22-09-2020
“Negara-negara yang menggunakan sistem politik otokrasi tangan satu orang atau oligarki yang dikuasai sekelompok orang, seperti China dan Vietnam, menangani dengan lebih efektif karena mereka menggunakan cara-cara yang keras," kata Tito disiarkan langsung akun Youtube Kemendagri RI, Kamis (3/9).[1] Kita cukup prihatin dengan ungkapan ini. Seorang menteri dan bahkan mantan Kapolri mestinya hati-hati dalam mengutarakan pernyataan. Karena ia adalah bagian dari pembuat dan pelaksana keputusan, bahkan di tingkat negara.
Marathon Man adalah julukan media bagi Daniel Andrew, premier negara bagian Victoria di Australia sono. Disebut marathon man karena setiap hari secara maraton ia hadir di layar kaca menyampaikan segala hal terkait dengan wabah COVID-19 yang melanda negara bagian tersebut. Apa yang diputuskan untuk dilaksanakan di Victoria adalah mirip dengan kebijakan pemerintah RRC untuk Wuhan, tempat pertama kali wabah menyebar. Dari data-data perkembangan penyebaran wabah, Daniel Andrew bersama seluruh jajarannya ternyata berhasil membawa negara bagian itu pada situasi terkendalinya wabah. Padahal jelas ranah politiknya tidaklah otokrasi ataupun oligarki seperti disebut Tito di atas. Demikian juga kalau kita bicara New Zealand, Taiwan, Jerman, Swedia, misalnya.
Maka kita bisa bicara, ini bukanlah pertama-tama soal otokrasi, oligarki, ataupun demokrasi. Carl Schmitt sekitar 100 tahun lalu menegaskan bahwa sovereign is he who decides on the exception. Wabah meski berlangsungnya seakan ‘merangkak’ tetapi pada titik tertentu bisalah ia akan terhayati sebagai situasi exception itu. Dalam situasi seperti itu maka bisa-bisa banyak hal kemudian ‘ditunda’ lebih dahulu, dan kemudian si-sovereign akan membuat keputusan-keputusannya. Tetapi nampaknya ada satu hal yang tidak mungkin ‘ditunda’, yaitu soal kepercayaan, soal trust. Jika kita memakai istilah yang ‘netral’, power distance menurut Geert Hofstede, pada komunitas dengan power distance tinggi (cenderung paternalistik, otoriter) maka soal kepercayaan ini ‘ada di depan’. Percaya dulu, pembuktian belakangan. Sedang komunitas dengan power distance rendah, contoh dalam konteks tulisan ini, Australia misalnya, soal kepercayaan ada di belakang. Buktikan dulu maka baru akan dipercaya. Inilah mungkin mengapa kehadiran secara maraton ini tidaklah semata soal informasi, tetapi lebih dari itu, soal formasi kepercayaan.
Maka kemudian kitapun bisa bertanya-tanya, jika soal ‘dapat dipercaya’ ini seakan dibuat ‘ringan-ringan’ saja, dikelola secara sembrono, siapakah yang sedang berdiri sebagai si-sovereign itu? Jika ia, si-sovereign itu ‘mengambil berat’ soal komunitas dimana ia hidup, meski banyak hal yang dimungkinkan untuk ditunda dulu, ia pastilah akan mempertimbangkan soal kepercayaan ini dalam keputusan-keputusannya. Jika tidak, pastilah ia bukan yang berdaulat. Orang lain. Pihak lain. Entitas lain. Dia hanyalah 100% boneka yang tugasnya hanya menghibur saja. Ini kemudian adalah soal pengkhianatan terhadap komunitas, lebih dari sekedar kedunguan belaka. *** (22-09-2020)
[1] https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20200903154327-20-542470/tito-negara-otokrasi-dan-oligarki-lebih-efektif-atasi-corona