04-01-2021
Alternative facts lebih bicara soal pemutar-balikan fakta. Sama-sama tidak atau belum ada dalam realitas mestinya bisa kita bedakan saat bicara soal ‘fakta potensial’. Politikus mestinya akan banyak bicara soal fakta potensial, bukan pemutar-balikan fakta. Meski begitu tidaklah mungkin kita mencegah adanya bermacam politikus memainken alternative facts itu. Fakta diputar-jungkir-balikkan bagaimanapun adalah juga salah satu ‘garam’-nya politik. Yang jadi masalah adalah ‘takaran’-nya dan ketika upaya cek-ricek kemudian dibatasi. Karena apapun alternative facts yang dimainken, ia akan menemui batasnya dalam ranah cek-ricek itu. Dari keruntuhan rejim Donald Trump kita bisa belajar banyak bagaimana kebebasan cek-ricek itu mampu sebagai penyeimbang ugal-ugalannya alternative facts. Dalam ‘rejim orwellian’, alternative facts hanya bisa dimainken dan berguna-hasil jangka panjang ketika ‘prasyarat-prasyarat’ lainnya juga dimainken. Jika tidak maka hanya kekonyolan atau bahkan lucu-lucuan yang makin lama makin tidak lucu saja pada akhirnya. Karena kesadaran bahwa ternyata yang dipertaruhkan begitu besarnya bisa tiba-tiba saja sudah di depan mata. Proses-proses molekuler kemuakan akibat selalu ditebarnya alternative facts itu sudah sampai pada batasnya.
Maka jika mau menegakkan ‘rejim orwellian’ ini, memang harus ‘total’. Totaliter. Lihat misalnya apa yang ditulis Orwell dalam 1984 itu: “How does one man assert his power over another, Winston?” Winston thought. “By making him suffer,” he said. “Exactly. By making him suffer. Obedience is not enough.” Tidak perlulah semua ‘digarap’, cukup satu-dua-tiga ‘prototipe’ bagaimana kemudian di-blesek-blesek-an, katakanlah sampai terkencing-kencing. Total. Intinya, bagaimana nasib yang mau aèng-aèng terhadap otoritas itu dinampakkan ‘akibat-sangat-buruk’-nya. Paraguay jaman Alfredo Stroessner (1954-1989) adalah juga sejarah kelam kediktatoran. Oposan yang tidak disukainya tidak hanya digarap pada dirinya, tetapi juga keluarganya. Bahkan dokter yang merawat jika sakit. ‘Total’ dalam menghajar. ‘Rejim orwellian’ ini karena menganggap ‘reality exists in the human mind and nowhere else’ maka ia sangat peka dengan dinamika ‘inter-subyektifitas’, atau katakanlah cek-ricek itu. Maka patroli opini-pun akan selalu dilakukan. Kalau mau ‘setia-total’ terhadap gambaran Orwell, tidak hanya opini saja, tetapi juga patroli oleh polisi di ‘dunia bawah’-pun akan sangat intensif-nya. Sekali lagi, total.
Mengapa alternative facts ini bisa kemudian bisa dihayati oleh banyak khalayak sama dengan halnya ketika didendangkan bermacam fakta potensial? Bahkan bisa sama-sama dihayatinya bersamaan dengan realitas yang sesungguhnya berkembang. Doublethink, demikian deskripsi Orwell. Bagi pemegang otoritas ‘rejim orwellian’ ini, ketidak-tahuan, keluguan, bisa-bisa menjadi salah satu sumber kekuatan. Tetapi itu baru sebagian kecil saja mengapa alternative facts itu bisa kemudian dihayati dengan mantapnya. Apa yang diungkap oleh profesornya intelijen soal ‘mabuk agama’ itu barulah sebagian saja, masih ada soal ‘mabuk kebanggaan’ –apapun itu soal ‘bangga’-nya, dan mabuk kekayaan. Katakanlah kita bicara soal mabuk di ranah God, glory, dan gold. Kalau kita mengenal ungkapan fides et ratio, mestinya ketika bicara glory dan gold-pun ratio sebaiknya mendampinginya. Biar ketika kita melihat, mendengar, antisipasi kita tidak lebih didasarkan bermacam ‘horison’ yang siapa tahu, sedang ‘mabuk’ itu.
Entah kita setuju atau tidak, klaim ‘ilmiah’ dari Marx tentang seluk-beluk gold dalam dinamika kapitalisme banyak memberikan indikasi bagaimana peran ratio itu dalam menjinakkan mabuknya ranah gold. Demikian juga ketika masalah glory yang dipompa hanya berhenti pada romantika saja. Kita bisa melihat tidak hanya sebuah kekonyolan di sana-sini, tetapi bahkan bisa gelapnya sejarah. Banality of evil-nya Hannah Arendt itu tidak bisa dijelaskan tanpa adanya ke-tidak-berpikiran yang mewabah. Maka bagi penikmat ‘rejim orwellian’ ini –atau katakanlah yang ada dalam ‘inner party’-nya, akan sangat demen dengan elit yang dengan ringannya mau menunjukkan tipisnya ke-berpikiran itu. Dengan iming-iming power misalnya, orang semacam itu akan dengan ringannya mengorbankan survive-nya kecerdasan. Atau dengan ancaman akan di-blesek-blesek-an sampai terkencing-kencing. *** (04-01-2021)