06-01-2021
Banyak upaya untuk menunjukkan bagaimana kualitas hidup bersama sebagai satu bangsa. Entah itu pertumbuhan ekonominya. Mungkin juga dari perilaku di jalan raya-nya. Atau bagaimana hidup bersama menghadapi krisis di depan mata. Dan masih bermacam ‘index-index’-an lagi. Mangunwijaya dalam salah satu tulisannya pernah menandaskan bahwa kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari bagaimana ia mengelola kekuasaan. Tentu ‘indikator’ lainnya sangat layak untuk dicermati, tetapi pada kesempatan ini akan dilihat pendapat Mangunwijaya itu. Sebab bagaimanapun juga, will to power itu bahkan bisa meminggirkan will to survive, demikian paling tidak menurut Nietzsche. Yang bahkan dalam perilaku di jalanan-pun kita bisa melihat bayang-bayang itu bisa muncul disana-sini. Tidak hanya di lapangan balap, misalnya.
Per 1 Januari Inggris resmi keluar dari Uni Eropa. Apapun alasan keluar dari Uni Eropa biar orang Inggris sendiri yang jawab, tetapi dari pemberitaan ada yang menarik, yaitu maraton-nya negosiasi pasca Brexit. Hampir satu tahun tarik-ulur soal bagaimana konsekuensi dari Brexit itu dibicarakan dengan intensifnya. Bahkan sampai ada istilah hard Brexit dan soft Brexit yang menggambarkan kemungkinan negosiasi menemui jalan buntu. Pada akhirnya memang lebih condong pada soft Brexit dengan disepakatinya banyak hal. Apapun itu sedikit banyak kita bisa melihat, mengelola kekuasaan dengan tidak menjadikan kekuatan otot di depan itu memang butuh waktu. Tentu ‘kekuatan otot’ dalam bentuk ‘soft power’-pun akan selalu juga membayang, misal dalam bentuk (ancaman) boikot atau perang tarif misalnya. Mungkin pengalaman dua Perang Dunia memberikan pelajaran tersendiri bagaimana menahan diri itu.
Sekitar 50 tahun lalu Koentjaraningrat menulis soal ‘mentalitas suka menerabas’ dan ‘suka meremehkan mutu’, dikaitkan dengan beberapa sikap mental yang kurang sesuai dengan pembangunan. Kita memang bisa melihat bahwa soal ‘struktural’ itu lebih penting dari pada soal ‘kultural’ dalam banyak hal. Jika benar hal itu, maka pertanyaannya adalah ‘struktur-struktur’ seperti apa sehingga katakanlah ‘mentalitas suka menerabas’ dan ‘suka meremehkan mutu’ itu serasa begitu ‘awet’-nya? Tentu disana-sini telah banyak perubahan, tetapi dalam konteks tulisan ini, mengapa dalam hal ‘tata-kelola-kekuasaan’ itu paling tidak dua hal di atas masih terasa benar denyutnya? Belum lagi kita bicara soal ‘kurangnya tanggung jawab yang kokoh’ yang juga disinggung Koentjaraningrat 50 tahun lalu. Jika memakai ‘indikator’ kualitas bangsa seperti disebut Mangunwijaya di atas, bukankah kemudian menjadi memprihatinkan jika melihat bagaimana kekuasaan dikelola?
Dari ketiga hal yang disinggung Koentjaraningrat di atas maka akan lebih bisa terhayati jika kita memakai horison komitmen. Seorang dengan komitmen kuat ia akan akan mempunyai tanggung jawab yang kokoh, karenanya ia akan tidak suka untuk meremehkan mutu. Dengan mutu yang ingin selalu dijaganya, ia pasti tidak akan suka juga dengan perilaku suka menerabas. Tidak jauh beda dengan bagi orang yang sungguh bertanggung jawab penuh akan kepentingan dirinya. Ia akan selalu mengejar mutu terbaik dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Dan ia tahu bahwa itu membutuhkan jalan dan waktu tidak sedikit. Bedanya adalah, dalam komitmen kepentingan diri bisa ditunda dulu. Dalam ‘tata kelola kuasa’ komitmen akan memegang peran penting. Penting karena kemudian ia bisa menjadi semacam ‘hati nurani’-nya hidup bersama.
‘Vox populi vox dei’ sedikit banyak menggambarkan pendapat Carl Schmitt bahwa konsep negara modern itu adalah ‘sekularisasi’ dari konsep-konsep teologi tidak jauh meleset. Hati nurani dalam diri manusia bisa dikatakan sebagai sebuah ‘jembatan’ antara manusia dan hadirnya ‘supervisi’ Tuhan atas manusia. Dalam politik, sejarah menunjukkan bahwa ‘hati nurani’ hidup bersama tidak hanya membutuhkan keyakinan adanya vox populi, tetapi bagaimana vox populi ini kemudian dioperasionalkan, baik yang sedang pegang kuasa maupun dan terutama malah, yang sedang di luar kekuasaan, oposisi. Itulah kemudian dibicarakan soal komitmen yang dari pengertiannya saja erat dengan soal janji, promises. Tak jauh dengan soal hati nurani yang sebenarnya erat dengan janji-janji selalu berbuat baik.
Karena kita manusia, komitmen selalu akan ada dalam pusaran hasrat. Untuk itu seperti disinggung di atas, ia membutuhkan oposisi dalam bermacam bentuknya, terutama yang di luar kekuasaan. Mengapa bermacam? Karena ketika ada di kekuasaan ia dengan serta-merta dekat dengan ‘kekuatan kekerasan’ yang selama ini diyakini bahwa bagi negara ia mempunyai ‘hak monopoli’ atas penggunaannya. Godaannya memang terlalu besar, maka seakan berjudi habis-habisan saja ketika hanya mengandalkan adanya ‘orang baik’. Oposisi dalam bermacam bentuknya, mulai dari partai politik oposisi, pers, masyarakat sipil termasuk juga di sini yang muncul dalam media-media komunikasinya. Maka jika mengikuti pendapat Mangunwijaya di atas, kualitas suatu bangsa bisa juga dilihat dari bagaimana partai oposisinya, bagaimana pers-nya, dan juga masyarakat sipilnya. Bagaimana kebebasan dalam komunikasi melalui bermacam media komunikasi yang ada itu dijamin kebebasannya. Atau katakanlah, hidup bersama bisa mempunyai potensi besar merosotnya kualitas ketika partai oposisi dikebiri, pers-nya dikooptasi, masyarakat sipil, katakanlah dihambat dalam berserikat-berkegiatan misalnya, dan ketika media komunikasi rutin dipatroli. Karena ‘the king can do no wrong’, demikian kira-kira asumsi dasarnya. Tentu adanya istilah benevolent dictatorship bukanlah di ruang kosong, tetapi adakah yang masih mau bertaruh terhadap ini di abad 21? Di tengah-tengah 8 milyar populasi dunia dengan sumber daya semakin terbatas?
Machiavelli dalam Sang Penguasa menunjukkan bahwa merebut kekuasaan itu bisa berbeda dengan menggunakan kekuasaan. Ketika merebut kekuasaan menggunakan jalan vox populi, tetapi ketika memegang dan menjalankan kekuasaan seakan ia telah menjadi si-dei-nya. Serasa menjadi maha-raja bahkan didekat-dekatkan sebagai titisan dari Yang Maha Kuasa. Dan bukannya itu tidak mungkin, sejarah di sana-sini banyak mencatatnya. Maka mengelola kekuasaan itu juga berarti bagaimana ‘perebutan’ kekuasaan dikelola, sekaligus juga bagaimana penggunaan kekuasaan dikelola. ‘Blusukan’ pada masa ‘emas’-nya adalah ketika betul-betul mblusuk dalam got itu merupakan ‘bagian utama’ dalam jalan merebut kekuasaan. Tetapi ada masanya juga blusukan kemudian banyak yang menghayatinya sebagai kekonyolan, atau ‘pura-pura-yang-kebablasan’. Karena ternyata dalam praktek selanjutnya makin jauh dari soal komitmen. Ketika itu diulang dan diulang dengan semakin samarnya soal komitmen, maka dalam banyak hal, taste perebutan kekuasaan rasa-rasanya semakin tidak berkualitas saja. Bukan soal komitmen yang diuji, tetapi pethakilan yang sudah tidak karu-karuan itu. Lama-lama sudah tidak lucu lagi-lah. Apa sih sebenarnya maunya itu? Mediokerisasi total hidup berbangsa? Benar kata Nietzsche, will to power itu bisa-bisa mengalahkan will to survive. Bahkan survive-nya hidup bersama sebagai satu bangsa. Bahkan pula saat membuka jalan masuk dalam ranah perebutan kekuasaan-pun bayang-bayang survive-nya hidup bersamapun sudah meredup. Rusak-rusakan. Terabas sana terabas sini, soal mutu nomer sekian. Belum lagi kita bicara soal penggunaan kekuasaannya.
Apakah memang mengelola kekuasaan itu tidak ada hubungannya dengan nation building? Apakah kemudian semata menjadi persoalan ‘teknis’ saja dan melupakan apa yang menjadi dasar itu semua ada? Betul-betul telah menjadi ‘budak’-nya segala hasrat dengan segala animalitas yang terus membayang dengan telanjang itu? Maka, republik macam apa yang kita miliki ini? Republik-nya para pemburu rente itu yang nir-komitmen itu? Apakah bermacam sejarah kelam di masa lalu sama sekali tidak memberikan pelajaran? Untuk itu, apa yang diungkap oleh Mangunwijaya di atas itu perlulah selalu kita ingat bersama, supaya kualitas hidup bersama ini semakin dapat dimajukan. Atau jangan-jangan pada akhirnya Joko Pekik ‘terpaksa’ akan melukis lagi sequel dari ‘Berburu Celeng’ itu? *** (06-01-2021)