26-10-2020
Mungkin terasa berlebihan jika dikatakan bahwa filsuf-filsuf itu hanyalah menambahkan catatan-catatan kaki pada pemikiran Platon, yang hidup sekitar 300 tahun sebelum masehi. Tetapi lebay atau tidak, bahkan bagi bukan penafsir Platon-pun akan banyak menemui pemikiran Platon yang memang sungguh menarik. Paling tidak ketika masuk ranah otak-atik.
Alegori Kereta Perang diungkap Platon dalam Phaedrus. Melalui ujaran Sokrates, Platon menggambarkan bagaimana dinamika tripartit jiwa dalam sebuah kereta perang (dengan dua roda) ditarik dua ekor kuda. Satu kuda putih, dan satu kuda hitam. Sais menggambarkan rasio, kuda putih erat dengan keberanian, dengan semangat -emosi, dan kuda hitam segala hasrat perut ke bawah, terutama hasrat akan uang. Dominasi kuda hitam adalah insting. Semestinya oleh si-sais, kereta diarahkan ke atas mendekat pada ‘kebaikan para dewa-dewa’. Dan itu bukanlah pekerjaan gampang.
Si-kuda hitam adalah kuda penuh gejolak hasrat, penuh dengan ledakan energi, dan sayangnya, karakternya maunya meluncur ke bawah saja. Jika dalam situasi justru si-kuda hitam yang ‘memimpin’, maka akan semakin jauhlah arah kereta dari arah ‘kebaikan para dewa-dewa’. Ia akan cenderung meluncur ke bawah, mengikuti mau-maunya si-kuda hitam. Apalagi digambarkan Platon, si-kuda hitam ini juga cenderung tuli. Budeg.
Si-kuda putih karakternya lebih ‘manut’ dengan si-sais. Lebih mudah diarahkan ‘ke-atas’ pada ‘kebaikan para dewa-dewa’. Ia tidak hanya tidak tuli, tetapi juga akan mudah akrab dengan ‘kata-kata’. Maka sebenarnya, si-kuda putih ini adalah juga ‘teman seperjuangan’ bagi si-sais dalam mengendalikan si-kuda hitam. Sangat sulit bagi si-sais untuk mengendalikan gejolak hasrat si-kuda hitam tanpa hadirnya si-kuda putih.
Dalam kesempatan lain, tripartit jiwa ini dibayangkan juga pada pembicaraan soal polis. Dalam polis akan melibatkan juga si-rasio: filsuf raja, si-berani: serdadu, dan yang ada di gejolak hasrat: pedagang, petani. Yang digambarkan ada di kepala, di dada, dan perut ke bawah. Dalam Republic, Platon membedah ini, dan pesan utamanya menurut beberapa penafsir Platon, adalah soal: keadilan. Adil akan bisa dihayati menurut Platon adalah ketika masing-masing menjalankan sesuai dengan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Tentu banyak teori keadilan yang berkembang sampai saat ini, tetapi pendapat Platon ini bisa kita gunakan pertama-tama untuk meraba atau ‘deteksi dini’ ketidak-adilan. Yaitu ketika ada yang suka ‘lompat-lompat pagar’ seenaknya sendiri saja. Atau tidak menjalankan fungsi sebaik-baiknya sesuai dengan perannya. Atau ugal-ugalan dalam ber-diskresi. Atau mendadak multi-fungsi. Ketika terjadi kebrutalan polisi di AS sono terhadap warga beberapa waktu lalu misalnya, penghayatan semestinya tidak berhenti pada soal kekerasan saja, tetapi sampai dengan soal ketidak-adilan yang sedang membayang erat. Dan memang, gerakan BLM itu bukanlah terutama soal ras, tetapi soal keadilan, soal ketidak-adilan. Tentu bukan berarti yang ada di ‘perut ke bawah’ kemudian menjadi nol persen untuk bisa ‘naik’ ke ranah ‘dada’ atau ‘kepala’. Masih dimungkinkan, tetapi jelas syarat-syaratnya tidaklah ringan.
Bagaimana jika ada yang berimajinasi, kekuatan uanglah yang berkuasa? Si-kuda hitam? Maka dari Alegori Kereta Perang-nya Platon ini bisa kita bayangkan ‘taktik-strategi’-nya. Pertama-tama kemungkinan besar adalah soal letak ‘kebaikan para dewa-dewa’. Soal kemana kereta perang akan diarahkan. “Man is in his actions and practice, as well as in his fictions, essentially a story-telling animal,” demikian MacIntyre dalam After Virtue (1981). Soal ‘story-telling’-nya. Atau kata David C. Korten: “The true believers of the New Right gained power not by their number, which are relatively small, but by their ability to control the stories that answer three basic questions: How do we prosper? How do we maintain order and keep ourselves secure? How do we find a sense of meaning and purpose in life?”[1]
Tetapi apa iya, dalam actions and practice-nya manusia semata hanya ditentukan oleh story-telling yang beredar? Yang dimaksud kutipan dari MacIntyre di atas sebenarnya adalah lebih bersifat ‘aktif’. Dalam cerita (cerita-cerita) tersebut, saya menemukan diri saya dalam bagian yang mana? Tetapi bagaimana jika karena penghayatan akan realitas sehari-hari tiba-tiba saja menjadi ‘sulit’ untuk menemukan bagian diri dalam ‘cerita-cerita besar’ itu? Ketika pada satu titik, ‘kebisuan’ itu tiba-tiba menjadi retak? Keretakan ketika kesadaran menjumpai jurang menganga antara dongeng dan realitasnya. Ngibul doang, ternyata. Bagaimana jika dongeng-dongeng itu menemui batas bibir jurangnya? Maka bukan dongeng lagi, tapi kerasnya pentungan dan tajamnya peluru akhirnya menjadi kenyataan sehari-hari. Yang pegang senjata akan maju.
Jika hal di atas terjadi, yang tersisa adalah rasio dan sayap-sayap di kanan kiri kereta. Sayap-sayap di kanan-kiri kereta adalah eros. Atau katakanlah kita bisa menghayatinya sebagai energi hidup, elan vital. Rasio yang didukung elan vital, energi yang memberikan daya hidup. Rasio yang dengannya membangun kata-kata untuk merebut atau menggeser pengaruh kekuatan uang atau si-kuda hitam atas kuda putih. Dalam kata-kata dulu, kembali ke barak. Atau, jadilah profesional. Jadilah ‘yang tahu batas’. Artinya, jangan bertindak tidak adil. Atau dengan kata-kata pula, membangun ‘rumah perlawanan’ bersama.
Tentu tidak usah ditegaskan bahwa kata saja tidaklah cukup. Tetapi lihat di sekeliling kita, baik dunia sekitar atau dunia digital yang seakan menembus batas sekitar, dampak dari kata-kata bagi manusia. Pemenang Nobel terakhir yang seorang penyair wanita asal AS itu seakan memberikan penegasan peran sentralnya sebuah kata-kata. Kata-kata, bahasa, yang lebih dari sekedar alat saja. *** (26-10-2020)
[1] David C Korten, The Great Turning, EasyRead, 2006, hlm. 318