www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-01-2021

Negeri ini sudah sampai pada titik dimana informasi dokter meninggal akibat corona dianggap biasa saja,[1] demikian ditulis akun podoradong di pertengahan Juni 2020, 7 bulan lalu. Dan beberapa bulan terakhir, guru-guru saya, rekan sejawat senior, seangkatan, dan bahkan adik kelas bergantian terberitakan meninggal karena COVID-19. Saya sendiri sudah cukup lama tidak praktek dokter, tetapi saya tahu persis seperti halnya profesi lainnya, semakin lama seseorang menggeluti profesinya dengan kesungguhan maka ketrampilan-pun akan semakin terasah. Baik itu dokter umum, spesialis, atau terlebih sub-spesialis. Kehilangan seorang ahli dengan ketrampilan terasah selama puluhan tahun tentu adalah kehilangan besar dalam ranah profesi tersebut. Dengan terwakili cuitan podoradong di atas, serta semakin merebaknya kasus COVID-19, tentu kita juga bertanya-tanya, mengapa menteri kesehatan yang baru itu tidak seorang ahli dalam epidemiologi, misalnya. Atau paling tidak lama di bidang kesehatan? Apa sih sebenarnya pertimbangan si-pemegang hak prerogatif itu?

Sudah begitu khalayak justru kemudian yang disalah-salahkan. Bahkan ditempatkan seakan sebagai entitas yang tidak mau bersyukur terhadap situasi. Mengapa kita kemudian seakan berkubang di lumpur ‘kemediokeran’ bermacam kebijakan/perilaku ini? Nampaknya ini adalah salah satu dampak serius dari bahayanya ‘bahaya laten’. Contoh kongkret, merasa sudah ‘sungguh ideologis’ jika sudah berani menghadapi ‘bahaya laten’ -tentu versi dialah. Merasa bahwa dengan adanya ‘bahaya laten’ maka khalayak akan tersihir, terpaku, terhenyak, cemas, takut, was-was, ketar-ketir, dan dengan itu pula tingkah laku-kebijakan lainnya akan tidak ‘terawasi’ oleh khalayak. Sense of urgency ikut-ikutan meredup karena keyakinan akan ampuhnya diktum ‘bahaya laten’ itu.

Laten adalah serapan dari bahasa asing, artinya tersembunyi. Dalam hidup sehari-hari sebagian besar waktu kita tidaklah secara langsung untuk mengurusi hal-hal yang tersembunyi. Capek hidup kita jika sebagian besar waktu dihabiskan untuk mengurusi hal yang tersembunyi itu. Maka memang semestinya, mulailah dengan hal-hal yang nampak saja. Dengan hal-hal ‘biasa’ saja. Dari apa-apa yang nampak tidak semua pula kemudian kita cari apa yang sejatinya tersembunyi di belakang penampakan itu. Dari Marx kita bisa belajar bahwa penampakan dalam relasi-relasi produksi perlulah mendapat perhatian lebih. Relasi-relasi produksi di bidang pertanian misalnya, mengapa yang nampak adalah impar-impor tiada habisnya? Relasi-relasi produksi macam apa sehingga kita menjumpai penampakan bantuan sosial semestinya seharga Rp 300.000 itu ternyata hanya seharga kurang dari Rp 200.000? Back to the things themselves, kembali kepada sesuatu yang nampak itu, hanya saja kembali melihat ‘sebagai pemula’. ‘Pemula’ karena bermacam konsep yang ada di sekitar atau sudah ngendon di otak, kita ‘tunda’ dulu. Dan kemudian kita lihat dari bermacam aspeknya, bermacam sisinya, kalau perlu kita komunikasikan imajinasi-imajinasi kita dengan yang lain. Dari situ siapa tahu kita bisa menguak apa-apa yang sebelumnya tersembunyi. Bisa lebih mendekati apa esensi dari permasalahan. Yang ingin disampaikan di sini adalah, apa yang disebut sebagai ‘bahaya laten’ itu sebenarnya adalah penghayatan yang tidak mungkinlah melalui jalan shortcut, jalan pintas.

Masihkah ada bahaya yang bersifat laten dari COVID-19 ketika bermacam dimensi dari virus semakin terkuak? Dari pengalaman selama ini dan juga komunitas lain kita sedikit banyak bisa meraba bukan soal virusnya lagi, tetapi adalah soal respon manusia-manusianya sebagai host-nya virus. Atau jika kita mengikuti Arnold J. Toynbee, COVID-19 ini adalah sebuah tantangan, dan bagaimana hidup bersama bisa dimajukan adalah sangat tergantung respon komunitas itu dalam menghadapi tantangan. Tantangan yang karakteristiknya sudah, katakanlah 90% dikenali. Respon komunitas akan sangat ditentukan oleh minoritas kreatifnya, dan itu pertama-tama adalah si-pembuat kebijakan. Maka bisa dikatakan di sini, jika toh kita memakai istilah ‘bahaya laten’ dalam konteks pandemi ini, ia sebenarnya ada ‘tersembunyi’ di dalam si-pembuat kebijakan itu. Kebijakan-kebijakan serta perilaku yang tepat akan membawa komunitas berhasil dalam menghadapi pandemi ini. Demikian pula sebaliknya. Mengapa tidak khalayak? Menurut Toynbee, sebagian besar khalayak hanyalah akan meniru saja apa-apa yang menjadi respon dari minoritas-kreatifnya. Maka menyalahkan khalayak tanpa bercermin diri adalah hal yang jahat sekali.

Tenaga medis, paramedis, laboratorium, epidemiolog, para peneliti, dan banyak lagi mestinya menjadi bagian penting dalam kebijakan menghadapi pandemi ini. Tetapi cuitan podoradong 7 bulan lalu di awal tulisan, dan semakin banyak tenaga medis yang meninggal karena COVID-19 ini, kita-pun berhak bertanya pula, apa yang sebenarnya ada benak si-pembuat kebijakan itu? Terlalu asik dengan sihir ‘bahaya laten’ radikal-radikul itu, lupa bahwa pada dirinyalah juga ada potensi latennya bahaya bagi hidup bersama. Benar kata Toynbee, ketika minoritas kreatif kemudian berubah menjadi minoritas dominan, disitulah keretakan hidup bersama semakin menganga. Bukan peradaban dimajukan, tetapi malah mundur. *** (13-01-2021)

 

[1] https://twitter.com/podoradong/

status/1274321972151726081

Guru-guru Saya Banyak Yang Meninggal