu tentu tidak pernah membayangkan duapuluh tahun kemudian akan menjumpai ‘pesaing’-nya, ’pendidikan pelapor’. ‘Ratih’ dalam ‘kemasan baru’, rakyat dilatih untuk mempunyai ketrampilan melaporkan rakyat lainnya yang menurutnya punya potensi ber-ekstremis ria. Semacam ‘pam swakarsa’ bukan dengan pentungan, tetapi dengan mata-telinga dan alat-tulis untuk membuat laporan, ‘tèl-swakarsa’ –ngintèl-swakarsa.
Jika ada yang membedakan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil, reformasi pada dasarnya adalah memperkuat masyarakat sipil. Dan kita bisa menjumpai bagaimana bermacam terbitan, tulisan tentang masyarakat sipil ini banyak muncul di tahun-tahun awal reformasi. Tidaklah mengherankan ketika ‘situasi negatif’ yang dialami masyarakat sipil selama puluhan tahun memerlukan upaya lebih bahkan untuk mengenal diri lagi. Tantangan yang tidak kecil mengingat jika kita memakai istilah power distance, kita sering dimaksukkan dalam komunitas dengan power distance tinggi. Artinya, kekuasaan atau otoritas di atasnya lebih sering dihayati sebagai ‘yang baik’ dari pada keinginan untuk terus mengusik dengan bermacam pertanyaan.
‘Glorifikasi’ polah-tingkah para relawan yang ‘minta jatah’ kedudukan entah itu di kementrian atau BUMN sedikit banyak bisa dilihat sebagai upaya negara dalam ‘menyedot’ energi yang berkembang dalam masyarakat sipil. Energi yang dalam masyarakat sipil lebih berkembang karena adanya kepercayaan. Atau kalau boleh kita katakan, itu bisa saja dihayati sebagai satu langkah ‘pembunuhan karakter’ dari masyarakat sipil itu sendiri. Karena selain soal kepercayaan, kesuka-relaan adalah juga salah satu hal fundamental dalam masyarakat sipil. Segala bentuk yang mengatasnamakan relawan dalam pemilihan sebaiknya memang membubarkan diri segera setelah pemilihan selesai. Dan kembali lagi sebagai ‘penyeimbang’ dari kekuatan negara. Coba kita bandingkan dengan ‘kegemaran’ memakai seragam mirip-mirip serdadu di bermacam ormas-ormas mirip kelompok-kelompok para-militer di jaman old.
Semestinya rejim terlahir akan mempunyai potensi besar untuk cocok dengan khalayak yang melahirkan. Tetapi masalahnya seperti ditunjukkan oleh Machiavelli, merebut kekuasaan itu bisa berbeda dengan saat menggunakan kekuasaan. Belum lagi jika dilihat bagaimana relasi-relasi produksi bisa begitu kuat memberikan pengaruh pada ‘bangunan atas’-nya dimana politik adalah salah satunya. Maka bisa-bisa kemudian yang terjadi adalah khalayak diotak-atik sehingga semakin kompatibel dengan ‘gaya rejim’ yang sedang berkuasa. Paling tidak khalayak, atau dalam hal ini masyarakat sipil tidak ngrecoki jalannya kekuasaan. Sebuah ‘pertaruhan’ besar karena semakin tipislah batas penggunaan kekerasan dalam menekan dinamika masyarakat sipil. Siapa tidak tergoda ketika di tangan ada monopoli sumber daya, dalam hal ini penggunaan kekerasan? Untuk menekan dinamika masyarakat sipil? Sejarah fasisme Nazi di bagian awal abad lalu memberikan contoh telanjang hal-hal di atas.
Nietszche memberikan gambaran bahwa will to power itu bisa meminggirkan will to survive. Banyaklah contoh soal ini, bahkan di sekitar kita sehari-hari. Masalahnya adalah tidak semua akan duduk-beredar masuk di kalangan ‘puncak kekuasaan’. Jika will to survive ini kemudian tidak terpenuhi bagi sebagian besar yang berada di luar lingkaran ‘puncak’ kekuasaan, maka masalah besar hidup bersamapun akan membayang. Bahkan jika terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai prasyarat utama dalam survive-pun terpenuhi, masalah juga akan muncul seiring dengan membesarnya kebutuhan ‘di atas’ basic needs itu. Maka mudah ditebak, jika ‘sirkulasi power’ di dalam komunitas itu seakan kemungkinannya nol, gejolak will to power ini akan diarahkan keluar komunitas. Untuk mengurangi tekanan akibat penggunaan kekerasan dalam mengendalikan sebagian besar khalayak yang berada di luar lingkaran puncak kekuasaan itu.
Bagi banyak kalangan aktivis jaman old, di bagian akhir abad 20 pastilah mengenal soal sustainable development. Istilah yang mulai ditimang kelahirannya di sekitar tahun 1970-an. Segala pembangunan semestinya mempertimbangkan dengan serius dampak-dampaknya –terutama terkait dengan lingkungan, sehingga generasi mendatang tidak malah kerepotan. Hari-hari ini kita semakin sering mendengar, melihat istilah green investment, juga tentunya soal climate emergency. Lalu apa makna 50 tahun berjalan katakanlah mulai sejak sekitar tahun 1970-an itu sampai-sampai sekarang kita terhenyak harus bicara soal climate emergency? Tentu suara-suara bahwa soal sustainable development itu tidak jauh dari ‘bungkus baru kapitalisme’ perlulah kita dengan dengan seksama juga. Tetapi kita juga bisa belajar bagaimana para aktifis lingkungan itu tanpa henti menyuarakan pandangan-pandangannya. Bahkan meningkatkan lobi-lobinya pada pengambil keputusan dalam berbagai tingkatannya. Ini menunjukkan bahwa di antara state dan market itu, masyarakat sipil tidak boleh berhenti dalam dinamikanya. Maka pertanyaannya, apa sih maunya state itu jika masyarakat sipil kok terus-menerus diusik-diobok-obok dengan cara-cara tidak mutu itu? *** (19-01-2021)