30-12-2020
Repetitio mater studiorum, pengulangan adalah ibu dari segala pembelajaran, demikian semboyan bagi yang ingin bermain-main dengan indoktrinasi. Tentu studiorum di sini jauh lebih luas dibanding dengan indoktrinasi. Judul bukanlah dimaksud ‘mendiskreditkan’ medsos, karena setiap modus komunikasi pastilah mempunyai ‘sisi gelapnya’ sendiri-sendiri. Karena medsos bagaimanapun bisa sekedar sebagai alat saja yang sangat mungkin di tangan para eksploitator hasrat, ia akan mudah ikut masuk juga dalam kegelapan hasrat itu. Ketika oralitas masih dominan, kaum Sofis-pun lahir. Ketika mesin cetak dikembangkan bermacam pamflet propaganda-pun berjuta eksemplar dicetak. Terlebih ketika film dan televisi berkembang.
Kemenangan Donald Trump 4 tahun lalu menyisakan cerita soal skandal Cambridge Analytica. Skandal lebih pada bocornya puluhan juta data pribadi pengguna facebook di AS sana. Dengan data-data pribadi pengguna facebook itu Cambridge Analytica kemudian menjadi dimungkinkan untuk memborbardir, me-repetitio bermacam konten untuk mempengaruhi pemilih bagi kemenangan Trump saat itu. Katakanlah, tidak hanya door-to-door lagi, tetapi bahkan person-to-person, microtargeted online advertisements. Mengapa hal ini bisa begitu berhasilnya bahkan kemudian mendorong keterbelahan yang TSM (terstruktur, sistematis, masif) itu?
Pada awal abad 20, ketika Perang Dunia I berkecamuk di Eropa rakyat AS sangatlah apatis dan tidak mau terlibat perang. Woodrow Wilson presiden AS saat itu (1913-1921) dengan bermacam pertimbangan ingin terlibat perang. Maka ia perlu dukungan rakyatnya, terlebih pada awal-awal perang ia sudah mengatakan bahwa AS tetap netral. Dan itu dinyatakan juga saat kampanye untuk periode keduanya. Maka dibentuklah Committee on Public Information yang juga dikenal sebagai Creel Committee karena diketuai oleh George Creel. Dalam waktu 26 bulan akhirnya Komite Creel itu berhasil mengubah rakyat Amerika yang apatis terhadap perang menjadi ‘tergila-gila’ ingin terlibat dalam Perang Dunia I yang sedang berkecamuk di Eropa sana. 26 bulan dengan memaksimalkan bermacam modus komunikasi yang tersedia. Berapa bulan yang dibutuhkan Cambridge Analytica untuk ‘membelah’ rakyat AS saat pilpres 2016 lalu?
Salah satu kata kunci dalam teori ‘segitiga hasrat’-nya Rene Girard adalah ‘rivalitas’. Dalam pemikiran Girard tersebut, hasrat S (Subyek) terhadap obyek (O) tertentu akan lebih ‘terfasilitasi’ dengan hadirnya M (Model). Hasrat S akan suatu O tertentu lebih karena ia ‘meniru’ M yang juga menghasrati O itu. Tidak jauh dari logika iklan yang menggunakan selebritis itu. Rivalitas dalam hal ini adalah terjadi pada titik tertentu antara S dan M. M yang pada awal-awalnya adalah sebagai model bagi si-subyek tiba-tiba saja menjadi semacam rival-nya. Dari sinilah kemudian muncul soal kambing hitam. Si- kambing hitam yang ‘menyelamatan’ rivalitas antara S dan M sehingga tidak menjadi menghancurkan hidup bersamanya. Tetapi Girard juga memberikan catatan, rivalitas itu lebih akan terjadi jika model adalah ‘model internal’. Itulah mengapa selebritis dalam iklan tidak pernah menjadi rival bagi si-subyek, tetapi terus-menerus ditiru saja sampai bosan, misalnya. Atau ada selebritis lain yang lebih layak ditiru, bersama O yang ditawarkan tentunya. Karena ia dalam konteks ini adalah ‘model eksternal’, katakanlah jauh dari jangkauan si-subyek.
Di sisi lain adalah sewajarnyalah jika orang itu akan menghindari kesakitan dan atau mencari kenyamanan. Bocornya data-data pribadi ke Cambridge Analytica paling tidak bisa memberikan informasi soal gambaran kasar kesakitan apa yang dihindari dan atau kenyamanan yang dicari dari masing-masing pribadi. Maka bukannya tidak mungkin ada algoritma tertentu untuk mengirim pesan-pesan tertentu sesuai dengan kondisi psikologis masing-masing. Milipir-nya tepat sasaran sesuai dengan programnya, microtargeted online advertisements. Maka bisa dipastikan kalau Komite Creel masih memerlukan 26 bulan untuk mengubah rakyat AS menjadi tergila-gila untuk terlibat perang, satu abad kemudian cukup beberapa bulan saja untuk mengembangkan kegilaan yang tidak jauh beda. Ugal-ugalannya keterbelahan.
Satu abad lalu, salah satu 'pendukung utama' keberhasilan Komite Creel adalah kebenciannya terhadap orang-orang Jerman yang dieksploitasi sedemikian rupa sehingga bisa kita lihat, itulah kambing hitamnya. Dan di Perang Dunia II Goebbels-pun punya kambing hitamnya sendiri. Satu abad kemudian dalam ‘program’ microtargeted online advertisements semestinya adanya kambing hitam tidaklah mutlak harus ada. Modelnya lebih sebagai ‘model eksternal’. Tetapi seperti ditunjukkan oleh Manuel Castells, dalam masyarakat jaringan yang difasilitasi oleh dunia digital yang berkembang semakin cepat ini, identitas bisa-bisa menjadi sumber utama titik pijak dalam menghayati situasi. Sebuah tribalisme dalam bermacam bentuknya. Sebuah ‘kenyamanan’ digital untuk berada dalam ‘yang sejenisnya’. Masalahnya seperti ditulis oleh Amy Chua: “[But] the tribal instinct is not just and instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” Dan yang di-exclude itu bukankah bisa dibaca juga sebagai si-kambing hitam?
Ketika ada kalender untuk tahun 2021 muncul dengan gambar-gambar para koruptor, sontak saja mendapat tanggapan positif dari kalangan netizen. Apa yang bisa dipelajari dari peristiwa ini? Mungkinkah bermacam 'percobaan' tentang siapa yang ‘patut’ jadi kambing hitam itu sebenarnya sudah sampai pada level mengusik kenyamanan hidup bersama? Bukankah semestinya yang harus jadi kambing hitam itu adalah para perampok itu? Lihat bagaimana di banyak komunitas hidup bersama bisa menjadi lebih baik ketika kambing hitam yang harus ‘disembelih’ itu adalah para koruptornya! *** (30-12-2020)