08-11-2020
Ada yang mendekripsikan pemilihan presiden AS di tahun 2020 adalah a fight for the nation’s soul. Nampaknya pendeskripsi lebih bersimpati pada Joe Biden karena hal itu dekat dengan ‘tema’ kampanye Biden. Atau kalau kita membayangkan Rusia di penghujung era Yeltsin, muncul pertanyaan di banyak warganya: republik macam apa yang kami miliki? Dan ujungnya, Yeltsin akhirnya sadar bahwa ia memang harus mundur. Gimmick-gimmick menggemaskan dari seorang pemimpin itu ternyata ada batasnya. Realitas yang berkembang ternyata kemudian mengusik atau meretakkan bermacam dongeng-dongeng bahkan ketika itu terus-menerus dibangun tanpa henti. Tanpa sungkan, dan bahkan sudah tidak tahu malu lagi.
Jiwa suatu bangsa jika kita mendekati secara stoik, mungkin bisa kita bayangkan sebagai ‘yang tergantung pada kita’. Jika kita melihat tema kampanye Trump, Make America Great Again maka dalam pandangan kaum stoik sebenarnya itu merupakan hal ‘yang tidak tergantung pada kita’, atau dalam hal ini warga AS. Dinamika jiwa-lah yang tergantung pada kita (warga AS) yang nantinya memang akan ikut mendorong apakah Amerika akan menjadi besar atau tidak. Tetapi untuk ‘menjadi besar lagi’ jelas banyak juga faktor berpengaruh yang sungguh tidak tergantung pada mau-maunya kita. Jika upaya tanpa henti dalam ‘merawat dan juga sekaligus melatih jiwa’ tidak dilakukan dan justru sibuk dengan hal-hal ‘eksterior’ (di luar dinamika jiwa) maka jangan bermimpi untuk menjadi ‘besar’. Itulah yang meredup selama 4 tahun di tangan Trump, ataupun bertahun di tangan Yeltsin di Rusia sana pada penghujung abad 20 pasca glasnot-perestroika itu. Atau di republik lain selama 6 tahun terakhir ini. Ketika dongeng-dongeng itu semakin retak mendekati batas-batasnya.
Jika kita membayangkan pendapat Carl Schmitt soal politik, maka pembedaan antara lawan dan kawan itulah mungkin bisa kita lihat sebagai ‘jiwa’-nya politik. Maka, zero enemy dalam politik itu –dalam kacamata Carl Schmitt, tidak hanya dongeng atau bahkan ngibul saja, tetapi bisa-bisa itu adalah sebuah telikungan. Kemungkinan besar yang sedang dibangun bukanlah res-publika, tetapi adalah monarki-aristokrasi. Khalayak-publik itu bukanlah rakyat, tetapi adalah ‘para hamba’. Tidak lebih dari itu. Maka bagi ‘yang berseberangan’, jika tidak mau ditarik sebagai bagian dari bangunan aristokrat, maka penjara bisa-bisa menantinya. Atau kalau tidak, apapun yang dikatakan akan tidak didengar. Tidak dianggap. Karena suara-suara itu adalah bagian dari ‘para hamba’ saja.
Jika kita kembali pada panas-dinginnya pilpres AS sono, menarik apa yang dikatakan Joe Biden, bahwa jika ia terpilih, salah satu hal pertama yang akan diperhatikan adalah soal Perjanjian Paris. Kita tahu bahwa Perjanjian Paris itu adalah soal perubahan iklim, soal nasib bumi. Maka ketika nation’s soul diangkat sebagai ‘tema’ kampanye Biden dan Perjanjian Paris menjadi salah satu perhatian utama jika terpilih, seakan Biden sedang ingin mengatakan bahwa fight for the nation’s soul juga semestinya selaras atau tidak lepas dengan dinamika semesta. Tidak jauh dari yang ditekankan oleh kaum stoik, lebih dari 2000 tahun lalu.
Adam Smith menulis buku-bukunya setelah mulai kencang ada pergeseran dari teosentris ke antroposentris. Tetapi moralitas apa yang kemudian menggantikan moralitas agama dalam hidup bersama? Nampaknya meski secara ekletik, Smith banyak mengambil moralitas kaum Stoa di sana-sini. Smith mengintrodusir moralitas ‘yang sepantasnya’ saja bagi yang sedang berusaha mempertahankan hidup dalam dinamika pasar. Tetapi dalam bagian lain, Smith mengintrodusir juga istilah famous sect -sekte agung, yang mana moralitas yang dijalankan lebih dari ‘sekedar sepantasnya’ saja. Donald Trump sebagai pemimpin nampaknya masih belum lepas dari bayang-bayang moralitas ‘yang sekedar sepantasnya’ saja itu. Mungkin ketika ia begitu lama dalam kerasnya dunia dinamika pasar, dan begitu minimnya dalam gemblengan dunia politik (yang bener-dan bukan satu-satunya ranah gemblengan) maka moralitas yang lebih dari ‘sekedar sepantasnya’ belumlah terbangun sepenuhnya. Mungkinkah dominannya sayap kanan-jauh dalam dirinya atau sekitarnya membuat ia merasa ada jalan shortcut dalam membangun moralitas yang lebih ‘dari sekedar sepantasnya’ itu? Mungkin. Tetapi apapun itu, dampaknya adalah ‘jiwa hidup bersama’ menjadi ‘tidak terawat’ dengan semestinya. Jika memakai Platon, gejolak si-kuda hitam itu masihlah dominan dalam diri Trump. Sayangnya, kuda hitam itu punya karakter meluncur ke bawah dan cenderung semau-maunya sendiri. Budeg lagi. *** (08-11-2020)