27-10-2020
“Economics are the method; the object is to change the heart and soul,” demikian dikatakan Margaret Thatcher dalam sebuah wawancara di tahun 1981, hampir dua tahun setelah ia naik sebagai PM.[1] Thatcher jelas saat itu sedang menyerang ‘collectivist society’ yang dikatakan sudah melupakan ‘personal society’. Atau pendekatan ‘welfare state’ ala pasca Perang Dunia II yang (menurutnya, Thatcher) membuat orang-per-orangnya ‘malas’, dan perlu paradigma baru, sekarang dikenal sebagai neoliberalisme itu. “Self-interest” kembali ditempatkan tidak hanya di tempat paling terhormat, tetapi bahkan sebagai satu-satunya motif. Di luar yang tidak dikaitkan dengan motif tersebut dikatakan: tidak rasional.
Dalam penanganan pandemi, meski dalam beberapa aspeknya outcome penanganan tidak jauh berbeda dengan yang lain, Swedia cukup menarik diperhatikan. Swedia yang berpenduduk sekitar 10 juta itu mengambil langkah dekat dengan herd immunity, katakanlah: survival of the fittest. Tetapi benarkah itu? Benarkah satu-satunya motif adalah kepentingan diri yang kemudian bertarung, dan paling fit-lah kemudian menang? Lolos dan bertahan dari serangan virus? Meski seakan herd immunity dilaksanakan, tetapi nampaknya warga Swedia mau dengan suka rela menjalankan himbauan dari pemerintahnya, yaitu terutama soal social distancing, mengurangi keluar rumah terutama bagi lanjut usia, dan isolasi diri jika ada gejala. Apa yang ingin disampaikan di sini adalah soal komitmen. Tanpa ada patroli, sangsi ketat dan sejenisnya, komitmen berkembang diantara warga (Swedia).
Tetapi pendekatan lain model Taiwan, New Zealand misalnya. Komitmen kuat ada di pemerintahnya. Bukan berarti Swedia pemerintahnya tanpa komitmen. Tidak ada itu yang namanya 100% herd immunity. Karena kita manusia, mempunyai sisi etisnya. Pemerintah Swedia juga berkomitmen dalam edukasi dan kuratifnya, terutama. Komitmen pemerintah di Taiwan dan New Zealand didorong oleh pengalaman (menghadapi wabah) masa lalu, dan ketika masih awal-awal penyebaran virus, mereka langsung melakukan karantina wilayah. Hasilnya dapat kita lihat bersama, kehidupan normal-pun perlahan (lebih awal) dapat dimulai lagi. Apa yang dapat kita pelajari dari dua pendekatan berbeda itu? Nampaknya sekali lagi, adalah soal komitmen ini. Kemauan kuat menunda kepentingan diri demi tujuan lain yang lebih luas.
Dan ternyata di luar terkait motif kepentingan diri tetap saja ada ‘yang rasional’, yaitu berangkat dari komitmen. Kita bisa saja waktu ke pasar membeli buah dengan rela sedikit kemahalan ketika melihat yang jual adalah seorang nenek tua, misalnya. Kepentingan diri untuk memperoleh harga serendah-rendahnya kita tunda dulu supaya penjual memperoleh lebih untuk menopang hidupnya. Ternyata ada motif lain di luar motif kepentingan diri. Komitmen pasti berarti juga soal keterlibatan. Juga tak lepas dari suatu ‘janji-janji’ tersendiri, entah disadari atau tidak. Entah diucapkan atau tidak. ‘Janji-janji’ yang mampu ‘menggusur’ kepentingan diri. Tidak jauh sebenarnya ketika kita menghayati soal profesionalisme, misalnya. Ketika yang diperjanjikan itu secara berulang-ulang terpenuhi. Cuma dalam profesionalisme kepentingan diri bisa tidak ditunda dulu. Habitus juga tidak lepas dari pengulangan-pengulangan sehingga hal tersebut seakan sudah menyatu dalam gerak-gerik kita. Sebuah komitmen yang terus-menerus ‘terjaga’ dalam keberulangan, maka sangat mungkin itu akan menjadi habitus. Tidak hanya itu, orang lain bisa saja akan menghayati sebagai karakter-nya.
Komitmen, habitus, karakter yang kuat tidak hanya ia memerlukan ‘nutrisi’ yang ‘adekuat’, tetapi bagi orang lain ia bisa saja menjadi ‘model’. Dalam teori segitiga-hasrat Rene Girard, mimesis atau meniru adalah modus bagi sebagian besar orang. Untuk menghasrati O (obyek tertentu, misalnya), ia akan meniru M (model) yang menghasrati O tersebut. Tak jauh dari logika iklan yang menggunakan model selebritis itu. Atau dalam pandangan Arnold J. Toynbee, peradaban akan berkembang salah satunya karena respon terhadap tantangan yang ‘dikomandani’ oleh si-minoritas kreatif. Kebanyakan di luar minoritas kreatif akan menirunya. Atau coba kita bandingkan dengan teori tindakannya Bourdieu dimana action itu akan dipengaruhi oleh capital, habitus dan field atau ranah. Capital atau modal tidaklah mesti berupa uang, tetapi juga modal sosial, misalnya. Lihat bagaimana habitus juga ditempatkan sebagai faktor yang menentukan.
Jika kita melihat film The Iron Lady (2011) dimana Margaret Thatcher diperankan dengan mak-nyus oleh Maryl Streep, rasanya kita sedang melihat sebuah ‘konsistensi’ habis-habisan dari seorang Thatcher. Bahkan sampai di masa tuanya. Mengapa di masa puncak-kekuasaannya Thatcher tidak kemudian menumpuk harta demi nikmatnya di hari tua? Orang boleh melawan habis-habisan terhadap ideologi bawaan Thatcher, tetapi bagaimanapun kita bisa belajar dari Thatcher soal komitmen. Tidak ada perubahan besar tanpa hadirnya komitmen. Tidak akan pernah ada ‘to change the heart and soul’ tanpa bayang-bayang komitmen.
Hanya orang-orang dengan komitmen kuat akan mampu menapak jalan keutamaan jauh di atas ‘yang sepantasnya’ saja. Karena di pundaknya sungguh beban berat harus terus disangga. Tidak ada seorang pemimpin mak-nyos yang keluar dari mulutnya bahwa sekarang ia tanpa beban. Tidak ada! Dan dengan beban di pundak dan komitmen itulah ia akan membuka jalan ‘to change the heart and soul’. Lihat bagaimana soal reformasi birokrasi selama 20 tahun terakhir ini. Hasrat akan uang sudah ‘tergarap’ dengan peningkatan kesejahteraan. Soal kebanggaan dengan kesempatan promosi jabatan sudah dirancang. Dan bisa kita lihat bersama, kurangnya adalah di ‘filsuf-raja’ dengan komitmen habis-habisan. Selalu ada saja kita dihadapkan pada hasrat untuk menemukan ‘kesempatan dalam kesempitan’ yang akan dimaksimalkan untuk kepentingan diri. Sebuah ‘jalan gampang’ yang akan menggoda siapa saja di dekatnya. Seakan ‘mereka’ sungguh paham, “rent seeking activities are the method; the object is to change the heart and soul.” Sayangnya, heart and soul kelas medioker yang semata akan mengabdi dan melanggengkan rent seeking activities tersebut. Rusak-rusakan. Karena dalam rent seeking activities itu benar-benar nir-komitmen.
Maka semakin nampak, komitmen adalah ‘masalah’. Orang-orang dengan komitmen adalah bayang-bayang yang tidak hanya menghantui tetapi akan mampu meretakkan bangunan pakta dominasi ‘mereka’. Dalam negara-negara demokrasi dan maju dalam hidup bersamanya, partai politik akan diisi oleh banyak orang-orang berkomitmen. Entah partai itu mempunyai spektrum kiri atau kanan. Dan tentu bukan berarti di luar partai politik menjadi miskin akan komitmen. Komitmen yang beredar di luar partai politik itu, sejarah menunjukkan ia akan bergerak naik ke permukaan ketika partai politik justru mulai menyingkirkan orang-orang berkomitmen di dalamnya. Sebuah ‘hukum keseimbangan’ yang tak terelakkan dalam satu hidup bersama. Atau kalau meminjam istilah Karl Polanyi kira-kira setahun sebelum republik merdeka, gerakan ganda (double movement) itu pastilah tidak akan melenyap begitu saja.
Bagi rent seekers, para pemburu rente, kuasa pertama-tama adalah untuk di-‘rental’-kan demi maksimalnya rente bagi diri atau kelompoknya. Tidak ada itu yang namanya ‘sekte-agung’ (famous sect) –meminjam Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments, yang terbedakan dengan ‘moralitas orang biasa’ yang sibuk mengejar kepentingan dirinya dalam dinamika pasar. Bagi para pemburu rente, komitmen adalah hantu yang terus gentayangan. Maka tidak mengherankan menyeruaklah para pembunuh karakter itu. Dalam bermacam bentuknya. Di segala lini. Yang titik bidiknya tidak lain adalah komitmen.
Dari beberapa hal di atas nampak bahwa komitmen itu juga erat terkait dengan konsistensi. Atau juga bisa terhayati terkait dengan fokus. ‘Khalayak’ sebenarnya akan ‘terdidik’ juga dalam penghayatannya akan komitmen jika ia melihat dengan kepalanya sendiri bagaimana sebuah konsistensi dalam fokus dinampakkan dan ada hasilnya. ‘Marathon man’ sebutan media bagi premier negara bagian Victoria di Australia sono, Daniel Andrews misalnya, bisa sebagai contoh bagaimana konsistensi dan fokus serta hasil-hasilnya akan terhayati secara positif di khalayak. Paling tidak nampak dari surevi akhir-akhir ini. Maka tidak mengherankan ketika pakta dominasi berbasis rent seeking activities yang menempatkan komitmen sebagai hantu gentayangannya, ia akan ‘mengobrak-abrik’ soal konsistensi dan fokus ini. Sekali lagi, titik bidiknya tidak lain adalah komitmen. Kalau ‘obrak-abrik’ itu tidak dilakukan, yang sok-sok-an ngibul soal komitmen itu tiba-tiba saja akan semakin nampak wajah aslinya. Wajah kelas medioker. Benar kata Napoleon: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” *** (27-10-2020)
[1] https://www.margaretthatcher.org/
document/104475