28-11-2020
‘Terdukung’ dalam hal ini adalah adanya prasyarat politis, teknis, dan sosial. Katakanlah pemburu rente itu bukanlah sekedar aktifitas, tetapi seakan sudah terlembagakan, ter-institusionalisasi. Sudah lebih dari rent seeking activities. Jika mengambil istilah Alvin Toffler, katakanlah ia sudah menjadi ‘invisible party’. Siapapun partai pemenang dalam pemilihan, fakta sebenarnya yang menang adalah ‘partai pemburu rente’ itu. Kalau menurut Alvin Toffler dalam trilogi terakhirnya, Power Shift, itu lebih menunjuk pada birokrasi.
Ketika republik merdeka dan dengan susah payah akhirnya mendapat pengakuan dari PBB, itulah kondisi politis bagi suatu kemerdekaan. Lalu apa kondisi politis dari pemburu rente ini? Ketika ‘pakta dominasi’ dalam praktek memberi ‘pengakuan’ atas segala aktifitas pemburuan rente ini. Baik ‘pakta dominasi primer’ maupun ‘pakta dominasi sekunder’. Atau katakanlah, ketika baik di ‘pusat’ maupun di ‘perifer’ memang ‘membuka jalan’ bagi para pemburu rente ini. Cardoso di sekitar 1970-an menunjuk pakta dominasi itu adalah kapitalisme, ‘semangat-jaman’-nya adalah kapitalisme. Sekarang kita bisa menunjuk, neoliberalisme, atau menurut Stigliz, kekuatan-kekuatan lembaga keuangan, terutama korporasi besar tentunya. Neoliberalisme, terutama feature utamanya, disebut oleh David Harvey, accumulation by dispossession itu. Selama ‘perampasan-perampasan’ itu terus dimungkinkan, maka ‘dukungan politis’ dari ‘pakta dominasi primer’ itu akan terus ada. Tidak jauh dari jaman old, ketika Bank Dunia sebenarnya tahu soal kebocoran yang mencapai paling tidak 30% itu. Diam saja (!) selama agenda-agendanya jalan.
Jurnal Indonesia yang diterbitkan oleh Universitas Cornell menarik untuk diamati. Daya tahan jurnal ini cukup mengagumkan, terbit pertamakali th. 1966 dan sampai sekarang masih rutin terbit setahun dua kali. Saya tidak mengikuti tahun-tahun terakhir, tetapi sejak terbitan awal-awalnya jurnal Indonesia selalu menyertakan analisis tentang militer Indonesia di salah satu dari dua terbitan setahunnya. Sedikit banyak siapa akan mempunyai karir cemerlang di ranah militer bisa dilihat dari analisis ini. Kita tidak tahu persis apa pertimbangannya mengapa dinamika militer berpuluh tahun menjadi begitu penting secara rutin dianalisis. Akankah setelah reformasi ada analisis rutinnya terkait dengan biaya politik? Dari tahun ke tahun? Saya tidak tahu karena sudah tidak mengikuti, mungkin tidak. Tetapi paling tidak kita bisa merasakan, biaya politik yang semakin meraksasa dari tahun ke tahun itu faktanya telah membuat banyak pihak menjadi keblinger. Seakan berlomba menuju dasar kegelapan.
Biaya politik yang terus meroket itu seakan sudah ada, wira-wiri berkeliaran di antara ‘kejahatan hasrat’ dan ‘kejahatan logika’ –meminjam pembedaan Albert Camus, yang memang batasnya sangat-sangat tipis. Terjadi ‘power shift’, entah kapan itu mulai, dari ‘kekuatan kekerasan’ ke ‘kekuatan uang’. Salah satu dampak yang begitu merusak adalah ketika uang, rente, yang diburu melalui di-‘rental’-kannya kekuasaan. Dengan dibungkus bermacam pembenaran, bermacam logika terkait dengan biaya politik, terutama. Dan selalu sebenarnya, ada gejolak hasrat diri juga yang membonceng erat. “Biaya politik’ seakan menjadi strory-telling pakem bagi para pemburu rente itu. Meroketnya biaya politik ini apakah merupakan ‘hal alamiah’ saja, kebetulan-kecelakaan, atau memang ‘by design’? Pertanyaan yang menguat mengapa threshold 20% itu kemudian ditetapkan. Dan itulah mengapa gugatan Rizal Ramli tentang hal tersebut sangat patut kita dukung. Selain usulannya juga soal partai politik dibiayai negara.
Bagaimanapun di dalam ‘horison demokrasi’ selalu ada soal monarki-oligarki sebagai ‘denyut-kontra’-nya. Demokrasi bukan soal ‘kedaulatan rakyat’ saja tetapi juga sebuah tarik-menarik dinamis dalam ketegangan antara si-demos, si-olig, dan atau dengan si-mono. Demokrasi sebenarnya tidak akan bisa dihayati tanpa ketegangannya dengan oligarki atau monarki. Yang mana ketegangan itu dengan jalan mudah saja pada waktunya diselesaikan dengan kekuatan kekerasan. Atau dengan kekuatan uang. Atau gabungan. Terlebih jika demokrasi ada di tangan kaum rascals.[1] Kaum rascals yang miskin komitmen, miskin keutamaan, yang mana sungguh itu sangat diperlukan untuk ‘melawan’ bayang-bayang gejolak hasrat di ‘basis material’.
Antara ‘basis material’ dan ‘bangunan atas’ itu sebenarnya ada gejolak ‘pembagian kesejahteraan’ –pembagian kekayaan. Monarki, oligarki, dan demokrasi ada dalam bayang-bayang bagaimana kekuasaan itu terlibat dalam ‘pembagian kekayaan’ itu. Oligarki-sultanistik, meminjam istilah Jeffrey Winters, pembagian kekayaan kemudian menjadi urusan kaum oligark yang ‘dipimpin’ oleh satu orang ‘patron’. Mirip-mirip jaman old. Atau main ‘sultan-sultanan’ jaman now. Intinya, ‘pendisiplinan’ itu melalui satu tangan saja. Bahkan jika itu tangan seorang boneka. Maka oligarki-sultanistik itu pada dasarnya adalah mono-arki dengan para aristokratnya, si-oligark. Para ‘bangsawan’ yang akan diangkat melalui bermacam jalur, sekali lagi, mirip-mirip jaman old di suatu partai yang tidak mau disebut partai itu. Dan pastilah para bangsawan itu ada kelas-kelasnya, ada tingkatannya. Inilah sebenarnya ‘operator’ utama dari ‘pakta dominasi sekunder’. Yang sangat lentur dalam modo de proceder, cara bertindaknya. Dalam menyesuaikan mau-maunya dari ‘pakta dominasi primer’. Klientelisme total. Maka soal pemburu rente ini sudah bukan lagi berhenti pada masalah budaya ngunthetan, ngutilan, sogok-sogokan, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, atau sejenisnya, tetapi sudah semacam 'kerajaan' kuman TBC yang sungguh tidak mudah dijinakkan. Selain daya tahan kumannya, ia bisa menyerang hampir di semua organ tubuh. Dan tidak hanya bisa hidup dalam fase dormant, cilakanya, ia sudah merubah diri sebagai ‘kuman banal’. Maka, hanya dengan pengobatan yang sungguh disiplinlah kuman itu baru bisa dikendalikan.
Bagaimana dengan kondisi sosial dan teknisnya? *** (28-11-2020)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.
com/304-Surat-Edward-Rutledge-ke-John-Jay-24-Nov-1776/