31-12-2020
Meski sudah diberitahu bahwa di pohon besar itu tidak ada hantunya, kadang masih saja rasa was-was dengan bulu kuduk berdiri ketika melewati pohon itu sendirian di tengah malam. Salah satu ketidak-nyamanan manusia adalah ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak pasti. Bagi rakyat Jepang, bermacam potensi gempa jelas membuat hidup tidak nyaman. Tetapi di satu sisi, hidup adalah juga untuk mencari kenyamanan, maka apa harus diperbuat? Jaman dulu mungkin bunga akan ditebar di tempat-tempat keramat. Atau bahkan sampai sekarang bermacam ritual masih digelar untuk menjinakkan gejolak alam. Hal yang tidak masalah tentunya jika itu kemudian tidak membuat kemampuan mengembangkan deteksi dini akan gempa menjadi surut. Atau dalam mengembangkan bangunan tahan gempa. Atau studi-studi mendalam soal kegempaan. Juga termasuk latihan berkelanjutan ketika gempa dan tsunami datang, misalnya. Intinya jika terjadinya gempa dan tsunami itu adalah hal yang tidak tergantung pada kita, masih banyaklah hal yang tergantung dari kita dalam menghadapi gempa itu. Dan tentu itu tidak hanya berhenti dengan menebar bunga dan doa saja.
Bagi yang hidup di sekitar ring of fire, ancaman gempa seakan adalah sebuah ‘bahaya laten’. Tersembunyi, yang bisa kapan saja meletus dan gempa atau bahkan tsunami akan datang mengancam. Tetapi adanya bahaya laten itu bukannya kemudian menjadikan alasan untuk tidak bisa hidup makmur. Banyak komunitas hidup di tengah-tengah ancaman ‘bahaya laten’ ternyata tetap mampu membangun hidup bersama dengan memakmurkan sebagian besar warganya. Tetapi tentu akan berbeda jika apa yang dihadapi sebagai ‘bahaya laten’ itu kemudian didefinisikan sebagai sekelompok manusia. Menurut Abraham J. Heschel, teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang itu sendiri, tetapi teori tentang manusia bisa mengubah manusia.
Pada masanya Marx di sekitar tahun 1840-an itu dengan susah payah mengajak untuk melihat relasi-relasi produksi sebagai hal yang sangat menentukan. Bahkan Marx sampai ‘tega-teganya’ mengatakan bahwa ‘religion is the opium of the people’. Yang konteksnya adalah, itu adalah bagian dari ‘bangunan atas’, lihatlah dinamika di ‘bangunan bawah’-nya: relasi-relasi produksi itu! R sebagai religion itu dalam perjalanan sejarahnya ternyata kemudian bisa berarti macam-macam. Salah satunya adalah latenisasi. ‘Bahaya laten’ yang dibaptis dan kemudian berfungsi seakan-akan tidak kalah sebagai R itu, dan tujuan utamanya adalah menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi dalam dinamika ‘bangunan bawah’-nya. ‘Kesadaran palsu’ khalayak yang justru memberikan ‘kenikmatan’ luar biasa bagi ‘penikmat-penikmat’ utama dari relasi-relasi produksi tertentu yang kongkret sedang berlangsung. ‘Kesadaran palsu’ di banyak khalayak karena ‘di-mabukkan bahaya laten’ itu, meminjam istilah profesornya intelijen itu soal ‘mabuk-mabuk’-an.
Seperti disinggung di atas, ke-latenan bahaya alam dan manusia bisa berbeda ketika itu didalami. Tetapi apapun bedanya, respon pada dasarnya tidak jauh berbeda, yaitu lebih didasarkan pada apa yang tergantung pada kita. Tidak semata ‘terkurung’ dalam sangkar ketakutan tetapi juga mampu membangun fungsi-fungsi dan operasionalisasi dengan pertama-tama ‘menjaga jarak’ terhadap segala kelatenan bahaya itu. ‘Ketakutan’ jelas tidak untuk dihilangkan atau diingkari, tetapi dihayati sebagai hal untuk membangun ‘kewaspadaan’. Fungsi adalah terkait dengan pemahaman akan esensi dari apa-apa yang dihadapi. Dari situ pula gambaran respon akan mulai terbangun, dan tentu bagaimana itu akan dilaksanakan akhirnya. ‘Mabuk bahaya laten’ adalah ketika hanya berhenti pada ‘kesadaran magis’ saja, meminjam istilah van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Eksploitasi ‘kesadaran magis’-lah yang dominan. Demi langgengnya ‘relasi-relasi produksi’ yang disana-sini banyak ke-mbèlgèdès-annya itu, sebenarnya.
Maka jika mengambil Perang Modern yang diungkap Ryamizard Ryacudu, latenisasi dengan eksploitasinya di ‘kesadaran magis’ ini bisa kita hayati sebagai bagian dari ‘cuci otak’. Bahkan mungkin bagian akhir, yang langkah selanjutnya adalah: penguasaan. Kata Carl Schmitt, sovereign is he who decides on the exception. Itulah juga yang bisa kita sebut sebagai ‘fase stabilisasi rejim’. Yang bagi sebagian orang, ‘stabil’ itu berarti ketika yang pegang senjata menjadi merasa sah untuk bertindak tanpa batas lagi. Karena apa? Karena situasi exception itu! *** (31-12-2020)