24-12-2020
Dari beberapa penelitian, ternyata merawat ingat itu tidak semudah keinginan dicetuskan. Kadang-kadang dalam perjalanan ingatan ‘ditambahkan’ atau ‘dikurangi’ sehingga muncullah sebuah ‘ingatan palsu’. Tidak seratus persen salah memang, tetapi juga kemudian berkembang tidak seratus persen benar pula. Penelitian salah satunya dipicu oleh dunia kriminal dimana saksi kadang bersaksi berdasarkan ‘ingatan palsu’-nya. Terlebih ketika semakin lama dimakan perjalanan waktu. Atau dalam situasi tertentu. Puluhan kasus di bertahun kemudian ternyata terbukti salah vonis. Vonis yang lebih berdasarkan kesaksian dan sudah ‘tercemari’ oleh ‘ingatan palsu’. Revisi salah vonis itu harus dilakukan karena ditemukan bukti baru yang berlawanan dengan kesaksian, dan sebagian besar bukti baru itu berbasis DNA. Yaitu ketika teknologi pelacakan DNA semakin berkembang. Tentu kasus salah vonis karena adanya ‘ingatan palsu’ ini sangatlah kecil jumlahnya sebab bagaimanapun selain saksi masih ada banyak alat bukti lainnya.
Tidak mudah memang menjadikan teknologi sebagai ‘hakim’ dan sekaligus ‘mengalahkan’ kemampuan manusiawi. Lihat bagaimana teknologi VAR (Video Assistant Referee) dalam sepakbola. Ada penerimaan, tetapi sekaligus juga banyak penolakan. Bahkan seorang pelatih-pun bisa satu saat menerima, tetapi di lain kesempatan mengkritiknya, sesuai dengan kapan ia diuntungkan, kapan dirugikan. Penonton juga banyak yang terganggu, misal untuk bersorak-pun harus menunggu keputusan dari teknologi itu. Bahkan bisa-bisa batal bersorak. VAR banyak dikritik karena mengurangi ‘drama’ dalam sebuah tontonan. Jika VAR sudah ada sejak dulu, mungkin kita tak akan mengenang Maradona dengan drama ‘tangan Tuhan’-nya itu.
Tetapi pengadilan bukanlah soal drama seperti halnya tontonan sepakbola. Dalam sepakbola, menang-kalah tidak sampai pada urusan hukuman penjara atau bahkan mati. Maka pro-kontra soal keterlibatan teknologi bisa menjadi ‘drama’ tersendiri. Bahkan itu terjadi di dalam stadion. Tetapi tidak di ranah pengadilan, meski itu jelas juga bisa diperdebatkan di ruang-ruang persidangan. Karena berurusan dengan nasib orang, pengadilan-pun semakin lekat dengan bantuan sain untuk mengurai masalah ‘what is it that can be known without doubt’? Bahkan jika ada keraguan, pengadilan akan memilih untuk membebaskan tersangka dari pada menanggung beban menghukum yang tidak bersalah. Drama akan lebih mungkin terjadi di luar persidangan. Bagaimana jika itu terjadi di ruang-ruang ‘persidangan politik’? Ingat ketika sistem IT KPU saat pemilihan lalu diributkan soal ‘keamanan’-nya? Atau berita-berita soal kemungkinan diretasnya sistem IT dalam pemilihan, bahkan di AS sana?
Ingatan tidak hanya bisa ‘ditambahi’ atau ‘dikurangi’, bahkan ada yang bilang bisa ‘kosong’, layaknya sebuah kanvas putih bersih. Itulah yang menjadi dasar Naomi Klein menulis The Shock Doctrine (2007). Lengkapnya, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. Berangkat dari Badai Katrina yang menghajar wilayah tenggara AS di Agustus 2005, Klein mengamati bagaimana para dedengkot kaum neolib mengambil kesempatan segera pasca-badai untuk menancapkan kukunya dalam kebijakan-kebijakan ala neolibnya. Bagi kaum neolib, dahsyatnya badai itu telah membuat kesadaran orang-orang seperti sebuah kanvas putih karena beratnya shock, dan itu adalah kesempatan untuk ‘melukis’ apa mau-maunya mereka kaum neolib itu. Hal tersebut juga disinggung David Harvey (2005) sebagai salah satu bentuk accumulation by dispossession dari neoliberalisme: manipulasi krisis.
“Sovereign is who decides on the exception,” demikian Carl Schmitt membuka buku Political Theology (1922). Atau kalau diletakkan dalam konteks bahasan ‘merawat ingat’, ini kemudian bisa dibaca sebagai siapa ‘yang masih ingat’ di tengah-tengah situasi exception itu. Terlebih ingat akan kepentingan diri dan kelompoknya mengapa ia ada di tengah-tengah ‘kekacauan’ itu. Terlebih lagi jika ‘kekacauan’-nya dia sendiri yang bikin-bikin. Maka tidak berlebihan pula jika kemudian muncul istilah ‘permanent exception’ itu. ‘Situasi kegentingan’ yang terus dipelihara demi langgengnya genggaman atas kedaulatan. Langgengnya kekuasaan di tangan. Jadi memang lebih dari sekedar legitimasi atas bermacam tindakan yang dilakukan. Sebuah ‘birahi politik’ yang ‘berkelanjutan’, bahkan bisa permanen sifatnya. Gitu ya cuk, LBP?! “Birahi politik” akan kekuasaan yang hanya berhenti ketika ajal menjemput, demikian kata Hobbes. Kekuasaan untuk melindungi harta yang sudah diperoleh. Masih kata Hobbes juga. Kuasa, dan bukan hukum, karena siapa tahu banyak harta terkumpul justru karena hukum dijungkir-balikkan-ditelikung semau-maunya.
Maka ‘merawat ingat’ dalam ranah politik harus paling tidak dari dua jurusan. Oposisi ada adalah untuk ‘merawat ingat’ ini. Karena jika tidak ada oposisi, ingatan bisa-bisa akan habis ditelan hasrat, ditelan segala berahi. Dan yang muncul bisa-bisa adalah ‘ingatan-ingatan palsu’ itu. Permanennya “birahi politik’ yang bisa kita raba dari suasana ‘permanent exception’ yang terus dimainken. Maka, sekali lagi, ngaca cuk LBP ...
Paling tidak dua jurusan (yang sedang berkuasa dan oposisinya), karena akan lebih baik jika ditambah jurusan lain, pers misalnya, yang ikut terlibat aktif dalam upaya ‘merawat inap’ ini. Dan juga, jurusan dari masyarakat sipil tentunya. *** (24-12-2020)