www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-12-2020

Informasi adalah serapan dari bahasa asing, dan jika kita bayangkan kata informasi bisa dipisah: in-formasi. Dari asal katanya memang terdiri dari dua kata tersebut. Maka jika kita bicara soal informasi itu juga sebenarnya tidak lepas dari sebuah formasi, katakanlah: membentuk. Karena mengandung bobot ‘membentuk’ ini maka di belakang informasi bisa erat dengan kuasa. Siapa mempunyai informasi lebih banyak maka ia bisa mempunyai kemampuan lebih dalam ‘membentuk’ ini. Misal informasi soal selera pasar. Atau lainnya.

Jika sekarang dikenal adanya revolusi informasi bukan berarti informasi ber-‘revolusi’ baru sekarang saja. Bukankah pada satu titik ketika bahasa tubuh kemudian dilengkapi dengan bahasa oral itu adalah sebuah loncatan juga? Bagaimana ketika ada prasasti, manuskrip. Atau juga mesin cetak massal Gutenberg itu? Juga telegram, telepon, radio, televisi, dan sekarang internet? Tetapi selain informasi sangat berperan dalam ikut membentuk-mengembangkan peradaban, ia juga menyimpan ‘sisi gelap’-nya. Dalam ikut mengembangkan peradaban, lihat misalnya bagaimana ketika bermacam informasi itu dikumpulkan dalam bentuk ensiklopedia itu diyakini ikut berperan dalam Revolusi Perancis. Atau tulisan-tulisan dari founding fathers yang banyak terlibat dalam peningkatan kesadaran khalayak saat itu. Bahkan sampai sekarang. Atau ketika bermacam informasi masuk nusantara melalui radio, barang cetakan, surat-menyurat, dan lain-lain.

Tetapi sebelum Revolusi Informasi seperti dikenal saat ini, ada Revolusi Pertanian dan Revolusi Industri. Jika kita memakai padanan dari kedua revolusi sebelumnya maka secara tidak langsung kita akan merasa bahwa informasi dalam Revolusi Informasi ini terlibat erat dalam proses-proses produksi. Itupun sebenarnya bagaimana informasi terlibat dalam proses-proses produksi sudah terjadi sebelum era Revolusi Informasi ini. Yang membedakan adalah luas dan dalamnya jangkauan. Dan tentu kecepatannya juga. Oleh karena itu ia kemudian menjadi faktor penentu utama dalam proses-proses produksi. Kekuatan informasi dalam ‘membentuk’ akan berlipat-ganda ketika ia ‘berkolaborasi’ dengan kekuatan-kekuatan produksi itu.

Tetapi bagaimanapun di belakang kekuatan-kekuatan produksi tetaplah ada manusia-manusia konkret. Manusia kongkret yang menurut Nietzsche lekat dengan will to power. Maka ‘produksi’ di sini bisa juga termasuk ‘produksi kekuasaan’. Kekuasaan di tangan si-mono lebih berkembang jika in-formasi ada di tangan satu orang. Atau di sedikit orang, kaum bangsawan dan sekitarnya terutama kaum klerik di Abad Pertengahan di Eropa sana. Era manuskrip sangat kompatibel dengan ‘produksi kekuasaan’ seperti ini. Tetapi ketika masuk era mesin cetak massal, ‘monopoli’ informasi mulai retak, dan ‘produksi kekuasaan’-pun menjadi lebih ‘multi-polar’. Terlebih ketika melalui cetak massal itu bahasa-bahasa lokal mulai berkembang. Demikian juga era digital seperti sekarang ini, ‘polar-polar’ itu menjadi semakin banyak. Banyak sekali, bahkan ‘ke-lokal-an’ itu bisa-bisa hanya mampir ke individu saja, yang justru ada yang kemudian merasa ‘terisolir’, lepas dari ‘kerumunan-kongkret’-nya yang selama ini mungkin dirasakan sudah memberikan rasa aman. Maka tak berlebihan jika Manuel Castells kemudian melihat pencarian ‘identitas’ justru bisa meningkat di era informasi serba cepat ini.

Tetapi sebesar apapun kekuatan ‘membentuk’ dari informasi itu ia akan berhadapan juga dengan ‘pihak kontra’-nya. Rute utama kontra itu adalah ‘inter-subyektifitas’. Bagaimana mesin cetak massal itu semakin memperbesar kemungkinan inter-subyektifitas dan perlahan mengikis kekuatan yang terbangun di era manuskrip. Demikian juga inter-subyektifitas di era mass-to-mass communication sekarang ini juga perlahan mengikis kekuatan yang terbangun dalam modus man-to-mass communication. Maka tidak aneh jika Noam Chomsky beberapa tahun sebelum internet merebak bagi khalayak, ia menegaskan bahwa selama khalayak tidak punya kesempatan untuk saling mengeluarkan perasaannya dan tahu sama lain, keadaan tidak akan berubah.

Bermacam rute dikembangkan dalam dunia sain untuk menjawab salah satu pertanyaan pokoknya: “What is it that can be known without doubt?” Bermacam metode dikembangkan, tetapi mungkinkah inter-subyektifitas itu juga bisa ikut terlibat dalam dinamika pertanyaan itu? Mungkin A yang bukan saintis itu melihat bermacam penampakan-penampakan, dan ia kemudian ‘menunda’ segala prasangka yang sudah ngendon dalam diri. Ia menghayati penampakan-penampakan itu layaknya sebagai ‘pemula’. Kemudian bisa saja ia merasa bahwa satu dengan lainnya ada kemiripan. Dan kemudian ia melihat dari bermacam sisi, aspek dan lainnya lebih jauh lagi, maka bisa-bisa ia sampai pada kesimpulan bahwa itu tidaklah sekedar mirip, tapi sama. Maka berkembanglah bermacam imajinasi yang kemudian akan di-cek ulang dalam realitas. Bisa salah bisa benar. Tetapi ia juga bisa mengkomunikasikan imajinasi-imajinasinya itu dengan orang lain, yang mungkin juga berproses sama. Dengan begitu sekaligus ia ‘meredakan’ keliaran imajinasi yang sangat mungkin terjadi. Dari inter-subyektifitas itu bisa-bisa ia mendapatkan insight misalnya, atau ada sisi-sisi lain yang tiba-tiba saja muncul. Sekali lagi apapun hasil dari dinamika inter-subyektifitas itu haruslah ‘diuji’ dalam realitas. Bisa salah, bisa benar. Tetapi di luar masalah salah dan benar, ada yang patut diperhatikan, dinamika itu sendiri sebenarnya sangat bisa dalam memajukan horison masing-masing.

Tetapi siapa mau susah-susah menunda bermacam pra-anggapan yang sudah ngendon itu demi hadir sebagai seorang ‘pemula’? Apalagi bagaimanapun juga, taken for granted itu pada sebagian besar konteksnya ternyata berhasil. Dan nyaman-nyaman saja, sangat memudahkan dalam menjalani hidup. Maka tidak ada jalan lain selain latihan, latihan, dan latihan. Repot memang. Apalagi kita manusia yang menurut Nietszche, bahkan will to power-nya itu bisa lebih besar dari will to survive. Bisa rusak-rusakan tuh. *** (12-12-2020)

In-formasi