10-09-2020
“What is neoliberalism? A programme for destroying collective structures which may impede pure market logic,”[1] demikian Pierre Bourdieu di akhir tahun 1998. Anak judul tulisan Bourdieu yang dimuat di Le Monde Diplomatique itu adalah: Utopia of Endless Exploitation. Satu tarikan napas dengan apa yang disebut David Harvey dengan accumulation by dispossession (2005).
Lima tahun setelah UU Agraria 1870 disahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara, di Berlin berlangsung sebuah konferensi membahas soal pembagian tanah jajahan di Afrika. Konferensi yang juga dikenal sebagai Konferensi Kongo itu berlangsung di tahun 1884-1885, di Berlin. Itulah mengapa jika kita melihat peta benua Afrika, nampak banyak garis-garis lurus dibuat dalam Konferensi Berlin tersebut. Batas-batas dibuat lebih demi kepentingan sang kolonial daripada bagaimana senyatanya komunitas-komunitas itu berdiam lama di sana. Akibatnya bisa kita lihat, dalam satu negara kadang perang antar kelompok bisa berlangsung sedemikian intensnya di sana.
Sekitar 85 tahun setelah peta Afrika dibuat dalam konferensi Berlin, di Nusantara muncul sebuah peta bagaimana republik dibagi-bagi untuk konsensi minyaknya. Dimuat di majalah The Times, Agustus 1971, lima tahun setelah 1966. Yang disampaikan di atas adalah sedikit ilustrasi bagaimana ‘utopia of endless exploitation’ itu berlangsung dari jaman-ke-jaman. Kata si-Bung, caranya saja yang berbeda.
Apapun jalan yang dipilih, beban tinggi akan selalu ada di pundaknya. Apalagi di ranah negara dimana segala hasrat bergejolak tidak hanya tepat di muka hidungnya, bahkan dalam dirinya juga. Terutama malah. Hanya pemimpin kelas medioker saja yang ‘tega-teganya’ berucap: tanpa beban. Apapun konteksnya. Apa yang ditulis Ignas Kleden dalam Sosialisme di Tepi Sungai Elbe beberapa waktu setelah Tembok Berlin runtuh adalah benar. Kapitalisme itu hanya akan berkembang dan bermanfaat jika ia ‘diganggu’, sedang sosialisme dapat berkembang jika ia ‘tidak diganggu’. Kita bisa menghayati itu sebagai soal hasrat. Soal ‘manajemen hasrat’ dalam hidup bersama.
Apa yang diungkap Kleden hampir 30 tahun lalu itu bisa kita perjelas dengan sekali lagi, memakai Alegori Kereta Perangnya Platon. Kapitalisme pada dasarnya adalah melepas bebas si-kuda hitam, hasrat yang ngendon dari ‘perut ke bawah’, terutama hasrat akan uang. Energi si-kuda hitam ini begitu besarnya sehingga sais seakan masih mengharapkan bantuan si-kudah putih supaya kereta bisa diarahkan ke atas, pada ‘kebaikan para dewa-dewa’. Maka bisa dikatakan, kapitalisme itu akan bermanfaat jika ia ‘diganggu’ oleh sais (nalar, rasio) dan kuda putih (kebanggaan). Jika tidak ‘diganggu’ maka hidup bersama bisa-bisa menari sesuai dengan karakter si-kuda hitam, yang mau-maunya meluncur ke bawah saja.
Jika bicara soal kapitalisme maka mau tidak mau kita akan juga menyinggung pemikiran Adam Smith. Pasar adalah ‘lapangan utama’ dimana kapitalisme mengembangkan diri. Dan pasar menurut Smith, bisa berkembang karena adanya kemampuan berimajinasi yang disebutnya sebagai simpati, yang menurut pengertian sekarang lebih dekat dengan empati. Sosialisme ‘bekerja’ lebih pada ranah simpati ini, melalui dalamnya imajinasinya soal harkat-martabat manusia. Spektrumnya bisa sangat luas, dan diujungnya adalah untuk mengendalikan total tidak hanya si kuda hitam, tetapi juga kuda putih. Berharap baik buruh yang ada di AS sono, di Jerman, di Jepang, Australia, China, Rusia, dan buruh sisanya di planet ini bisa bersatu. Melampaui ‘kebanggaan’ akan negara-bangsanya. Maka bisa dikatakan ‘letak’ sosialisme ini ada lebih condong di rasio. Jika ia meninggalkan kedalaman rasio maka ia bisa-bisa menjadi sosialisme utopia, atau bahkan ‘sosialisme CSR’ saja. Tentu bukan berarti bahwa sosialisme itu kemudian berjalan dengan kepalanya, tetaplah ia sepertihalnya kapitalisme, ia berjalan dengan kaki yang menapak bumi sekitarnya. Tetapi ketika ia tidak mampu membangun imajinasinya dari menapaknya kaki itu, ia akan kehilangan kekuatannya. Atau jika kita memakai analogi Aristoteles soal manusia: animal rationale, kapitalisme lebih condong untuk menekankan sisi ke-binatangan-nya, sedang sosialisme pada ke-berpikiran-nya. Yang dari ujung-ke-ujung, ada yang merasa paling tahu sendiri yang terbaik bagi hidup bersama dan kemudian dengan brutal menyingkirkan segala macam kontrol: 100% ‘tidak mau diganggu’. Di lain pihak, survival of the fittest dalam bentuk paling telanjangnya adalah ranah dunia binatang. Hukum rimba. Maka animal-rationale dalam konteks ini, di kedua ujungnya sama-sama akan menghancurkan. Ketika batas-batas sebuah harapan sudah tidak mampu untuk dikenali lagi.
Neoliberalisme adalah si-ekstrem dari kuda hitam. Kuda hitam di ujung animalitasnya. Maunya ia dilepas sendiri dan tidak mau diganggu oleh adanya sais maupun kuda putih. Makanya salah satu esensinya seperti digambarkan Pierre Bourdieu pada kutipan di awal tulisan. ‘Collective structures’ dalam bentuk nation-state misalnya, kalau bisa menjadi ultra-minimal state saja. Atau ketika ada musibah tenggelamnya kapal penumpang di danau misalnya, ia inginnya cepat-cepat dilupakan saja, supaya tidak membangkitkan rasa senasib-sepenanggungan khalayak. Demikian juga soal meninggalnya ratusan petugas pemilihan. Atau di saat pandemi, ketika seratus lebih tenaga medis meninggal. Kebanggaan akan sebuah ‘collective structures’ kalau bisa sebatas superfisial saja, sebatas romantika saja. Tidak boleh lebih. Dan mereka bisa menjadi begitu ‘tega’-nya dalam melaksanakan apa yang disebut David Harvey, accumulation by dispossession itu. Di tengah naiknya kasus pandemi dan terpuruknya rakyat kebanyakan, ia bisa menjadi begitu tega bicara soal harga vaksin. Ia bisa begitu tega menebar uang bagi para ahli ‘pengabdi’ korporasi. Layaknya pada krisis 2008, banyak yang marah besar ketika para CEO perusahaan-perusahaan bermasalah itu justru mendapat ‘pesangon’ yang gigantis. Atau otak-atik soal moneter sehingga kekuasaan akan keuangan benar-benar di satu tangan mereka. Mengambil kesempatan dalam kesempitan pada waktu krisis akibat pandemi. “Only a crisis –actual or perceived – produces real change,” demikian kata salah satu maha guru mereka, Milton Friedman. Dari sudut lain inilah yang kemudian dikatakan David Harvey sebagai salah satu feature dari accumulation by dispossession, manipulasi krisis.
Atau di tengah pandemi dan keterpurukan ekonomi rakyat, proyek-proyek besar mereka seakan begitu erat digenggam tidak mau dilepas. Belum lagi soal ngèyèlnya pada skema privatisasi pendidikan. Dan juga mungkin sedang dipersiapkan ranah-ranah lainnya, kesehatan misalnya, dan pelayanan-pelayanan publik lainnya. Belum lagi kita bicara soal debt trap yang semakin nampak ujungnya, menebar utang menuai privatisasi ugal-ugalan. Semakin dekat dengan Rusia era Yeltsin. Yeltsin yang sungguh banyak memberikan ‘hiburan’ bagi rakyat Rusia kala itu yang mana sudah bertahun-tahun di bawah pemimpin otoriter. Tetapi di balik itu ternyata korporasi-korporasi besar secara ugal-ugalan mulai merampas kekayaan Rusia. Dan Yeltsin-pun mulai goyah di periode ke duanya, ketika semakin banyak rakyat sadar pada ‘hiburan-hiburan’ konyol Yeltsin justru menjerumuskan hidup bersama pada kegelapan dengan menilep sisi sense of urgency dari dinamika hidup bersama. Dan rakyat Rusia-pun mulai bertanya-tanya: republik seperti apa yang sedang kami miliki ini?[2]
Anti-sains juga nampak di beberapa negara yang pengaruh kanan-jauhnya kuat. Bukan soal anti-sains pada elit sebenarnya isu utamanya, tetapi bahwa sains itu adalah bagian dari pasar, dari market, bukan state. Padahal dulu pada awalnya di akhir abad 19, segala riset pengembangan adalah mulai dari negara. Dan bahkan sekarang soal pergi ke luar angkasa saja sudah mulai masuk ranah pasar. Pasar dalam hal ini berarti yang berkuasa adalah daya beli, bukan ‘suara’, bukan one man one vote lagi. Negara boleh o’on, bahkan kalau perlu dipimpin oleh yang plonga-plongo, tetapi pasar tidak boleh (dan tidak pernah) di tangan yang plonga-plongo. Begitu kira-kira cita-cita mereka. Satu dari sekian khotbah mingguan mereka terutama kepada negara-negara berkembang. Dengan pembonceng-pemboncengnya yang berlindung di balik jubah para pengkhotbahnya. Dan juga yang bersembunyi di bawah altar agung mereka. Do as they say, not as they do. *** (10-09-2020)
[1] https://mondediplo.com/1998/12
/08bourdieu
[2] Lihat, Simon Saragih, Bangkitnya Rusia , Peran Putin dan Eks KGB, Kpmpas, 2008