06-11-2020
Superman Is Dead, SID, demikian nama band rock asal Bali, dibentuk oleh Bobby, Eka, dan Jerinx, kurang-lebih 25 tahun lalu. Sekitar satu abad sebelum Jerinx dkk membentuk SID, Nietzsche berseru: God is dead! Entah Jerinx dkk bermaksud meng-counter Nietzsche atau tidak, ungkapan God is dead itu memang tidak bisa dipahami lepas dari soal ‘superman’ –si-manusia individu. Bertahun sebelum Nietzsche menggetarkan dengan ungkapan God is dead itu, Marx juga berseru, religion is the opium of the people. Yang juga tidak bisa lepas dari konteksnya, nasib kaum proletar –si-individu-individu yang ‘menghilang’ ditelan keganasan si-pemilik modal.
Ungkapan Aristoteles bahwa manusia adalah animal rationale lebih dari 2000 tahun lalu nampaknya bukanlah ngibul semata. Meski banyak rahasia yang belum terungkap terkait dengan otak manusia, bisalah tetap dikatakan bahwa karena urusan otak-lah manusia menjadi berbeda dengan spesies lainnya. Bahkan ditengarai ada bagian otak yang berurusan dengan yang serba Ilahi, God spot. Selain bermacam fungsi otak yang sudah ‘terpetakan’ sebelumnya. Ketika ada kerusakan di bagian tertentu otak karena bermacam sebab misalnya, maka akan terganggu pula salah satu kemampuan aktifitas tubuh.
Tetapi apakah kemudian dinamika otak adalah sentral dari keseluruhan ‘dunia’ yang kita kenal ini? Jika tidak ada dinamika otak kemudian semua menghilang begitu saja? Epigenetik yang mulai berkembang di bagian akhir abad-20 menguak bermacam pengaruh lingkungan terhadap dinamika DNA. Dan bahkan kemudian bisa diturunkan! Soal dinamika perkembangan otak, diyakini pula di luar otak ikut berpengaruh. Diyakini bahwa dibebaskannya ‘kaki-depan’ dari fungsi berjalan, dan kemudian melakukan aktifitas lebih sebagai tangan ikut juga mempengaruhi perkembangan otak, terlebih area bicara. Dan sampailah kita seperti sekarang ini setelah melalui jalan panjang evolusi. Evolusi yang tidak berjalan layaknya sebuah garis lurus, tetapi akrab dengan bermacam ‘patahan-patahan’ sejarahnya.
Jika ada dua kutub diantara bermacam (pasangan) kutub, maka diantaranya ada dua hal yang ada di masing-masing ujung, satunya, manusia itu pada dasarnya mencari kebahagiaan/kesenangan, dan di ujung lainnya, manusia itu pada dasarnya ia menghindari kesakitan. Pada dasarnya pula keduanya ada dalam diri manusia. Masalahnya adalah eksploitasi keduanya demi tujuan tertentu, terlebih dalam tujuan-tujuan kuasa. Jika kita melihat kontestasi pemilihan presiden AS baru-baru ini, nampak yang ditawarkan oleh kedua kandidat berangkat dari kedua hal di atas. Masing-masing kemudian mengeksploitasi ujung-ujung yang berbeda.
Tentu ada dimensi lain yang dinampakkan oleh kutub-kutub lainnya, tetapi dari hal di atas, segera saja kita bisa meraba ‘titik-temu’-nya, yaitu masalah etika. Masalah etis bukan merupakan pilihan antara ujung satu dengan ujung lainnya yang sudah jelas posisinya, tetapi katakanlah memilih antara yang buruk dengan yang kurang buruk, yang baik dengan yang lebih baik, misalnya. Dari dinamika akhir abad 19 sampai bagian akhir abad 20, kita sudah melihat bagaimana ‘pertarungan’ dari ujung dengan ujung itu telah mencatatkan sejarah kelamnya.
Masalahnya bagi sebagian besar dari kita, apapun itu jika itu merupakan ‘jalan gampang’ tetaplah akan menggoda. Taken for granted, tanpa bermaksud ‘merendahkan’, adalah ‘jalan gampang’ yang membuat sebagian besar dari kita akan menjalaninya, sadar atau tidak. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Masalah akan muncul jika modus itu kemudian hanya merupakan satu-satunya modus yang dikenal. Karena dalam hidup pastilah kita akan menemui satu moment atau peristiwa yang ‘menuntut’ kita bersikap tidak dengan modus taken for granted itu. Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan membedakan antara tahap mitis, ontologis, dan fungsionil. Bukan untuk membuat sebuah ‘strata’ atau level tahapan mana yang lebih tinggi atau rendah, tetapi bahkan ketiga tahapan itu akan ada dalam diri kita.
Jika kita memakai pembedaan Van Peursen di atas, meski ada bentuk-bentuk ‘eksploitasi’ juga di ranah ontologis dan fungsionil itu, eksploitasi yang dimaksud di atas adalah eksploitasi terlebih dalam ‘dunia mitis’. Dunia ‘dongeng’ yang dimaksudkan untuk memberikan ‘sihir’ pada khalayak. Dalam sebuah kontestasi, pilpres AS misalnya, kemudian adalah pertarungan antara ‘dunia dongeng’. Salahkah? Tentu tidak, apapun itu kata MacIntyre, man is essentially a story-telling animal. Yang salah adalah jika setelah pemilihan ‘dunia dongeng’ itu tetap dominan. Dan itulah gunanya ada oposisi. Ada kesempatan luas untuk mengajukan kritik. Atau sejenisnya. Sebuah upaya untuk ‘back to the thing themselves’ dalam kerangka ‘hasrat vs hasrat’. Tidak hanya mengandalkan ‘orang baik’ di dalam saja, tetapi terlebih ‘orang baik’ di seberang jalan. Atau ketika pendukung Trump mengangkat panji-panji, 4 more years, di seberang jalan diangkat pula tinggi-tinggi: no more bullshits! *** (06-11-2020)